Dua puluh

Alya benar-benar mengunci mata hatinya. Tak sedikit pun dia menoleh ke kamar Cahaya saat akan pergi kerja. Bahkan, pintu apartemennya dibiarkan tak terkunci. Alya seolah tak perduli apa pun yang akan terjadi pada Cahaya selepas kepergiannya.

Bahkan, saat Andri dan Adrian menanyakan keberadaan Cahaya Alya hanya mengendikkan bahu acuh. Tak sepatah kata terucap, untuk menjelaskan keadaan Cahaya pada mereka.

Andri dan Adrian hanya bisa saling pandang, tanpa bisa menebak apa yang terjadi. Andrian masih menoleh ke belakang saat mobil jemputannya datang, berharap Cahaya muncul dan naik. Tapi itu tidak terjadi, karena yang dia tunggu tengah tergolek tak berdaya tanpa seorang pun mengetahuinya. Bahkan Andri beberapa kali mendapat jawaban ketus saat bertanya pada Alya.

"Kamu kenapa sih, Al? Pagi-pagi udah manyun aja." Alya hanya melirik malas pada Andri.

"Kalau ditanya tuh, jawab. Bukannya lirak-lirik ngga jelas. Cantiknya bisa hilang!"

"Bodo!"

"Dih, sekalinya jawab ketus. Eh, beneran kamu nggak tahu Cahaya dimana?"

"Ngga!"

"Masa sih? Tinggal bareng tapi ngga tahu. Harusnya--"

"Kamu ngapain sih nanya-nanya Cahaya terus? Jangan-jangan kamu suka juga sama dia?"

"Loh, kok gitu, Al--"

"Udah berisik! Diem!" Mata Alya membeliak hingga Andri tidak melanjutkan lagi pertanyaannya.

Alya walaupun marah kok tetap cantik ya?! Ish, mikir apa sih aku.

Andri menepuk dahinya sendiri, lalu memilih memejamkan mata memanfaatkan waktu sampai bis jemputan yang ditumpanginya mengantarnya ke tujuan.

Alya mendengus kesal. Mencoba meredam amarah yang masih menguasai hati dan pikirannya.

Sementara itu, Kim yang mendapat tugas pergi ke Osan Dijitech tempat Cahaya dan Adrian bekerja, kaget saat tidak mendapati gadis yang bersamanya semalam. Bertanya pada rekan kerja Cahaya, namun jawaban tidak tahu yang didengarnya.

Kim pun pergi ke bagian tempat kerja Adrian, untuk mencari tahu penyebab ketidak hadiran Cahaya di tempat kerja hari ini. Ditemuinya Adrian sedang mencatat laporan di kertas kerja.

"Pagi, Adrian." sapa Kim. Adrian mendongak mengangkat kepalanya dan tersenyum saat melihat Kim yang berdiri satu meter di depannya.

"Eh, Mr. Kim. Pagi." Adrian berdiri agar lebih nyaman berbicara dengan Kim.

"Saya tidak melihat Cahaya. Kenapa tidak bekerja? Apa Cahaya baik-baik saja?" tanya Kim.

"Justru itu, Mr, saya juga tidak tahu. Tadi tanya sama Alya juga dia tidak tahu."

"Apa? Bagaimana Alya bisa tidak tahu? Mereka kan tinggal bareng." Kim kaget mendengar jawaban Adrian. Hatinya mulai merasa tidak enak.

"Sewaktu saya tanya pada Alya tadi, Alya cuma mengangkat bahunya sebagai jawaban Mr. Saya juga jadi khawatir ini."

"Okay, saya coba cari tahu dulu ke Alya. Saya pergi dulu." Kim langsung tergesa meninggalkan Adrian. Menemui dulu Mr. Park untuk menjelaskan maksud tujuannya datang ke sana, lalu segera kembali ke perusahaan pusat setelah urusannya selesai.

Memacu kendaraannya cepat, Kim rasanya ingin segera sampai di perusahaan agar bisa bertanya pada Alya. Beruntung lalu lintas sudah tidak sepadat tadi pagi, hingga dalam waktu satu jam Kim sudah kembali ke perusahaan.

Memarkirkan mobilnya sembarangan, Kim segera berlari ke tempat kerja Alya. Namun, lagi dia harus kecewa saat tidak dapat menjumpai Alya di sana. Menurut rekan kerja Alya, gadis itu pamit untuk pergi ke toilet.

Kim mengusap kasar wajahnya. Apa harus menunggu Alya atau langsung saja mencari Cahaya ke apartemen. Akhirnya, Kim berbalik keluar bagian produksi dan memacu kendaraannya ke apartemen Cahaya.

