"Nona Alina Johan. Perkenalkan, Tuan Nathanael Axelle. Pemilik dari perusahaan ini."
Wanita itu hanya bisa mematung di tempatnya, ketika ia akhirnya berhadapan dengan sosok pria yang dicarinya selama ini. Meski sudah bisa menduganya tadi, tapi nafasnya tetap mulai menderu cepat. Tubuhnya menegang kaku.
Melihat wanita di depannya yang terlihat pucat dan kemungkinan akan mengalami serangan panik, Marcus sedikit mendekatinya.
"Nona Alina? Anda tidak apa-apa?"
Suara Marcus yang serak, tampak membuat fokus Lin kembali. Ia mengerjapkan matanya. Berusaha mengatur emosi dirinya kembali.
"Ya. Saya tidak apa-apa." Katanya pelan.
"Kalau begitu, silahkan duduk di sebelah sini."
Marcus sebenarnya tidak merasa nyaman dengan pengaturan tempat duduk yang aneh ini.
Kedua orang di depannya duduk di sofa terpisah, saling berseberangan. Dan dirinya sendiri, berada di tengah-tengah mereka berdua.
Tapi permintaan atasannya adalah titah bagi dirinya.
Menghela nafas pelan, Marcus pun memulai pertemuan yang canggung ini.
"Baiklah. Nona Alina, seperti yang pernah saya katakan sebelumnya. Saya akan coba membantu Anda untuk masalah yang pernah Anda ceritakan waktu itu pada saya."
Marcus meneliti wajah wanita di sampingnya, yang tampak masih menatap tajam pada pria yang ada di seberangnya. Sepertinya atasannya akan mendapatkan lawan yang cukup sulit.
Beralih menatap Nate, atasannya terlihat salah tingkah dan sedikit menundukkan kepalanya.
Marcus pun kembali menatap Lin yang masih duduk tidak bergerak.
"Beliau adalah Tuan Nathanael, alias N. Axelle. Ia adalah owner perusahaan, pemilik bolpoin yang Anda temukan, dan sekaligus pelaku pelecehan yang Anda cari selama ini."
Suasana menjadi hening seusai perkenalan yang sangat aneh itu.
Setelah menunggu sebentar dan menyadari tidak ada yang mau bersuara, Marcus akhirnya berdiri dari duduknya. Ia tampak merapihkan jasnya dengan kaku.
"Marc?"
Nate yang melihatnya mendongak dan bertanya. Ia cukup khawatir bila ditinggal hanya berdua dengan wanita di depannya ini.
"Maafkan saya, Tuan. Tapi ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya sepertinya harus meninggalkan Anda berdua di sini. Permisi."
"Tunggu. Marc-"
Nate mulai sedikit panik. Perkataannya terpotong oleh suara Lin yang juga menunjukkan kepanikan yang sama.
"Pak Marcus. Saya-"
"Anda jangan khawatir, Nona Alina. Selama masih berada dalam jarak yang aman, Anda akan baik-baik saja."
Tanpa belas kasihan, pria dingin itu pun keluar dari ruangan. Meninggalkan dua orang asing yang masih saling menatap dengan canggung.
Tidak lama kemudian, Lin mendengar suara pria di depannya yang terdengar halus dan dalam.
"Nona Alina. Saya ingin meminta maaf untuk hal yang telah saya lakukan pada Anda. Saya benar-benar tidak berniat untuk melakukan hal yang tidak sopan itu."
"Tidak berniat kata Anda?"
Perkataan Nate justru malah membuat Lin merasa marah kembali. Wanita itu melotot.
"Sekali, saya masih bisa memaklumi. Tapi untuk yang kedua kali? Anda berharap, saya mau mempercayai bahwa Anda sama sekali tidak pernah berniat untuk menyerang saya?"
"Bu-bukan seperti itu maksud saya."
Tergagap pria itu berusaha menjelaskan. Ia mengangkat kedua tangannya, berusaha meredakan kemarahan wanita di seberangnya.
Baru kali ini, ia berhadapan dengan wanita yang frontal seperti Lin. Pengalamannya bersama wanita, hanya dengan isterinya dulu yang memiliki sifat kalem dan cenderung pendiam.
