”Wah... waktunya kerja malah bercanda. Pantas kerja kalian menjadi lambat.” suara Ibu Mara, senior di restoran itu, membuat keduannya terdiam dan pura-pura kembali bekerja dengan tenang.
”Tidak perlu berpura-pura! Saya sering melihat kalian bercanda saat jam kerja.”
Ruby membalikkan tubuhnya menghadap Ibu Mara, diikuti Yorin.
”Maafkan kami, lain kali ibu tidak akan melihat kami bercanda saat bekerja.” kata Ruby merendah.
”Iya, kami janji.” tambah Yorin.
Ibu Mara memandang keduanya, ”Baik, saya pegang kata-kata kalian. Yorin, kembali bekerja!” pinta Ibu Mara. Yorin langsung melanjutkan pekerjaaannya.
”Ruby, tolong kamu antarkan pesanan untuk meja nomor sepuluh. Hari ini ada pengunjung aneh yang hanya ingin kamu yang melayaninya dan menemani dia makan. Dia berani membayar lima kali lipat untuk pesanannya. Dan kamu tidak boleh menolak.” tegas Ibu Mara.
Ruby memandang ke arah Yorin. Ia melihat temannya menganggukkan kepala, tanda bahwa ia harus melakukannya.
”Cepat!” pinta Ibu Mara.
”I...Iya.” jawab Ruby. Sebelum pergi, ia sempat membisikkan sesuatu ke telinga Yorin.
”Ceritanya nanti saja setelah pulang.”
Ruby segera mengantarkan pesanan untuk meja nomor sepuluh. Terbersit rasa penasaran yang besar tentang orang yang telah berani membayar mahal hanya untuk ia temani makan. Baru kali ini ia mendapati pengunjung yang aneh. Biasanya hanya ada pengunjung yang minta berkenalan, menanyakan alamat rumah, atau nomor teleponnya. Hal seperti itu masih ia anggap biasa dan masih bisa ia hadapi dengan senyuman atau canda. Tapi kali ini, ia anggap sebagai hal di luar kewajaran.
Ia terus berjalan melewati bangku-bangku menuju meja nomor sepuluh. Ia melihat punggung orang yang duduk di meja nomor sepuluh. Dari penampilannya, ia dapat menebak kalau orang itu adalah pegawai kantoran atau pengusaha. Dan dari warna rambutnya yang mulai memutih, ia tebak usia orang itu sekitar empat puluh atau lima puluh tahunan. Soli menjadi agak ragu. Cepat-cepat ia menepis perasaan itu. Ia kembali melangkah.
”Ini pesanannya, Tu... Papa!” seru Ruby.
Jantungnya seakan mau pecah karena terkejut. Ternyata pengunjung aneh itu adalah ayahnya sendiri. Ruby berusaha menguasai diri. Ia mengingatkan pada dirinya bahwa saat ini dia hanyalah seorang pelayan restoran. Ia kemudian meletakkan makanan di nampan yang ia bawa di depan ayahnya. Ia kemudian duduk tepat di depan ayahnya. Ia melihat ayahnya tersenyum padanya.
”Putri kesayanganku yang sering bermanja-manja padaku, sekarang sedang menjadi seorang pelayan restoran. Padahal di rumah ada puluhan pelayan yang siap melayaninya.” guman sang ayah, seraya memulai menyantap pesanannya.
”Dari mana Papa tahu aku di sini?" tanya Ruby dengan perasaan bersalah.
”Kamu sudah tahu, tidak sulit bagi ayah untuk dapat menemukanmu.”
"Papa kira kamu masih ada di kota sebelah, ternyata kamu bersembunyi di kota ini."
Ruby langsung paham. Ayahnya pasti akan mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencarinya. Padahal hampir dua bulan saja ia bisa pergi dari rumah memanfaatkan momen kepergian ayahnya ke Jepang untuk urusan bisnis.
”Kapan Papa pulang?”
”Tiga minggu yang lalu." Pak Wijaya tampak menikmati makanannya. Menu nasi bakar restoran milik Hardi terkenal enak di wilayah itu.
”Papa... kenapa Papa kemari? Seharusnya Papa istirahat saja di rumah. Papa pasti masih lelah. Papa memang selalu begitu.” kata Ruby dengan nada sedikit manja.
”Apa tidak boleh, jika seorang ayah ingin bertemu dengan putri kesayangannya? Apa salah, jika seorang ayah khawatir, karena ketika pulang putri kesayangannya tidak ia jumpai di kamarnya?” kata-kata papanya semakin membuat Ruby merasa bersalah.
”Maafkan aku.”
”Pulanglah bersama Papa. Jadilah seorang putri yang manis di duniamu yang seharusnya. Hanya kamu yang Papa miliki setelah ibumu meninggal. Kamu tidak mau Papa merasa kesepian di rumah, kan?” bujuk Pak Wijaya.
”Papa, aku bahagia hidup seperti ini. Aku sayang Papa, tapi aku tidak bisa tinggal di rumah. Papa sering pergi jauh dalam waktu lama. Aku juga kesepian.”
”Kamu kan punya banyak teman. Ajaklah teman-temanmu ke rumah agar kamu tidak kesepian.”
”Aku tidak suka. Mereka semua bukan teman yang tulus. Mereka mau berteman denganku karena aku anak orang kaya. Kalau suatu ketika Papa bangkrut, aku tidak akan punya teman lagi. Aku lebih suka berteman dengan orang-orang biasa, yang mau tulus berteman denganku.”