Menebak apa yang sebenarnya sedang terjadi, Kim mengetuk-ngetuk stir yang dipegangnya. Hingga gedung apartemen di mana Cahaya tinggal terlihat, Kim semakin tak sabar untuk segera menemui Cahaya.

Setelah Memarkirkan mobilnya, Kim langsung berlari menuju apartemen. Karena apartemen Cahaya hanya apartemen biasa yang tidak dilengkapi fasilitas Lift, Kim harus rela menaiki tangga untuk mencapai lantai dua tempat Cahaya berada.

Sesampainya di depan pintu apartemen Cahaya, Kim menekan bel dengan tidak sabar. Sekali, dua kali, hingga tiga kali, Kim tidak mendapat respon. Kim semakin gusar. Tak tahu lagi harus mencari tahu keberadaan Cahaya.

Menghilangkan rasa penasaran, Kim mencoba menekan pegangan pintu. Dan Kin terkejut saat pintu terbuka. Tanpa berpikir lagi Kim langsung masuk dan memanggil Cahaya.

"Ya? Cahaya?" sepi, ruangan itu seperti tak berpenghuni. Membuka sepatunya, Kim mendekat pada kamar Cahaya yang tertutup rapat. Mengetuk pintu dengan jantung yang tiba-tiba berdebar kencang.

Tok... Tokk...

"Ya? Sayang? Kamu di dalam?" hanya kesunyian lagi lagi yang menyapa.

Kim meraih pegangan pintu dan perlahan membuka pintu dengan tetap memanggil nama Cahaya.

"Ya? Kamu di dalam?" Kim menjulurkan lehernya untuk memindai keadaan dalam kamar. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat pintu kamar terhalang oleh badan Cahaya yang tergeletak dengan posisi miring di dekat pintu. Hatinya makin mencelos saat melihat genangan air yang membasahi sebagian kasur lantai.

"AYA!" Kim menyelipkan badannya diantara pintu yang tidak bisa terbuka lebar. Menggapai tubuh Cahaya yang tergolek tak berdaya.

Panas. Kim semakin didera khawatir saat merasakan suhu tubuh gadis yang memberinya keindahan cinta lagi itu dia sentuh.

Merogoh ponselnya, Kim langsung menghubungi nomor rumah sakit yang sudah menjadi langganan Ayahnya bila dirawat untuk mengirimkan ambulan. Setelah memastikan ambulan akan datang, Kim menyangga tubuh Cahaya yang masih tidak sadarkan diri.

"Aya! Aya bangun, Sayang!" Kim menepuk-nepuk pipi Cahaya. Tak mendapatkan respon, Kim menyelipkan tangannya di punggung dan kedua kaki Cahaya, menggendong tubuh lemah itu membawanya keluar dari dalam kamar. Tak memperdulikan kaki yang tak memakai sepatu, dengan susah payah Kim membuka pintu apartemen dan segera berlari menuruni tangga. Sesampainya di depan bersamaan dengan ambulan yang baru sampai di sana.

Petugas langsung mengeluarkan brangkar dan membantu Kim membaringkan Cahaya di sana. Lalu mendorong masuk kembali brankar tersebut masuk ke dalam ambulan. Kim segera berlari ke arah mobilnya terparkir, lalu segera menyusul ambulan yang sudah lebih dulu meninggalkan gedung apartemen Daewoo.

Cahaya langsung mendapat perawatan begitu sampai di rumah sakit. Kim baru menyadari kalau dia tidak memakai sepatu, hanya kaos kaki yang kini membalut kedua telapak kakinya saat merasakan perih di sana.

Kim mengabaikan semua itu, yang ada di benaknya saat ini hanya keadaan gadis yang sangat dicintainya itu. Berbagai pertanyaan melintas.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa Cahaya bisa pingsan?

Bagaimana pula Alya tidak mengetahuinya padahal pintu kamar Cahaya tidak terkunci?

Kenapa pula pintu apartemen seperti sengaja tidak dikunci, sedangkan Alya pergi bekerja?.

Arrggh! Kim sungguh sangat kesal dengan semua pertanyaan yang memenuhi benaknya kini.

Setelah bertanya, Kim segera menyusul Cahaya ke ruangan tempatnya di rawat. Nampak dokter dan dua orang perawat tengah menangani Cahaya. Dokter tersenyum pada Kim yang dibalas Kim dengan membungkukkan badannya.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Kim saat Dokter mendekat padanya. Mata Kim bergantian melihat ke arah Dokter dan Cahaya yang masih pingsan.

"Kita belum tahu pasti penyebabnya. Kami akan melakukan tes darah agar lebih meyakinkan apa terjadi pada pasien." jawab dokter ramah.

