Pria bernama Nathanael tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia menyadari keadaan dirinya yang sama sekali polos, tidak berpakaian.
Situasi di sekelilingnya sama sekali asing. Ia dikelilingi oleh tembok beton, tanpa ada hiasan apapun di dindingnya. Terdapat sebuah pintu besar di salah satu ujungnya.
Mengambil salah satu kain hitam yang tergeletak di pembaringannya, ia melilitkannya di seputar pinggang untuk menutupi area pribadinya.
Ketika kakinya menjejak lantai di bawahnya, ia merasa ribuan jarum menusuk telapaknya, membuatnya jatuh bertumpu pada lututnya sambil sedikit meringis.
Tidak lama, kepalanya pun menyusul, terasa sangat sakit dan seperti ditusuk-tusuk oleh mata pisau tidak kasat mata. Ada apa dengan dirinya?
Ia akhirnya terpaksa berbaring miring, sambil memeluk dirinya sendiri yang sedikit gemetar.
Dinginnya lantai terasa semakin terserap oleh kulitnya, yang anehnya justru membuat rasa sakitnya sedikit mereda.
Keadaan yang sepi dan senyap, entah mengapa, pria itu merasa inderanya meningkat tajam. Ia seolah dapat mendengar kicauan burung di luar, suara gemericik air di halaman, dan terakhir suara derap langkah pelan, yang semakin lama semakin mendekatinya.
Berusaha bangkit dari posisinya, pria itu hanya bisa duduk dengan bersender pada rangka tempat tidur di belakangnya. Ia masih belum mampu untuk berdiri.
Sosok yang semakin lama semakin dekat, membuat Nathanael tertegun. Ia mengenalinya.
"Master Johan!"
Alexander Johan adalah nama atasan pria itu di pasukannya. Nathanael telah mengikuti atasannya dari awal karirnya. Ia sangat mengagumi sosok atasan yang telah lama berperan sebagai mentor dan juga pengganti ayah bagi Nathanael remaja.
Dan ia juga tahu rahasia pria tua itu. Yang tidak pernah diketahui oleh orang lain.
"Bagaimana perasaanmu Nathanael?"
Pertanyaan pria paruh baya itu membuat Nathanael mengerutkan keningnya.
Dalam keadaan bingung, kilasan-kilasan ingatan sebelumnya mulai memenuhi benaknya.
Hal ini membuat pria itu sedikit kesulitan untuk bernafas dan mulai gemetar tidak terkendali ketika ia dengan perlahan mengingat peristiwa buruk yang baru dialaminya.
Berjongkok, Johan segera memegang erat kedua lengan atas Nathanael.
"Nathan. Nathan. Lihat aku!"
"Co-Coraline. Nicholas..."
Mata pria malang itu berkaca-kaca, memanggil nama isteri dan anaknya.
Pria tua itu memandang Nathanael dengan prihatin. "Mereka sudah meninggal, Nathanael."
Kesadaran itu menghantam pria yang masih bingung itu. Membuatnya menelungkupkan kepalanya. Ia memeluk kedua kakinya erat. Bahu dan punggungnya tampak gemetar hebat.
"Kami masih mencari keberadaan Dominic. Kamu jangan khawatir. Kita akan mendapatkan penghianat itu."
Johan menepuk pelan bahu pria yang sedang menangis di depannya. Rintihannya terdengar pilu, bahkan di telinga Johan yang sudah sangat terbiasa dengan yang namanya kematian.
Tidak lama kemudian, Nathanael mengangkat wajahnya. Ia mengusap sisa air matanya dengan kasar dan baru akan bangkit dari duduknya, ketika tiba-tiba menyadari sesuatu.
Refleks, ia melihat ke arah kedua tangannya. Tidak ada yang aneh sebenarnya, tapi ia merasa kulitnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya. Nadinya yang berwarna kelabu tampak terlihat lebih jelas di bawah permukaan kulitnya.
Teringat sesuatu yang tidak wajar, pria itu pun segera melihat ke arah dada kirinya, yang tampak mulus tanpa kekurangan suatu apapun. Ia memegang area tersebut, meremasnya.
Jantung pria itu mulai berdebar-debar kencang. Dengan perlahan, ia mendongak dan memandang pria tua yang sedang berdiri di depannya.
"Apa yang terjadi?"
Pria tua di hadapannya hanya diam. Tidak menjawab pertanyaannya.
Menggelengkan kepalanya tidak percaya. Nathanael berusaha bangkit dari posisinya dengan berpegangan pada tempat tidur di belakangnya. Tubuhnya gemetar. Ia masih merasakan kesakitan yang amat sangat di kedua telapak kakinya.
"Apa yang terjadi, Johan? Kau tidak merubahku, kan?"
Emosi yang mulai menguasai pria itu, membuatnya menghilangkan sopan santun yang sudah melekat erat pada dirinya selama ini pada orang yang lebih tua.
Johan hanya menjawabnya dingin, "Aku masih memerlukanmu."
Kedua mata Nathanael mulai memerah marah.
"Kau pria bangsat!" Teriaknya kencang.
Dengan kemarahan yang memuncak, Nathanael berusaha menyerang pria tua di depannya, tapi hanya bisa tersungkur kembali karena kondisi badannya yang masih lemah.
Terengah-engah dan kesal dengan situasi yang dihadapinya, Nathanael hanya bisa tertelungkup dan mengepalkan kedua tangannya. Ia kemudian melihat kedua kaki yang melangkah mendekati wajahnya. Kaki Johan, atasannya sendiri.