"Masalahnya adalah, Anda memiliki..."
Pria itu terdiam. Ia mengerutkan dahinya dan terlihat berfikir sambil memandang lantai.
Lelaki itu tidak tahu sampai sebatas mana ia dapat memberitahukan kebenarannya pada wanita ini. Ia sama sekali belum tahu apa-apa mengenai dirinya, kecuali usia sebenarnya.
Lin menunggu kelanjutan dari pria itu. "Saya memiliki apa?"
Mengerjap, pria itu akhirnya memandang Lin. Memutuskan untuk memberitahukan sebagian dari kebenarannya.
"Anda memiliki sesuatu yang unik, yang membuat saya tertarik."
Wanita itu terdiam. Ia sedang berfikir, seberapa jauh pria di depannya ini mau menggombali dirinya. Apakah semua pria berfikir bahwa semua wanita akan tersanjung bila sedikit dipuji?
"Saya sama sekali tidak mengerti maksud Anda."
Jawaban Lin yang datar semakin membuat Nate bingung menghadapinya. Bagaimana ia harus menjelaskan agar wanita itu dapat memahami maksudnya?
Pria itu kembali menunduk menatap lantai, tampak berfikir. Tanpa sadar, jari-jemari tangan kirinya mulai mengetuk-ketuk pahanya dengan irama yang teratur.
Keheningan itu, digunakan Lin untuk dapat mengamati lebih jauh pria yang ada di hadapannya. Dalam dua kali pertemuan mereka, Lin sama sekali tidak berkesempatan untuk dapat melihat wajah pria itu dengan baik.
Lelaki di depannya benar-benar memiliki wajah seperti bangsawan. Tulang pipinya tinggi, hidungnya mancung, lurus dan sempit, dengan sepasang bibir yang tidak terlalu tipis.
Garis rahangnya terlihat tegas dan telinganya tinggi, menandakan seseorang yang cerdas.
Sepasang mata tajamnya yang berwarna kelabu muda, dinaungi oleh alisnya yang tebal dan berwarna hitam pekat. Sama seperti rambutnya.
Pandangan Lin turun, mengamati bahu dan dada bidang lelaki itu, yang tampaknya cukup terbentuk di balik baju mahalnya.
Ia juga melihat jari-jemarinya yang berkuku pendek, tampak panjang dan terlihat kuat.
Pahanya pun terlihat berotot, menandakan seorang yang senang berolahraga atau melakukan berbagai kegiatan fisik lainnya.
Cara pria itu duduk dan membawa diri pun terlihat berbeda jauh dengan Marcus.
Marcus memiliki pembawaan yang kaku, tapi pria ini luwes dan anggun. Ia seperti berasal dari kalangan atas dan terbiasa bergaul dengan kalangan tertentu. Bukan tipikal orang biasa.
Kening Lin berkerut, ketika menyadari bahwa pria di depannya memiliki pembawaan dan keseluruhan fisik yang rupawan. Mungkin benar seperti kata Lucy waktu itu, bahwa pria ini bisa dikatakan tampan. Sayangnya, Lin sama sekali tidak tertarik padanya.
Tidak menyadari sedang dinilai oleh wanita di depannya, Nate mendongak dan menatap Lin.
Tatapan mata Nate yang terlihat bertanya, membuat Lin langsung membuang mukanya. Pipinya sedikit merona, berfikir bahwa ia tertangkap basah sedang memandangi wajah dan tubuh pria itu.
Menyangka kalau wanita di depannya membencinya, membuat Nate merasa sedih. Ia benar-benar ingin mengenal wanita ini lebih jauh, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
"Apa yang harus saya lakukan agar Anda mau memaafkan saya?"
Nate akhirnya bertanya pelan. Ia benar-benar kehabisan kata-kata di depan wanita ini.
"Kenapa Anda melakukan itu?"
"Seperti yang saya bilang tadi, Anda-"
"Hentikan omong kosong itu. Saya tanya lagi, kenapa Anda melakukan itu pada saya?"
