Seminggu kemudian.
Terlihat Marcus memasuki sebuah ruangan sambil membawa dokumen di tangannya.
Ia disambut dengan senyuman sang atasan yang saat itu sedang duduk di balik meja kerjanya.
Raut muka Nate terlihat lebih cerah. Garis hitam di bawah matanya tampak berkurang banyak. Saat ini, ia tampak sangat segar dan siap untuk menghadapi hari.
"Marcus. Ada kabar baik?" Tanyanya tanpa basa-basi.
"Memang benar. Wanita itu menyembunyikan sesuatu." Pria dingin itu menjawab kaku.
Asistennya mengulurkan dokumen yang tadi dipegangnya.
Nate menerima dokumen tersebut dan membacanya hati-hati. Alisnya berkerut dalam.
Pria itu menghela nafasnya pelan. "Ini dari Tuan Felix?"
Pria di depannya mengangguk sekali. "Ya. Ia sedang mencoba menggali lebih dalam."
Meletakkan kacamatanya, Nate mulai mengetuk-ketukkan jarinya secara berirama di meja, menunjukkan bahwa ia sedang berfikir keras.
Marcus menunggu. Sejujurnya, ia juga tidak menyangka akan menerima informasi seperti ini. Sepertinya hal yang terkait dengan Alina Johan tidak akan berakhir secepat perkiraannya.
Setelah beberapa lama berfikir, atasannya mengarahkan pandangan ke kalender di mejanya.
"Kapan jadwal meeting kuartal dengan para direksi?"
"Dua hari lagi."
Mengganggukkan kepalanya, pria itu menoleh dan memandang asistennya tajam.
"Cari cara agar dia bisa hadir di meeting itu. Meski sebentar."
Kali ini, giliran Marcus yang mengerutkan keningnya.
"Tuan tidak mau langsung menemuinya?"
Mengingat kejadian seminggu yang lalu, membuat Nate sedikit bergidik. Namun, ia tidak mau menampilkan hal itu pada asistennya. Ia cukup punya harga diri di depan bawahannya.
"Tidak. Aku hanya mau melihatnya sebentar. Untuk memastikan."
Tidak mau terlalu banyak bertanya, Marcus hanya mengangguk sekali.
"Baik. Akan saya atur nanti."
"Terima kasih Marc. Kamu memang bisa diandalkan."
Setelah itu, Marcus pun keluar ruangan untuk melanjutkan pekerjaannya yang lain. Meninggalkan Nate yang masih menatap dokumen terbuka di depannya.
Alina Johan. Single. Tidak memiliki keluarga dan ia juga tidak pernah terlihat memiliki hubungan dengan seseorang, baik pria maupun wanita.
Ia telah pindah kerja lebih dari lima kali, pindah kota empat kali, dan juga beberapa kali menggunakan nama yang berbeda-beda. Baru di kota terakhir inilah, ia kembali mempergunakan nama lahirnya.
Dan yang paling mengagetkan dari informasi itu adalah usianya saat ini.
Saat bertemu dengannya, Nate memperkirakan wanita itu berusia 28-30 tahun dan hal ini sesuai dengan yang ada di biodatanya. Namun yang tertera di dokumen dari Felix, cukup mencengangkan.
Alina Johan ternyata telah berusia 45 tahun, dan tidak terlihat seperti itu.
Nate mengelus dagunya pelan, dan baru menyadari kalau ia ternyata lupa mencukurnya pagi ini karena terlalu bersemangat untuk bertemu dengan Marcus.
Mengarahkan pandangannya kembali ke dokumen di depannya, pria itu mengelus foto Alina Johan sambil bergumam tanpa sadar. "Siapa kamu Alina?"
Pria itu sangat yakin kalau Alina Johan bukan termasuk kaum V.
Tapi pertanyaan yang masih belum bisa dijawabnya sampai saat ini adalah, bagaimana wanita itu bisa memiliki aroma V yang cukup kuat kalau dia bukan kaum V? Dan bagaimana ia bisa mempertahankan kondisi fisiknya sama seperti itu, jika ia bukan kaum V?
Pertanyaan demi pertanyaan semakin bermunculan dalam benak pria itu, dan belum ada satu pun yang bisa dijawabnya.
Hal ini membuatnya semakin merasa penasaran. Dan ia tertantang untuk mencari tahu.
Di saat yang sama, Lin sedang mengaduk-aduk mangkuk makanannya. Bersama dengan Lucy, mereka tengah menikmati istirahat makan siang di kantin kantor.
"Ada apa Lin? Kamu masih masih belum menemukan pria kurang ajar itu?"
Dengan lesu, Lin menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan Lucy.
Ia sudah coba mencari tahu dari berbagai kenalannya di perusahaan, bahkan ia juga menghubungi relasinya yang ada di luar negeri langsung. Tapi tidak satu pun dari mereka mengaku kenal dengan pria bernama Nathanael dengan ciri-ciri yang dimaksud oleh Lin.
