Setelah itu, mereka berdua berjanji akan bertemu kembali beberapa hari kemudian karena mulai besok, akhir minggu sudah dimulai.
Lin saat itu sudah berpamitan dan baru akan memegang gagang pintu, ketika ia merasakan ada tarikan pelan pada lengan bajunya.
Menoleh, ia melihat tangan Nate ternyata telah memegang ujung lengan kemejanya. Mata pria itu menunduk, ekspresinya tampak sedikit takjub dengan hal yang sedang dilakukannya.
"Nate?" Wanita itu bertanya, ketika melihat Nate hanya memandangi tangannya saja tanpa bersuara.
"Lin..." Suara Nate terdengar lirih. Ia pun akhirnya mengangkat wajahnya.
Deg!
Jantung Lin berdetak sedikit lebih cepat. Mata Nate telah menghitam, membuat wanita itu baru menyadari bahwa ternyata mereka berdiri cukup dekat.
Tapi ekspresi pria di depannya ini membuat kecemasan Lin perlahan mulai mencair. Pria itu tersenyum dengan tulus padanya.
"Lin. Terima kasih kamu percaya padaku."
Nate pun akhirnya melepaskan tangan wanita itu. "Sampai ketemu senin nanti."
Terpana dengan apa yang sedang dilihatnya, Lin pun hanya bisa mengangguk kaku.
"Iya. Sampai jumpa lagi. Aku pergi."
Wanita itu pun keluar ruangan meninggalkan Nate yang terlihat sangat lega. Pria itu sama sekali tidak menyadari perubahan di warna matanya.
Saat ini yang ada di pikirannya adalah, betapa ia sangat bersyukur dapat sempat bertemu dengan seseorang seperti Lin, dalam rentang masa hidupnya yang cukup panjang.
Setidaknya saat ini, dirinya mulai merasa ada tujuan hidup lagi saat ia bersama dengan wanita itu. Ia merasa bahagia saat bersamanya.
Sementara itu di dalam lift, Lin kembali menyenderkan kepalanya di dinding. Situasi ini membuatnya cukup bingung sebenarnya.
Baru kali ini, ia bertemu dengan seseorang dari kaum V. Selama ini, ia selalu mencari mereka. Mencari seseorang tepatnya, dan tidak pernah berhasil.
Mereka termasuk bangsa yang soliter. Independen. Tidak mau terekspos. Dan yang Lin tahu, kebanyakan dari mereka adalah orang yang justru berada di belakang tokoh-tokoh penting.
Kaum V jarang berkumpul bila tidak ada tujuan. Mereka yang telah berpasangan pun, akan memilih untuk memisahkan diri dari kaumnya. Membuat pencarian Lin menjadi lebih sulit.
Lin selama ini, sama sekali tidak memiliki akses untuk menemui mereka dan hampir tidak ada seorang pun yang bisa ditanya. Pengetahuan yang ia dapat hanya dari ibunya yang telah tiada.
Tidak semua manusia sadar dengan keberadaan mereka, sehingga dia sendiri pun harus sangat berhati-hati ketika mencari informasi.
Dan sekarang, secara kebetulan takdir mempertemukannya dengan salah satu dari mereka. Dan orang itu, bukanlah orang sembarangan.
Wanita itu mulai menggigiti kuku jarinya. Ia harus memikirkan keputusannya baik-baik.
Beranikah ia langsung pergi meninggalkan kota ini tanpa petunjuk apapun untuk yang sedang dicarinya? Atau justru menetap lebih lama dan mencoba menggali informasi dari pria itu?
Secara logika, tentu ia akan memilih pilihan kedua. Masalahnya hatinya merasa dilematis, karena hal ini berarti ia akan memanfaatkan Nate untuk kepentingan pribadinya.
Mampukah ia memanfaatkan kesepian pria itu untuk keuntungannya sendiri? Saat ini, Lin masih belum tahu jawabannya.
Pada saat yang bersamaan, Nate baru mulai duduk di meja kerjanya ketika ketukan kembali terdengar di pintunya.
Marcus tampak masuk ke dalam ruangan. Ia memegang sesuatu di tangan kirinya.
"Tuan."
"Marcus!" Nate menyapa pria dingin itu dengan gembira.
Ekspresi atasannya yang sama sekali tidak pernah dilihatnya, membuat Marcus sedikit terpaku di tempatnya. Apa yang telah terjadi?
"Apa yang kamu bawa, Marc?"
