Reino duduk menunduk. Tepat di hadapannya ada Melvin yang terus memandanginya. Suasana hening. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Begitu heningnya suasana hingga bunyi jarum jam terdengar begitu jelas.
”Apa kamu akan terus seperti ini?” tanya Melvin. Tak ada respon dari Reino. ”Hanya mendengar gurauan seperti itu saja membuatmu terpuruk.” lanjutnya. Tetap tak ada tanda-tanda Reino akan bersuara.
”Apa kekuranganku hingga kamu meragukan aku sebagai kakakmu?”
”Seharusnya kamu yang meragukanku. Aku tak memiliki kepantasan untuk menjadi adikmu.” Reino mulai membuka suara.
"Itu hanya rumor.... Kenapa kamu begitu peduli dengan omongan Ferdian? Selama ini kita juga baik-baik saja, kita tumbuh bersama dengan kasih sayang yang lengkap dengan kedua orang tua."
"Aku hanya ingin tahu saja."
"Lalu, setelah tahu apa yang mau kamu lakukan? Pergi dari rumah?"
Reino terdiam.
"Sumpah, ya! Ibu akan sangat sedih melihatmu seperti ini."
"Aku tidak punya foto bayi sepertimu, Kak! Aku sudah menahan ini sejak lama." Reino berbicara dengan nada yang ditekankan. "Sekarang aku ingin tahu yang sebenarnya."
"Kenapa itu lagi yang kamu permasalahkan? Kalau begitu bakar saja foto-fotoku supaya tidak mengganggumu lagi. Aku juga tidak peduli dengan foto-foto itu." gerutu Melvin.
Awalnya kehidupan Reino di dalam keluarga Adinata berjalan normal seperti keluarga harmonis pada umumnya. Ia mendapatkan kasih sayang yang besar dari ayah dan ibunya. Melvin yang dua tahun lebih tua darinya juga menjadi seorang kakak yang sangat menjaganya. Kehidupannya terasa biasa saja dan ia merasa sangat bahagia.
Semakin ia besar, ketika pola pikirnya semakin terbentuk, ia mulai bisa mencerna perkataan orang-orang di sekitarnya. Saat SD, sudah mulai ada yang membandingkan dirinya dengan kakaknya. Kebanyakan orang akan keheranan jika mengetahui mereka adik kakak.
Saat di SMP dan SMA, hal serupa juga masih kerap terjadi. Ia juga mulai melihat perbedaan sikap yang ditujukan ayah kepada kakaknya. Seakan ayah lebih menyayangi Melvin daripada dirinya. Mungkin itu hanya perasaannya. Untuk mengurangi prasangka yang kurang baik, Reino mengurangi waktu bermainnya dan memilih fokus pada sekolah. Ia mengambil program akselerasi hingga bisa menyelesaikan SMP dan SMA dalam 4 tahun saja. Sehingga ia bisa masuk kuliah di tahun yang sama bersama kakaknya. Tapi, mereka memilih kampus yang berbeda.
Reino berkuliah di kampus negeri sedangkan Melvin berkuliah di kampus milih ayahnya sendiri. Hampir setiap hari Reino pulang dengan luka lebam di wajahnya. Tapi, ia tak mau bicara. Ibunya selalu mengkhawatirkannya. Akhirnya, ia dipindahkan ke kampus yang sama dengan Melvin. Tempat dimana tidak ada yang akan mem-bully-nya karena ada kakaknya.
Namun, bertepatan dengan kepidahannya, ada lebih banyak masalah yang terjadi. Mulai muncul rumor-rumor kalau sebenarnya Reino adalah anak pungut. Ada juga yang mengatakan ibu mereka suka selingkuh sampai melahirkan seorang anak. Hal itu tentu saja sangat menyakitkan. Meskipun beritanya cepat ditangani, namun Reino sudah terlanjur mendengarnya. Sesuatu yang dulu pernah ia pendam, kini semakin ingin ia tahu.
Apalagi ketika ia menemukan bukti foto-foto lama keluarga. Tak ada potret dirinya saat masih bayi. Belum lagi, ada yang berusaha untuk mencelakainya dan Reino merasa ada yang mengawasi. Entah apa tujuannya, salah satu yang pasti mereka seperti ingin menegaskan kalau dia bukan bagian dari keluarga Adinata.
"Jangan pernah coba bahas ini dengan ibu."
Seperti biasa, Melvin menyuruhnya untuk merahasiakan apa yang terjadi. Kakaknya bekerja sangat keras untuk menghapus setiap isu yang keluar. Ia bahkan tidak peduli namanya jadi buruk di kampusnya sendiri. Perlakuannya yang kasar kepada setiap orang yang berani berbicara buruk terhadap keluarganya, membuat orang-orang menganggapnya sebagai mahasiswa arogan yang menggunakan kedudukan orang tuanya untuk bertindak semena-mena.
"Kamu bisa kan, tidak memikirkan hal ini lagi?"
"Apa Kakak juga bisa berhenti memikirkan tentang Kak Renata."
