Keesokan harinya, Lin dan Lucy sudah disibukkan dengan persiapan meeting para direksi untuk hari berikutnya.
Silih berganti intruksi diberikan oleh para atasan mereka, agar tim dapat mempersiapkan segala dokumen dan juga data yang dibutuhkan oleh para pimpinan mereka, terutama mengenai pencapaian target perusahaan di kuartal ke tiga ini.
Tidak ada seorang pun yang terlihat santai. Semuanya saling bergegas dan berkejaran kesana-kemari, agar tidak sampai ada informasi yang tertinggal.
Banyak hal yang dipertaruhkan di sini, salah satunya pekerjaan mereka di perusahaan.
"Alina." Pak Robertus atasannya, memanggilnya ke ruangan.
"Masuklah Alina."
Pria baya itu menyuruh bawahannya untuk masuk dan mempersilahkannya duduk.
"Terima kasih Pak." Dengan sopan, wanita itu pun duduk.
Pak Robertus tampak membuang nafasnya dengan sedikit frustasi.
"Alina, saya mau minta tolong padamu."
Bertanya-tanya, Lin menjawab, "Mengenai apa Pak?"
"Tiba-tiba besok saya ditugaskan untuk melakukan kontrol di salah satu cabang kita di kota A. Tapi seperti yang kamu tahu, besok ada meeting kuartal rutin dengan direksi."
Lin menunggu dalam duduknya. Ia sepertinya sudah dapat menangkap kekhawatiran atasannya.
"Seharusnya saya yang mem-back up Pak Greyson bila beliau memerlukan data-data tertentu, tapi-"
Ia memandang bawahannya dengan penuh harap. Pria baya itu yakin dengan kemampuan Lin, meski wanita itu masih dapat dikatakan sebagai junior di antara para rekannya yang lain.
"Saya harap kamu bisa menggantikan saya untuk membantu Pak Grey besok."
Wanita itu mengangguk mantap. Membuat atasannya merasa lega. "Siap Pak."
Tidak ada kekhawatiran lagi, Pak Robertus tersenyum pada bawahannya.
"Terima kasih Alina. Saya mengandalkanmu."
Setelah itu, Pak Robertus pun memberikan beberapa instruksi dan petunjuk mengenai sejumlah dokumen dan data yang mungkin besok akan diperlukan dan ditanyakan oleh atasan mereka.
Pria itu memastikan bahwa anak buahnya benar-benar sudah mengetahui apa dan dimana harus mencarinya. Hal ini mempertaruhkan karir mereka berdua bila sampai ada kesalahan.
Persiapan mereka akhirnya membuat Lin pun harus pulang larut seperti malam-malam sebelumnya. Ia baru bisa beranjak dari kursinya dan bersiap untuk pulang pada jam 21.30.
Merasa sedikit lelah karena rentetan lembur selama beberapa hari ini, Lin menyeret kakinya menuju lift. Hari ini khususnya, benar-benar menyita energinya.
Ketika pintu lift terbuka, lagi-lagi Lin dihadapkan pada pria dingin yang ditemuinya minggu kemarin. Marcus.
Berusaha tidak bersitatap dengan pria besar itu, Lin pun masuk ke dalam lift. Ia lagi-lagi menempatkan dirinya sedekat mungkin dengan pintu lift, menjauhi pria itu.
"Malam."
Suara serak Marcus yang tiba-tiba memecah keheningan dalam lift, mengagetkan Lin.
Perlahan, ia sedikit membalik badannya tanpa menoleh. "Selamat malam."
Setelah itu, keduanya terdiam. Menunggu lift berjalan turun menuju lantai yang mereka tuju.
Tanpa disadari wanita itu, Marcus kembali memperhatikannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Apa yang menarik dari wanita ini?
Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak akan berani ia tanyakan pada atasannya. Tapi ia benar-benar penasaran. Apa yang menyebabkan atasannya tertarik pada wanita ini?
Muka wanita ini biasa saja, tidak cantik tapi tidak juga jelek. Kulitnya memang putih dan halus, namun hal itu akan banyak ditemukan dalam diri wanita lain.
Satu hal yang mungkin berbeda, adalah usianya yang tidak sinkron dengan fisiknya saat ini. Yang mungkin merupakan kelebihan dari wanita di depannya ini.
Tapi selain itu? Marcus tidak dapat menemukan jawaban lain.
Bel pintu lift yang berbunyi, memutus aliran pikiran Marcus saat itu.
"Saya permisi duluan." Suara wanita itu terdengar kembali ketika berpamitan keluar.
Pria itu pun akhirnya keluar dari pintu lift dan tetap memperhatikan Lin sampai wanita itu keluar dari pintu kaca lobi.
"Selamat malam, Pak Marcus."
Mendengar sapaan yang familiar itu, Marcus menganggukkan kepalanya dan segera beranjak menuju mobil yang telah menunggunya.
Lebih baik saat ini, ia segera pulang dan melanjutkan pekerjaannya di rumah. Rasa penasarannya akan ia buang sampai besok.
Keesokan harinya, di setiap lantai sudah terjadi kesibukan sejak pagi buta. Para staff mempersiapkan berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh para direksi yang akan meeting pagi ini.
Rapat rutin para direksi ini umumnya menimbulkan ketegangan dari berbagai pihak, karena meeting yang diadakan bersifat sangat tertutup dan tidak memperbolehkan orang yang tidak berkepentingan untuk masuk.