Pria di depannya terlihat bersemangat seperti anak kecil di balik meja kerjanya.
Mengerjapkan matanya, pria dingin itu berusaha mengontrol nada suaranya.
"Felix ternyata bisa lebih cepat memberikan informasi tambahan."
"Ya. Aku sudah tahu. Dia meneleponku tadi. Katanya ada hal yang menarik?"
Nate menerima dokumen dari tangan Marcus dan memakai kacamata yang tadi sempat dilepasnya saat bersama Lin.
Marcus menunggu atasannya membaca dokumen di tangannya. Ia melihat ekspresinya berubah serius dan dahinya sedikit mengernyit.
Perlahan, Nate meletakkan dokumen itu di atas mejanya. Pria itu tampak termenung.
"Kamu yakin dengan informasi ini, Marc?"
Marcus menganggukkan kepalanya sekali. Badannya terlihat sedikit tegang.
"Felix sendiri yang menggalinya. Ia juga cukup terkejut ketika tahu."
Mata Nate kembali menunduk, melihat pada berkas yang ada di depannya.
"Tapi ini..."
Informasi yang tertera di berkas tersebut sedikit banyak telah dapat menjawab pertanyaan pria itu selama ini, tapi ada beberapa hal yang masih belum jelas. Masih kabur.
Pria itu mengepalkan tangannya di atas meja. Ia harus bertemu langsung dengan Felix.
"Marcus. Tolong atur pertemuanku dengan Tuan Felix. Segera. Tertutup."
"Baik. Saya akan segera mengaturnya."
Sedangkan di tempat lain, Lin tampak sedang memegang mug yang berisi susu panas.
Wanita itu sedang duduk di sofa di apartemennya. Ia mengangkat kedua kakinya dan menumpukan dagunya di sana.
Sambil memutar-mutar mug yang ada di tangannya, matanya tampak menerawang ke masa lalunya. Ia mengingat-ingat masa hidup yang sudah dijalaninya selama ini.
Meletakkan mugnya ke meja, ia pun melihat kedua telapak tangannya yang memerah karena panas dari gelas tersebut.
Menggosok-gosokkan kedua tangannya, Lin tiba-tiba teringat kejadian beberapa waktu lalu.
Memandang tangannya, ia masih bisa merasakan ketika jari-jemarinya menggenggam erat dada pria di bawahnya. Ia dapat merasakan otot-ototnya yang kencang di balik rompinya.
Secara bersamaan, ia juga teringat aroma pria itu ketika ia berada di lehernya. Aromanya kuat dan sangat maskulin di hidung Lin. Itu adalah pertama kalinya ia mencium bau seorang pria tanpa harus merasakan mual.
Tanpa diinginkannya, pipi Lin mulai memerah ketika mengingat kejadian tersebut.
Selama hidupnya, ia sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya. Kejadian dengan Nate adalah yang pertama kalinya dapat membuat Lin merasa sedikit tergetar.
Ada beberapa pria yang memang mencoba mendekatinya, termasuk Lionel. Tapi Lin anehnya, sama sekali tidak merasakan perasaan apapun pada mereka.
Awalnya ia menyangka, kalau ia mungkin memang belum bertemu dengan seseorang yang disukainya. Sehingga mengganggap itu hal yang wajar.
Tapi seiring berjalannya waktu, ia telah bertemu dengan banyak orang. Puluhan sampai ratusan. Tua-muda, kaya-miskin, dari yang tampan sampai dengan yang biasa-biasa saja.
Ia bahkan mencoba untuk berkencan dengan beberapa dari mereka, tapi selalu pulang dalam keadaan pusing. Ia selalu merasa mual berada di dekat para pria terlalu lama, terutama ketika mulai mencium hawa n*fsu mereka terhadap dirinya.
Ia sudah sampai pada suatu titik tidak ingin mencoba lagi. Apalagi ketika di usianya yang semakin bertambah, ia juga mulai menemukan beberapa keanehan dalam dirinya.
Ibunya yang telah tiada memang sempat mengungkapkan beberapa hal padanya sebelum ia meninggal, tapi tadinya Lin tidak pernah menganggap serius ucapan ibunya.
Wanita yang telah melahirkannya itu hampir selalu tampak depresi dan selama tahun-tahun masa kecilnya, dihabiskan Lin untuk berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.
Mereka bahkan terkadang mengganti identitas dirinya, tanpa Lin ketahui sebabnya.