“Bagaimana dengan Papa? Apa putri kesayanganku ini juga tidak mau bersamaku?”
”Papa.... Papa boleh meminta hal yang lain. Tapi jangan paksa Ruby untuk pulang. Aku suka seperti ini. Aku tidak ingin menjadi anak manja lagi. Aku ingin makan dengan kedua tanganku dan hidup dengan kerja kerasku sendiri, Papa.” rajuknya.
Sang ayah seperti memahami keinginan putri satu-satunya itu.
”Papa bahkan tidak bisa mengusap rambutmu sekarang. Kamu sedang menjadi orang lain yang tidak Papa kenal. Rasanya Papa tidak rela melepaskanmu hidup sendiri. Bagaimana kalau kamu kelelahan dan kedinginan di luar rumah?” Pak Wijaya berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Papa tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak sendiri, Papa. Sekarang aku tinggal dengan mantan pengasuhku, Bi Minah, orang kepercayaan Papa.” Kata Ruby meyakinkan ayahnya.
Pak Wijaya mengerutkan dahinya, "Berarti kamu selama ini membebani kehidupan Bi Minah?"
"Aku kan kerja, Pa."
"Memangnya gajimu di sini berapa?"
"2,5 juta, Pa."
"Hahaha.... " Pak Wijaya tertawa. "Itu paling hanya cukup untuk mengisi bensinmu satu minggu, Nak." Ia tidak percaya anaknya bisa bekerja di tempat bergaji rendah seperti itu.
"Aku tahu pasti Papa akan berpikir begitu juga. Aku juga awalnya tidak percaya bisa hidup satu bulan dengan uang segini, Pa!" Ruby terlihat antusias untuk bercerita.
"Tapi, percaya deh, Pa. Dengan uang segini ternyata masih bisa digunakan untuk hidup di kota ini! Bajuku saja harganya 20 ribu. Papa juga pasti tidak percaya, kan?"
"Apa badanmu tidak gatal memakai pakaian seperti itu?"
"Tidak, Pa. Ini juga nyaman."
"Hah!" Pak Wijaya mendengus kasar, "Kelakuanmu ini ada-ada saja, Nak."
"Papa masih belum yakin kamu bisa hidup tanpa kartu kredit."
"Sesekali percaya dong Pa, sama anak sendiri. Ruby anak yang kuat, kok.... "
"Melihatmu sekarang saja Papa sudah tidak tega. Penampilanmu itu seperti orang miskin. Pakaian lusuh, wajah juga tidak sebersih dulu."
"Aku memang tidak pernah ke salon lagi sih, Pa. Demi penghematan. Tapi Papa tenang saja, Bi Minah punya cara jitu supaya wajah Ruby tetap cantik.... Pakai masker beras kencur setiap hari."
“Hah! Terserah kamu saja, setidaknya masih ada Bi Minah bersamamu. Jadi Papa tidak perlu terlalu khawatir."
“Tapi Papa tidak boleh memberikan fasilitas atau apapun kepada Bi Minah karena keberadaanku, ya! Ruby akan marah kalau Papa melakukannya. Aku ingin Papa berpura-pura tidak tahu. Karena sekarang aku mengaku sebagai anak Bi Minah.”
”Kamu sudah bosan menjadi anak Papa?”
”Bukan begitu, Pa.... Ini hanya sementara, sampai aku menemukan teman-teman sejati dan aku telah siap kembali ke rumah.”
”Sepertinya Papa harus banyak mengalah padamu. Bagaimana seandainya suatu saat Papa ingin menjumpaimu? Apa Papa harus mengerahkan anak buah Papa untuk mencari keberadaanmu?”
”Tidak perlu, Papa cukup meneleponku saja. Ruby pasti akan menemui Papa."
"Nomormu kan tidak aktif.... " sindir Pak Wijaya.
"Oh, iya. Hehehe.... " Ruby baru ingat kalau ia sudah ganti nomor. "Nanti aku kirimkan nomorku pada Papa."
”Papa dengar kamu pindah ke kampus biasa.” Ruby terperanjat, ternyata papanya juga sudah tahu kalau ia pindah tempat kuliah.
”Justru di tempat yang biasa, biasanya terdapat banyak ketulusan, Pa. Aku senang di kampusku ya g sekarang. Papa ayo lanjutkan lagi makannya.” Ruby mengingatkan karena sedari tadi papanya hanya asyik bicara dengannya, sementara makanan di depannya diabaikan.
”Nanti malam temani Papa menghadiri acara peresmian hotel rekan bisnis Papa di kota ini."
Ruby langsung cemberut mendengar permintaan ayahnya. Sebenarnya dunia seperti itu yang kini ingin mulai ia jauhi.
”Anggaplah Papa memohon. Seandainya mamamu masih ada, Papa juga tidak akan memberatkanmu.”
”Baiklah, Pa.”
Setiap kali papanya berbicara dengan membawa nama mamanya, ia menjadi tidak berdaya. Ia tahu kalau papanya sangat kesepian setelah mamanya meninggal. Karena itu papa lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja, hingga terkadang ia merasa terabaikan. Ruby mencoba memahami, bahwa semua kerja keras ayahnya hanya untuk kebahagiaanya. Meskipun ia tetap ingin papanya mengerti kalau kebahagiaan terbesarnya adalah tetap bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Vermie Hans
Soli itu siapa pula!!..
2024-05-20
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
gak gitu juga kali pak🤣
2023-11-07
1
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
teman cuma mau traktiran doang🤣
2023-11-07
0