"Tidak ada yang tahu siapa dia Luce."
Sedikit kesal, Lin menancap-nancapkan garpunya pada daging di piringnya.
"Pria itu seperti setan saja. Tahu-tahu muncul entah dari mana dan begitu dicari, ternyata dia sudah menghilang."
Lucy sedikit terkekeh dengan perkataan temannya. Entah bagaimana, Lin selalu bisa mengeluarkan ekspresi yang bagi Lucy cukup menghibur dirinya.
"Ini tidak lucu Luce!" Lin mendelik pada temannya.
Temannya mengangkat kedua tangannya, meminta maaf. Ia tidak mau Lin marah padanya.
"Iya, aku tahu Lin. Maaf, tapi perkataanmu selalu membuatku ingin tertawa."
Mendengar perkataan Lucy yang sama sekali tidak membantu, wanita itu kembali cemberut menatap daging malangnya yang sudah menjadi bongkahan tidak berbentuk.
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"
Masih menunduk, Lin menghela nafasnya panjang.
"Sejujurnya, aku juga tidak tahu."
"Bagaimana dengan saranku dulu, Lin? Bertemu dengan Pak Marcus?"
Meletakkan kedua tangannya di meja, Lin memajukan sedikit badannya.
"Luce, apakah kamu pernah bertemu dengan Pak Marcus?"
Pertanyaan itu sedikit mengagetkan Lucy.
"Tentu saja belum. Tapi kebetulan aku pernah melihatnya."
"Oh ya?" Lin tampak tertarik.
"Ya. Saat rapat direksi beberapa bulan lalu. Kebetulan Direktur HC meminta data yang aku pegang, jadi beliau memintaku untuk datang ke ruangan meeting ketika itu."
Lucy sedikit mengernyitkan dahinya, mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa bulan lalu.
"Ketika aku datang, tampaknya mereka sedang membahas sesuatu bersama seorang pria yang ada di layar proyektor. Tapi aku tidak melihatnya jelas, karena pria itu sedang membalik badannya."
"Pria di layar proyektor? Siapa dia? Presdir?"
Pertanyaan temannya membuat Lucy mendesah sedih.
"Lin?"
"Ya?"
"Sudah berapa lama kamu kerja di sini?"
"Tahun ini 3 tahun. Kenapa?"
Tidak disangka, Lucy tiba-tiba menjitak kening temannya cukup keras. "Aduh!"
"Apa-apaan Luce!"
Lin menggosok-gosok dahinya yang memerah sambil memberenggut marah.
Teman yang duduk di seberangnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kalau aku tidak mengenalmu cukup lama, dan tahu kapasitasmu selama ini, mungkin aku akan mengganggap kamu orang bodoh, Lin."
Tidak mau terjadi hal yang sama lagi, Lin menyederkan dirinya ke kursi di belakangnya.
"Kamu kan tahu Luce, aku tidak bisa mengingat hal-hal seperti itu. Struktur organisasi di perusahaan ini sangat rumit dan banyak nama yang harus diingat."
"Ya, tapi setidaknya kamu ingat dong kalau Presdir kita baru dicopot jabatannya sekitar 1 tahun yang lalu."
Wanita itu akhirnya sedikit mengingat suatu informasi penting.
"Tunggu. Jangan katakan kalau ia terlibat kasus fraud saat itu?" Lin berbisik pada temannya.
Lucy menganggukkan kepalanya. "Yep. Dan itu karena kamu yang berhasil membongkarnya."
Menutup mulutnya, Lin takjub sendiri dengan perkataan Lucy.
"Wow."
"Beritanya memang sebisa mungkin diredam, tapi hal sebesar ini tidak mungkin disembunyikan selamanya."
"Apa yang terjadi padanya?"
"Entahlah. Tapi setahuku, dia bisa menghadapi tuntutan pidana. Sepertinya kasusnya masih berjalan sampai saat ini."
Wanita itu tersenyum pada temannya.
"Makanya kamu bisa cepat naik jabatan, padahal kamu masih muda kan, Lin?"
Lin hanya tersenyum getir pada temannya. Ia mamang langsung diberikan apresiasi dengan diangkat menjadi seorang Assistant Manager, padahal usianya masih sangat muda saat itu. Seandainya kamu tahu Luce.
"Oh iya. Tadi aku mau cerita apa?"
"Pak Marcus. Rapat direksi." Lin mengingatkan.
"Ya. Intinya saat itu mereka sedang membahas sesuatu. Aku membawakan dokumen yang diperlukan oleh Direktur HC dan setelah itu langsung pergi."
"Lalu?"
"Sekilas aku melihat yang namanya Pak Marcus. Ia duduk di kursi paling ujung, mendekati layar proyektor."
"Kenapa kamu bisa tahu kalau dia itu Pak Marcus?"