Melvin membisu seketika. Mana mungkin dia bisa melupakan cinta pertamanya apalagi dia cacat juga karena dirinya.
"Dia hanya pura-pura pincang agar Kakak merasa bersalah padanya."
"Jangan berkata seperti itu, Rei."
"Dia memang sudah pacaran dengan Ferdian sebelum denganmu. Makanya dia pura-pura kecelakaan supaya Ferdian dan Kakak tidak menyalahkannya. Kakak masih tidak percaya?"
"Aku pernah melihatnya sendiri di rumah sakitp, kakinya memang tidak bisa digunakan berjalan lagi. Jadi berhenti menuduhnya berbohong."
"Kalau saja aku tidak emosi dan memintanya untuk putus, mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi."
"Lagi pula dia juga sudah menjelaskan kalau dia hanya menganggap Ferdian sebagai teman, tapi Ferdian yang punya perasaan lebih padanya. Itu hanya kesalahpahaman."
Reino menyerah. Kakaknya tak akan bisa ia nasihati saking keras kepalanya. Padahal Rei tahu kalau Renata hanya pura-pura. Tapi, Melvin lebih percaya pada mantan pacarnya. Melvin sempat ikut merawat Renata selama satu bulan di rumah sakit sebelum akhirnya Renata dibawa pergi ke luar negeri satu tahun yang lalu. Katanya untuk menjalani pengobatan. Reino tidak terlalu yakin dengan hal itu.
"Mau kemana?" sergah Melvin ketika Reino melangkahkan kaki ke arah pintu keluar.
"Cari angin sebentar."
"Jangan minum-minum!"
"Aku tidak sepertimu, Kak."
Reino mengenakan helmnya lalu melajukan motor sport hitam miliknya. Ia sengaja pergi sebentar untuk menenangkan diri. Daripada berdebat dengan kakaknya yang biasanya berakhir dengan perdebatan tanpa hasil.
Menyendiri di taman dekat hutan kota yang biasa sepi menjadi pilihannya. Ia masih bisa melihat lalu lalang kendaraan dan beberapa orang yang lewat sembari menikmati minuman sodanya. Berbeda dengan kakak dan teman-temannya yang sering menghabiskan waktu di klab malam.
"Mmm.... Hai.... "
Terdengar sapaan lembut suara wanita. Reino mendongakkan wajah untuk melihat orang yang menyapanya. Ia sampai berdiri saat mengetahui kalau wanita yang ada di hadapannya adalah teman masa kecilnya itu.
"Ah, kamu.... Kenapa ada di sini?" tanyanya.
"Pulang kerja." jawab Ruby singkat.
Reino mengernyitkan dahinya, "Kerja?"
"Iya. Aku bekerja di restoran sebelah sana." Ruby mengarahkan telunjuknya pada tempat yang tak jauh dari taman kota.
"Aku kira salah lihat ketika melihatmu ada di sini, Kak."
"Reino."
"Apa!?"
"Namaku Reino. Panggil saja Reino atau Rei."
"Tapi.... " Ruby agak ragu apa itu sopan untuk memanggilnya dengan nama.
"Kita seumuran, panggil nama saja."
"Apa!?" lagi-lagi Ruby merasa tercengang. Lelaki yang ada di sampingnya sudah semester 6 tapi usianya sama dengannya yang baru masuk semester 2.
"Umurmu 19 tahun, kan? Umurku juga 19 tahun."
"Ah, iya. Tapi, tetap saja kamu seniorku di kampus. Aku rasa tidak sopan kalau panggil nama."
"Ruby, duduk dulu." Reino mempersilakan Ruby duduk di sebelahnya.
"Hah?"
"Namamu Ruby, kan?"
Dia mangguk-mangguk lalu ikut duduk di sebelah Reino. Dia hampir lupa kalau DKK sudah mengambil data-data tentang dirinya. Si Ikan Pari juga pernah membacakan biodata itu di hadapannya.
"Ini bukan pertama kali kita bertemu. Kenapa canggung sekali padaku?"
Ruby terdiam. Rasanya memang canggung tidak seperti biasanya.
"Jangan pura-pura lupa kalau kita sudah sering bertemu di pesta. Aku tahu itu kamu."
Ruby menelan ludahnya. Ternyata Reino mengenalinya.
"Kak.... Ah, maksudku Rei.... Terima kasih sudah menolongku waktu itu."
Reino memberikan satu kaleng minumannya pada Ruby. Ia sendiri menenggak kembali sisa minumannya.
"Aku tidak tahu ada masalah apa kamu dengan kakakku. Saranku, jangan sampai berurusan lagi dengannya. Kalau bisa menghindar darinya kalau terpaksa harus berpapasan dengannya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
jadi penasaran sm si renata ... bisa ya dia permainkan si ikan pari
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
ternyata si ikan pari bucin jg😌
2023-11-07
0
Bibirnya Kyung-soo🐧🍉
si Ikan Pari spesies pria sejati🤭
2023-11-07
0