Masing-masing personel bersiap di posnya masing-masing, dengan jantung yang berdegup keras. Mereka harus bisa menjalankan tugas mereka semua hari ini dengan baik.
Tepat jam 10.00, semua petinggi perusahaan sudah berkumpul di lantai 60, dalam satu ruangan yang tertutup. Tidak mengizinkan pihak luar untuk dapat mengintip atau mendengar apapun pembicaraan yang sedang berlangsung di dalam.
Tidak lama, sebuah gambar muncul di layar proyektor besar di ujung ruangan. Menampilkan sosok seorang pria berkacamata yang berusia sekitar 38 tahun di dalamnya.
Wajah pria itu terlihat seperti bangsawan, dengan kedua mata tajam yang berwarna kelabu muda. Meski usianya jauh lebih muda dari para petinggi yang hadir, namun aura wibawanya terpancar kuat, membuat semua orang menaruh rasa hormat padanya.
Ia tampak sedang duduk di meja kerjanya sambil memegang sebuah bolpoin di tangan kirinya. Terlihat laptop yang sedang terbuka berada di depannya.
"Selamat pagi."
Pria itu menyapa dengan suaranya yang dalam dan halus. Alunannya membuat yang mendengarnya merasa terhipnotis.
"Selamat pagi, Tuan Axelle." Sapa mereka semua serentak.
Tersenyum samar, pria di dalam proyektor melanjutkan, "Mari, kita mulai pertemuannya."
Setelah itu, rapat direksi pun dimulai.
Jam sudah menunjukan pukul 16.00 ketika tiba-tiba telepon di meja Lin berbunyi.
"Halo." Jawabnya sigap. Jantungnya berdebar, siap untuk menerima instruksi.
"Alina Johan?" Tanya suara di seberang telepon.
"Benar. Saya sendiri."
Setelah itu, suara di seberang telepon meminta Lin untuk membawakan beberapa dokumen khusus ke dalam ruangan rapat tertutup di lantai 60.
Selesai mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan, ia pun segera menuju lantai 60 dan disambut oleh seorang security seperti saat terakhir ia kesana.
Sang security mengantarkan Lin ke ruangan yang dituju. Sedikit gugup, Lin mengikuti pria itu ke ruangan rapat tertutup yang terletak di ujung ruangan.
Membunyikan bel khusus di depan pintu, ruangan pun terbuka. Menampilkan seorang pria berusia 50 tahunan. Melihat sudah ada yang menerima tamunya, security itu pun undur diri.
Setelah pria itu pergi, Lin menyapa atasannya dengan sopan.
"Pak Greyson."
Lega, pria paruh baya itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dokumen dari tangan wanita itu.
Saat Pak Greyson mengecek dokumen di depan pintu, Lin berkesempatan mengintip ke dalam ruangan. Ia melihat sebuah layar proyektor besar yang menampilkan gambar sebuah kursi dan meja kerja yang besar, tapi tidak ada seorang pun di dalamnya.
Ia juga melihat Marcus duduk di ujung meja, sedang memandang tajam ke arahnya. Hal ini membuat Lin sedikit terpaku melihat tatapan mata pria itu yang menusuk.
"Oke Alina. Thank you."
Suara Pak Greyson menyadarkan Lin dan memutus pandangannya pada Marcus.
Setelah itu, pria itu segera masuk ruangan dan menutup pintunya kembali.
Lin berbalik dan baru akan melangkahkan kakinya, ketika ia merasakan bulu kuduknya meremang. Ia merasa diperhatikan.
Memegang tengkuknya, wanita itu melihat ke sekelilingnya yang tampak sepi dan tidak terdengar suara apapun.
Suasana di lantai 60 sangat hening, meski rapat sedang berlangsung di salah satu ruangan saat itu. Sebagian besar ruangan meeting yang ada di lantai itu kedap suara, membuat tidak ada seorang pun dari luar dapat mendengar pembicaraan di dalamnya.
Lin bukan seorang penakut, tapi suasana ini membuatnya mulai merasa tidak nyaman.
Ia baru akan beranjak dari sana, ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah lain di lantai itu.
Terbiasa untuk waspada, wanita itu bukannya lari menghindar tapi ia malah bergerak menghampiri asal suara itu.
Tanpa sengaja, kakinya menginjak sesuatu di karpet. Heran, Lin menundukkan kepalanya dan memungut benda itu, yang ternyata sebuah bolpoin.
Pena itu terasa berat dan mahal. Terdapat grafir berwarna emas di salah satu sisinya yang bertuliskan N. Axelle. N. Axelle? Owner?
Lin memandang sekelilingnya bingung. Apakah sang owner sedang ada di perusahaan saat ini? Kalau memang iya, ada di mana dia? Apakah ia tidak ikut rapat direksi?
Saat sedang melihat-lihat itulah, wanita itu memperhatikan pintu salah satu ruangan kantor yang tampak tidak tertutup sempurna.
Tidak ada tanda apapun di depan pintunya. Hanya bertuliskan satu kata 'Private'.
Jantung Lin berdegup kencang. Kalau memang ada sang owner di dalam ruangan, berarti ia adalah orang pertama yang bisa melihatnya. Ia sudah mulai membayangkan reaksi Lucy jika temannya tahu.
Memegang pintu ruangan tersebut, Lin pun membukanya dengan cepat.
Pemandangan yang ada di depan matanya, sejenak membuat Lin tertegun. Untuk kemudian, ia mulai berteriak marah.
"Kau!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
nahhhh..nahhh
2022-01-24
0