"Baik, lakukan yang terbaik Dokter." dokter mengangguk dan pamit meninggalkan Kim, disusul oleh kedua perawat yang menangani Cahaya dengan membawa sampel darah.

Kim mendekati brangkar tempat Cahaya berbaring. Jarum infus menempel pada punggung tangan sebelah kiri Cahaya. Mata Cahaya masih setia memejam. Perlahan Kim mengambil tangan kanan Cahaya, meremas penuh perasaan tangan yang tadi malam memeluk tubuhnya hangat. Sungguh tak menyangka pagi ini tangan itu terkulai lemas tak berdaya.

"Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa bisa seperti ini?" tangan Kim menyentuh kening Cahaya yang masih terasa panas.

Alya! Aku yakin Alya tahu apa yang terjadi. Aku harus kembali ke apartemen dan mengurus soal sakitnya Cahaya pada perusahaan. Tapi, siapa yang menunggui Cahaya? Mama! Ya, Aku bisa menitipkan Cahaya pada Mama selama aku mengurus semuanya.

Kim melepas genggaman tangannya, lalu mengambil ponsel dari saku jaket dan menghubungi Hana, Ibunya.

"Iya, Sayang?" tanya Hana setelah sambungan terhubung.

"Ma, bisa tolong datang ke kamar nomor 36 lantai dua?"

"Ada apa, Sayang? Kamu di mana?" suara Hana berubah panik.

"Aku di rumah sakit yang sama dengan Appa sekarang--"

"Apa?! Kamu kenapa?"

"Tenang dulu, Ma. Aku baik-baik saja. Tapi Cahaya pingsan dan--"

"Ok, tunggu di sana! Mama segera datang!"

Kim menggeleng saat sambungan telepon diputus sepihak oleh Hana. Perhatiannya teralihkan saat mendengar suara Cahaya merintih.

"Ya... Sayang!" Kim mengusap lengan Cahaya lembut.

Uh, panas sekali.

"Sshh!"

"Ya, buka matamu, Sayang!"

Perlahan kelopak mata Cahaya bergerak, lalu terbuka perlahan.

Cahaya merasakan sakit pada kepala dan punggung tangan yang tertancap jarum infus. Perlahan matanya menangkap sosok Kim yang menatapnya dengan sorot penuh kekhawatiran.

"Oppa?" Kim tersenyum, merasa bahagia karena dialah yang pertama kali Cahaya lihat setelah sadar.

"Iya, Sayang. Mana yang sakit? Biar aku panggil dokter." Kim mengusap tangan Cahaya yang kini sudah digenggamnya.

Ceklek!

Pintu terbuka, Kim menoleh dan menampakkan Hana yang keluar dari sana, dengan wajah paniknya.

"Young Jin, Sayang, ada apa ini? Kenapa dengan Aya?" Hana menderap langkah memburu ke brangkar Cahaya. Kim memberikan ruang untuk Hana bisa di dekat Cahaya.

"Oh, Anak cantik, Mama? Kenapa dia, Sayang?" Hana mengusap tangan Cahaya. "Panas! Badan kamu panas sekali, Aya!" Hana pun menyentuh kening Cahaya.

Cahaya meresapi sentuhan Hana yang mengingatkannya pada Sang Ibu di kampung halaman. Tak terasa matanya memanas dan siap untuk menangis.

Ambu, Aya kangen!

"Aku menemukan Cahaya pingsan di kamarnya, Ma." terang Kim dengan mata yang tetap menatap pada Cahaya yang kini terisak.

Hana yang melihat Cahaya menangis membelai kepala Cahaya penuh kasih sayang.

"Jangan nangis. Ada Mama dan Young Jin yang akan jagain kamu. Kamu harus segera sehat, ya?!" Cahaya mengangguk lemah.

"Ma, titip Cahaya sebentar bisa? Apa Appa bisa ditinggal untuk satu atau dua jam ke depan? Aku harus mengurus semua ke perusahaan dan balik ke apartemen Cahaya lagi, untuk membawa perlengkapan dan mengunci pintu. Sekarang apartemen tidak di kunci." tanya Kim, Hana menoleh sebentar pada Kim dan mengangguk lalu kembali menenangkan Cahaya.

"Pergilah, tadi Appa sudah tidur habis minum obat. Mama juga sudah menitipkan pada perawat tadi sebelum ke sini."

"Baiklah. Aku usahakan secepatnya kembali ke sini. Sayang, aku pergi dulu." Kim mendekat pada Cahaya dan menyentuh lengan gadis itu. Hana yang mendengar panggilan sayang Kim untuk Cahaya, tersenyum. Hatinya bahagia anak semata wayangnya kembali merasakan indahnya cinta setelah sekian lama terpuruk dalam derita patah hati.