Mendengar suara Lin yang tegas, Nate menghela nafas. Sepertinya berbicara jujur akan lebih baik untuk membuat wanita ini paham dengan keadaannya.
"Karena saya bern*fsu melihat Anda."
Jawaban Nate membuat Lin terdiam. Ia memandang lurus mata pria itu dan tidak melihat kebohongan di dalamnya.
"Kenapa?"
"Anda memiliki aroma tubuh khas, yang membuat saya kehilangan kontrol diri. Saya ingin meniduri Anda."
Kata-kata Nate yang sama sekali tidak disaring, membuat muka Lin menjadi pucat. Ia sedikit beringsut di duduknya. Ia merasa menyesal sudah memancing pria ini.
Melihat wanita di depannya mulai ketakutan, Nate merasa bersalah tidak menyaring perkatannya tadi.
"Maaf. Bukan maksud saya untuk menakuti Anda. Tapi-"
"Anda serius?"
Pertanyaan Lin membuat Nate terdiam. Ia kemudian mengangguk. "Saya serius."
"Hanya karena bau tubuh saya, Anda kehilangan kontrol?"
Lelaki itu mengangguk lagi. "Hanya karena itu."
Kalau dalam situasi biasa, Lin mungkin akan mendekati pria itu dan menantangnya. Tapi pengalaman sebelumnya mengajarkan Lin, bahwa pria di depannya jauh lebih kuat dari dirinya. Akan sangat berbahaya situasinya jika pria itu benar-benar kehilangan kontrol.
Mengepalkan tangannya, wanita itu menatap Nate tajam.
"Bagaimana dengan sekarang? Apakah Anda bisa mencium bau saya?"
"Sedikit. Selama Anda tidak terlalu dekat, saya bisa memastikan bahwa Anda akan aman."
Lin akhirnya paham kenapa pada pertemuan pertama dan kedua, pria itu terlihat berusaha menjauh darinya. Mungkin ini sebabnya.
"Sejujurnya, saya sama sekali tidak paham kenapa ini bisa terjadi. Tapi saya akan mempercayai Anda." Akhirnya Lin berkata.
Nate merasa lega. Pria itu menatap Lin penuh harap.
"Kalau begitu, apakah Anda memaafkan saya?"
"Tidak."
Perkataan wanita itu membuat harapan Nate melayang jauh.
"Saya dapat memahami kenapa Anda melakukannya, tapi saya tidak bisa menerima kenapa Anda tidak bisa mengontrolnya. Itu adalah tubuh Anda sendiri. Kehendak Anda sendiri. Kejadian itu menunjukkan bahwa Anda bukanlah pria yang bertanggungjawab."
Kata-kata tajam wanita itu membuat Nate terdiam.
"Siapa yang bisa menjamin bahwa saya tidak akan berada di dekat Anda selamanya? Mungkin kejadian ini menimpa saya sekarang, dan Anda masih bisa menjelaskan pada saya alasannya. Tapi apakah Anda yakin tidak akan ada korban yang lain?"
Lin mencoba memperhatikan ekspresi pria itu, tapi tidak bisa membacanya.
"Hanya karena bau tertentu, bisa saja Anda menyerang sembarangan seorang wanita di tengah jalan. Bagaimana Anda bertanggungjawab untuk itu?"
Nate memandang wanita di seberangnya tanpa ekspresi. Dalam hati, ia merasa kagum dengan keberanian wanita ini. Tapi dia berani bertaruh dengan seluruh hidupnya, bahwa kejadian ini tidak akan pernah menimpa orang lain, selain Lin sendiri.
Di depan Lin, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Nate terlihat menyetujui argumentasi dari wanita itu.
"Kalau begitu, apa saran Anda? Saya juga tidak mau hal ini terjadi lagi."
"Anda harus belajar cara untuk mengontrolnya."
"Bagaimana cara melakukannya?"
Mengatupkan bibirnya, Lin sudah mengambil keputusan. Setidaknya sebelum ia resign, ia akan membantu pria ini dulu melalui masalahnya.
"Saya akan membantu Anda."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
ini yg ditunggu2 nate..semoga sukses nate
2022-01-25
0