Seumur hidupnya, Lin telah kehilangan masa kecil dan masa remajanya. Dan meski ia adalah seorang yang berprestasi baik di sekolah maupun masa kuliahnya, tapi tidak ada yang pernah memberikan kesan mendalam karena setelahnya ia pun harus berpindah tempat lagi.
Lin sendiri tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Ia hanya tahu bahwa ayahnya meninggalkan mereka saat ia masih di kandungan. Ibunya bahkan sama sekali tidak pernah mau memberikan gambaran mengenai ciri-ciri fisiknya.
Sejak remaja, Lin sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri dan juga ibunya. Hal ini karena pada saat berumur 16 tahun, ibunya sudah tidak mampu menafkahi mereka lagi, membuat Lin harus mulai bekerja secara part-time dan berjuang untuk kehidupannya.
Wanita itu akhirnya menyenderkan kepalanya ke kepala sofa dan menarik nafas panjang. Ia memandang langit-langit di atasnya.
Bisa dikatakan bahwa Lin sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang normal dari ibunya. Membuat pribadinya menjadi kuat, independen dan tidak mudah menyerah.
Ketika usianya 21 tahun, ibunya pun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Dan pada saat itulah, ibunya akhirnya mengungkapkan suatu kenyataan.
Kenyataan yang cukup membuat hidup Lin berantakan, karena ia sama sekali tidak memiliki pegangan dan tempat bersadar untuk membantunya melewati masa kritis itu.
Ia hampir saja kehilangan arah, jika pada saat itu ia tidak mengingat perkataan ibunya bahwa ayahnya ternyata masih hidup. Dan masih mencarinya sampai sekarang.
Lin pernah berada dalam fase sangat membenci ibunya, yang dengan teganya memisahkan dia dari ayahnya. Selama hidupnya, Lin mempercayai kalau ayahnya membencinya dan tidak pernah menginginkan dirinya. Tapi ternyata?
Tapi tetap saja, ketika ibunya meninggal, Lin tetap merasakan kehilangan. Ia kehilangan satu-satunya orang yang dapat menerima dirinya apa adanya.
Mengingat hal itu, membuat air mata Lin perlahan menetes, mengalir di pipinya.
Selama 21 tahun dalam kehidupannya, ia mempercayai sesuatu yang ternyata bukan suatu realita. Ketika ia akhirnya mengetahui kenyataan sebenarnya, ia juga tidak bisa semudah itu untuk menerimanya begitu saja.
Perlu waktu puluhan tahun untuknya beradaptasi dan dapat menerima dirinya apa adanya. Bukan waktu yang mudah bagi Lin, karena ia pun tidak pernah memiliki seseorang di sampingnya kecuali ibunya.
Selama lebih dari 20 tahun kehidupannya, Lin selalu berusaha untuk kabur. Kabur dari kenyataan yang mengejarnya.
Bahwa ia bukanlah wanita yang normal. Bahwa ia terlahir dari sebuah perjanjian. Bahwa ia adalah keturunan dari sesuatu yang telah mengutuknya menjadi seperti sekarang ini.
Dan entah mengapa, ketika ia menginjakkan kaki di kota ini lebih dari 3 tahun yang lalu, Lin pun memutuskan untuk menetap dan pada akhirnya menggunakan nama lahirnya.
Wajah Nate tiba-tiba membayang di pelupuk matanya, membuat Lin mengerjap.
Sejenak, ia terlihat berfikir dan tidak lama menegakkan badannya.
Ini adalah satu-satunya kesempatan yang ada di depan matanya. Apakah ia akan melewatkannya? Tentu saja tidak.
Setidaknya ia harus mendapatkan jawaban dari pertanyaannya selama ini. Setidaknya ia harus tahu tujuannya dilahirkan di dunia ini. Dan Lin merasa, bahwa di usianya sekarang, ia sudah lebih dari siap untuk menerima apapun kenyataan yang akan dihadapinya nanti.
Menarik nafasnya panjang, Lin sudah memutuskan. Maaf Nate, tapi sepertinya aku memang harus memanfaatkanmu untuk kepentinganku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
and Nate says....ga papa lin, manfaatkan aku sebanyak yg kamu mau
2022-01-25
0
another Aquarian
Iya.. Terkuak sedikit demi sedikit.. Lanjuuuttt ahhh..
2022-01-16
0
jnxdoe
Makasih komentarnya ❤️😊
2022-01-11
0