"Pak Hendrich langsung menyerahkan dokumen itu padanya, dan memanggil namanya. Kalau tidak, mungkin selamanya aku tidak akan tahu yang mana orangnya."
"Bagaimana menurutmu orangnya?"
Mengerucutkan bibirnya, Lucy tampak berfikir sebentar.
"Hmmm... Aku cuma mengingat kalau dia orang yang kaku dan dingin. Saat Pak Hendrich menyerahkan dokumen itu, ia hanya mengangguk tanpa tersenyum."
"Hanya itu?" Jantung Lin mulai berdegup kencang.
Mulai curiga dengan pertanyaan temannya, Lucy memandang Lin sambil tersenyum.
"Mungkin dia termasuk tampan? Kalau kamu memang menyukai tipe seperti itu?"
Lin yang belum mengerti dengan pertanyaan Lucy, mengernyitkan dahinya.
"Tipe seperti itu?"
Terkekeh, Lucy menjawab, "Ya. Tipe yang dingin, seperti di novel-novel."
"Oh Tuhan Luce. Bukan itu maksudku."
Lin sedikit mengepalkan tangannya di meja. Ia mulai kesal dengan temannya.
Sadar kalau Lin serius dengan perkataannya, Lucy pun merasa bersalah. "Maaf."
"Sudahlah. Maksudku, apakah ia terlihat cukup baik? Atau justru menakutkan? Kamu kan tahu kalau aku ingin bertemu dengannya untuk membicarakan masalah yang cukup pribadi."
Merasa bersalah, Lucy memandang Lin dan menggenggam tangannya.
"Maaf Lin. Tapi sejujurnya, aku benar-benar melihatnya hanya sekilas. Aku tidak bisa menilainya secara objektif karena memang belum pernah berbicara dengannya."
Mencoba tersenyum, Lin berusaha menenangkan diri. Ini sama sekali bukan salah temannya.
"Tidak apa-apa Luce. Maaf, aku sedikit terbawa emosi tadi."
"Sama-sama. Tapi perkataanmu tadi membuatku berfikir."
Lin yang sedang menunduk melihat makanannya, kembali menengadahkan kepalanya.
"Tentang apa?"
"Pria di layar proyektor itu. Jika dia bukan Presdir, lalu siapa?"
"Owner?" Tebak Lin.
Perkataan Lin membuat Lucy membulatkan matanya. Ia menutup mulutnya.
"Oh Tuhan!"
Bingung dengan reaksi temannya, Lin bertanya, "Memangnya kenapa kalau owner?"
Lucy memegang kedua lengan Lin dengan sangat kencang.
"Lin. Aku sudah kerja di sini sejak lulus kuliah. Hampir 15 tahun yang lalu. Dan aku bahkan tidak pernah satu kali pun melihat siapa owner perusahaan ini."
"Oh?"
"Semua karyawan hanya tahu namanya N. Axelle, tapi tidak ada yang tahu apakah dia pria atau wanita dan berapa usianya. Orang itu benar-benar misterius Lin."
"Apa yang aneh dengan itu? Mungkin saja dia memang tidak mau diketahui publik?"
"Usia perusahaan ini sudah 200 tahun lebih Lin, dan dengan nama owner yang sama. Kamu tidak berfikir itu aneh?"
Wanita itu terdiam mendengar perkataan temannya. Benar juga.
"Satu-satunya yang terpikirkan adalah, perusahaan ini sudah dijalankan beberapa generasi dan mereka memiliki keturunan dengan inisial nama yang sama. Tapi, tetap saja aneh kan?"
Lucy tampak bersemangat dengan kemungkinan ini.
"Kalau memang pria itu adalah owner perusahaan, maka aku sudah mengalami peristiwa bersejarah."
Kasihan melihat temannya yang memang suka sekali dengan cerita fantasi, membuat Lin mencoba menenangkan dengan menepuk-nepuk bahunya.
"Tenangkan dirimu Luce. Belum tentu juga itu owner."
"Tapi-"
"Bisa jadi, itu hanya salah satu pimpinan cabang di negara lain. Atau konsultan luar? Tidak ada yang tahu pasti Luce."
Informasi dari Lin membuat harapan Lucy yang tadinya menggembung, menjadi mengempis.
"Kamu benar." Ia menghela nafas kecewa.
"Sudahlah. Oya, bukannya kamu sedang diminta Pak Hendrich untuk mempersiapkan materi untuk meeting dua hari lagi?"
Terlupa dengan masalah sebelumnya, Lucy langsung bangkit dari duduknya.
"Oh Tuhan, kamu benar. Ayo kita balik Lin. Sudah terlalu lama kita di sini."
Setelah membereskan sisa makanan mereka, keduanya pun langsung menuju ruangan kantor masing-masing dan melanjutkan pekerjaan mereka yang sempat tertunda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
masih lama ya romantisan mr.vampire
2022-01-24
0