Sedang Cahaya merasakan wajahnya makin panas saat Kim memanggilnya sayang di depan Hana. Kalau saat ini dia tidak sedang sakit, akan sangat jelas rona merah yang mewarnai wajah putihnya karena panggilan Kim tersebut. Malu.

Kim langsung membalikkan badannya dan berjalan menjauh, tapi langkahnya terhenti lagi saat Hana memanggilnya.

"Young Jin, mana sepatumu?" Kim menghadap Hana.

"Aku lupa memakainya kembali saat menggendong Cahaya dari kamar ke depan apartemen menunggu ambulan datang, Ma." Jelas Kim dengan mengusap tengkuknya. Mendengar itu, Hana mendekati Kim dan berjongkok untuk melihat kaki Kim.

Kim mundur selangkah untuk menghindari tangan Hana yang akan menyentuh kakinya.

"I am okay, Ma. Tidak apa-apa."

"Biar Mama periksa dulu Young Jin." Hana mendongak menatap anaknya yang kini merengkuh kedua lengannya membantu agar Hana berdiri.

"Aku baik-baik saja. Aku titip Cahaya." ujar Kim mengusap kedua lengan Hana lembut memberi ketenangan.

Hana mengangguk dan menepuk lengan Kim. Setelah itu Kim membuka pintu dan menghilang saat pintu tertutup kembali.

Kim bergegas meninggalkan rumah sakit, mengabaikan pandangan setiap orang yang melihatnya heran karena berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Melihat jam yang melingkari tangan kirinya, jam sebelas kurang lima belas menit. Kim memutuskan untuk pergi ke apartemen Cahaya dulu baru ke perusahaan setelahnya.

Membelah jalanan kota Osan yang mulai kembali ramai menjelang waktu makan siang, Kim menekan pedal gasnya cukup dalam. Dia berharap sebelum jam satu sudah kembali lagi ke rumah sakit untuk menemani Cahaya.

Kim menelepon seorang temannya untuk membuatkan cuti selama dua hari agar bisa fokus menjaga Cahaya. Setelah mendapat persetujuan dari temannya Kim memutuskan panggilan.

Memasuki apartemen Cahaya, Kim langsung menuju kamar Cahaya untuk membawa beberapa baju ganti, untuk pakaian dalam Cahaya, Kim memutuskan akan meminta tolong Hana untuk membelinya nanti, karena tidak mungkin dia mengambil pakaian dalam Cahaya. Mencari ponsel namun tidak menemukannya. Kim melihat tas Cahaya yang tergantung di dinding. Memeriksa isi tas tersebut, Kim menemukan ponsel Cahaya di sana. Lalu matanya mencari charger ponsel Cahaya, setelah ketemu memasukkannya pula ke dalam tas. Dirasa sudah lengkap Kim segera keluar dari apartemen Cahaya.

Saat Kim sedang mengunci pintu apartemen, tanpa disadarinya Raja melangkah mendekat dan berhenti di dekat Kim. Raja yang mengenali tas milik Cahaya yang kini dibawa Kim, mengernyitkan dahinya.

"Kim!" Kim tersentak kaget saat mendengar seseorang memanggilnya. Menoleh kearah suara, Kim dibuat kesal saat tahu siapa pemilik suara yang menyebut namanya tadi.

"Raja? Kamu sudah kembali dari Seoul?" tanya Kim setelah mengunci pintu. Lalu menghadap Raja yang nampak rapih dengan segala pesona yang ada di dirinya. Berbanding terbalik dengan keadaan dia saat ini.

"Sudah, rapat bisa dipercepat dan aku bisa di sini sekarang. Itu, tas Cahaya kan? Mau dibawa kemana? Dan itu apa?" tunjuk Raja pada paperbag yang dibawa Kim yang berisi baju Cahaya.

Kim mendesah lelah. Sudah terbayang kalau Raja lah yang akan menjaga Cahaya di rumah sakit. Lalu untuk apa dia mengajukan cuti selama dua hari?

Si*l! Kenapa Raja harus kembali secepat ini?!

"Cahaya sakit. Sekarang ada di rumah sakit."

"APA!"

**TBC.

Tinggalkan like dan jangan lupa vote ya... Minta dukungannya. Terima kasih**.

Terpopuler

Comments

TitienKartinika

TitienKartinika

cahaya sama kim aja ..yg udah jelas ortu nya sayang sama dia 😘

2020-12-04

0

Eka Jamaluddin

Eka Jamaluddin

tidak suka dg sosok kim

2020-11-25

0

Mei Shin Manalu

Mei Shin Manalu

Siap-siap aku boom like ya...

2020-10-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!