"Kamu harus ingat Nathanael. Kamu sudah menjadi milikku saat ini."
Pria itu berjongkok di hadapannya, memastikan bahwa pria muda di bawahnya dapat melihat dirinya dengan baik dan jelas. Perlahan, ia mengusap rambut Nathanael, merapihkannya.
"Kamu tidak akan bisa mati, sampai masa usiamu habis atau aku sendiri yang mencabutnya."
Perkataan pria tua itu, membuat badan Nathanael bergetar marah.
"Ingat itu baik-baik Nathanael."
Setelah itu, Johan pun berdiri, meninggalkan Nathanael sendirian di dalam kamarnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Nathanael mendorong dirinya hingga terlentang. Ia memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Matanya berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak.
Tidak lama, terdengar teriakan penuh kemarahan dan putus asa keluar dari mulut pria itu. Ia berteriak untuk menyalurkan rasa putus asa dan frustasinya saat ini.
Teriakannya yang tadinya kuat, lama-kelamaan mulai berubah menjadi suara rintihan dan tangisan yang terdengar memilukan. Kemarahannya yang telah hilang, perlahan tergantikan dengan rasa kesedihan dan penyesalan yang luar biasa.
Pria itu berbaring miring dan memeluk dirinya sendiri seperti bola. Berjam-jam ia mengeluarkan emosi dirinya karena rentetan peristiwa yang sekarang dihadapinya.
Saat ini, ia hanya ingin mati untuk menyusul isteri dan anaknya.
Kenapa kematian susah sekali ia dapatkan?
Apa tujuannya untuk hidup kalau ia sudah tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini selalu ia tanyakan dalam benaknya berkali-kali pada malam itu.
Setelah Nathanael pulih dari kondisinya, ia pun kembali ke estate keluarganya dan harus menerima kenyataan bahwa ia telah menjadi orang yang terusir.
Keluarga Dupont sangat murka ketika mengetahui kalau puteri dan cucu mereka telah menjadi korban pembantaian.
Dan yang membuat mereka makin murka adalah orang yang seharusnya menjadi kepala keluarga dan melindungi mereka malah selamat, karena sedang tidak berada di tempat.
Pria malang yang seharusnya mendapatkan simpati itu pun malah menerima cacian yang datang tidak hanya dari keluarga mertuanya, tapi juga dari keluarganya sendiri.
Hal ini membuat Nathanael akhirnya memutuskan angkat kaki dari estate miliknya sendiri dan tidak membawa apapun. Ia ingin melupakan asal-usulnya.
Ia telah menjadi orang yang terbuang dan sama sekali tidak berharga di mata keluarga Axelle, karena dianggap telah mencoreng nama besar bangsawan mereka.
Semenjak kejadian itu, Nathanael selalu berada di samping Johan. Membantu pria tua itu untuk memenuhi obsesinya memenangkan peperangan demi peperangan.
Selama menjalankan tugasnya, Nathanael berusaha untuk selalu menyambut kematian. Dan selalu kegagalan yang diterimanya.
Perubahannya membuatnya memiliki indera yang lebih sensitif dari sebelumnya, yang justru menjadikan insting pria itu lebih tajam dibanding sebelumnya.
Ia juga memiliki kemampuan menyembuhkan yang luar biasa, membuatnya hampir tidak mungkin mengalami kondisi yang kritis, separah apapun luka yang didapatkannya saat itu.
Semakin Nathanael berjuang untuk mati, semakin sia-sia usahanya tersebut. Sampai akhirnya ia berada dalam satu titik, bahwa ia sudah tidak peduli lagi. Ia hanya menjalankan, apa yang harus dijalankannya. Tanpa mempedulikan tujuan akhirnya.
Masa peperangan yang mulai berakhir, membuat pasukannya perlahan dibubarkan. Johan pun akhirnya melepaskan dirinya dan memutuskan untuk pergi meninggalkannya.
Sebelum pergi, ia menyerahkan Marcus untuk berada di sisi pria itu. Marcus adalah orang yang telah menemani Nathanael dalam beberapa peperangan sebelumnya.
Johan menciptakan Marcus, karena ia adalah pria yang loyal dan memiliki kemampuan analisa yang tajam. Pria tua itu merasa bahwa Marcus akan dapat mengimbangi Nathanael nantinya.
Saat berpisah, mereka berdua saling berjabat tangan di stasiun kereta.
"Aku tahu kalau kamu selalu membenciku, Nathanael."
Pria tua itu menatap pria muda di depannya. Ia selalu menganggap Nathanael sebagai anaknya, meski tidak pernah mengatakannya secara langsung.
"Tapi aku tidak pernah menyesal menjadikanmu seperti saat ini."
Perkataan Johan membuat Nathanael terdiam. Entah apa maksud pria tua itu.
Mereka tidak pernah bertemu lagi dan setelah itu, berbekal dengan otak cerdasnya, Nathanael dan Marcus pun mulai membangun kerajaan bisnis mereka secara perlahan.
Nathanael hanya hidup, karena ia memang harus hidup, sampai ia memang harus mati nantinya. Hatinya kosong. Ia tidak memiliki hasrat untuk meraih apapun dalam hidupnya.
Sampai ia mengetahui ada seorang wanita yang bernama Alina Johan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
another Aquarian
Alina keturunan Johan pasti..
2022-01-16
1
Anonymous
Hmm... ada hubungan kah antara Alina n Mister Johan?? mari kita buktikan..
lanjuuuttt....
2022-01-11
2