Sejak kembali dari ruangan Lucy, Lin memutuskan untuk meneruskan sisa pekerjaannya hari itu. Lebih baik ia mengkonsentrasikan dirinya pada pekerjaannya dulu dan mencoba mengalihkan pikirannya dari peristiwa siang tadi.
Tersadar ketika suasana sudah mulai menggelap dan lampu-lampu ruangan mulai dimatikan, Lin melihat jam tanggannya, pukul 21.00. Ia sama sekali tidak menyadari hari berlalu dengan cepat saat ia fokus pada layar di depannya.
Mematikan layar komputernya, Lin pun merapihkan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang. Setelah memastikan tidak ada yang tertingal, ia pun segera keluar menuju lorong yang mengarahkannya pada lift.
Lin sedang memainkan ponsel yang ada di tangannya, ketika pintu lift terbuka.
Melihat ke depan, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Dengan perlahan, ia menengadahkan kepalanya hingga bersitatap dengan orang yang ada di dalam lift.
Pria di dalam memiliki postur badan yang hampir mirip dengan lelaki yang sedang dicarinya. Hanya saja, pria di depannya berwajah dingin dan memiliki rambut kelabu gelap.
Menghembuskan nafasnya lega, Lin dengan hati-hati melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ia sebaiknya bersikap waspada dengan berbagai kemungkinan, terutama karena ia sudah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan dua kali bulan ini.
Wanita itu memposisikan dirinya mendekati pintu lift, berusaha sedikit menjauh dari pria di belakangnya yang masih tampak seperti patung.
Marcus mengamati wanita yang berdiri di depannya dengan intens. Tinggi wanita itu hanya sebatas dagu, memungkinkannya untuk mengamati dengan leluasa. Betapa kebetulan.
Mengingat pertanyaan atasannya, pria itu mencoba untuk menajamkan penciumannya. Mencoba untuk menangkap hal-hal yang mungkin belum disadarinya.
"Hmmm."
Tanpa sadar Marcus bergumam, membuat Lin langsung berbalik menghadapnya.
"Ya?" Kening Lin berkerut.
Pria di belakangnya mengangkat alisnya, bertanya, "Hm?"
Kedua orang itu saling bersitatap dalam diam. Masing-masing menunggu respon salah satu pihak. Tidak ada yang mau mengalah.
"Anda berbicara pada saya?" Lin akhirnya bertanya.
"Tidak."
Suara pria itu berat dan serak. Berbeda jauh dengan pria bersuara dalam dan halus yang dicarinya.
Kembali berbalik, Lin tiba-tiba merasakan perasaan tidak nyaman. Bulu kuduknya terasa mulai meremang. Ia semakin mendekati pintu lift, berusaha sedikit menjauh dari pria itu.
Saat itu, Marcus berusaha memfokuskan indera penciumannya pada wanita di depannya. Berusaha mencari tanda apapun yang mungkin dilewatkannya. Hal ini membuat warna matanya yang coklat tua berubah menjadi lebih gelap.
Udara di dalam lift menjadi lebih berat, membuat Lin sedikit sulit bernafas. Ada apa ini?
Wanita itu merasakan kepanikan mulai menjalar naik dari perutnya. Ia sedikit memiliki claustrophobia, terutama ketika berada terlalu lama dalam ruangan kecil.
Tiba-tiba, pintu lift membuka dengan suara nyaring. Membuat tubuh Lin terlonjak kaget dan membuatnya sedikit membeku di depan pintu yang terbuka.
"Anda tidak mau keluar?"
Suara serak pria itu terdengar kembali dari arah belakangnya.
Tersadar, wanita itu segera melangkahkan kakinya tapi karena sedikit gemetar, membuatnya tidak sengaja tersandung pada celah pintu lift.
"Oh!"
Bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, Lin merasakan tubuhnya ditahan oleh sebuah tangan besar yang berada di perutnya. Mencegah dirinya jatuh menyentuh lantai.
"Anda tidak apa-apa?"
Setelah memastikan Lin berdiri dengan sempurna, Marcus melepaskan tangannya dari wanita itu. Mereka telah berada dalam lantai yang mengarah ke lobi perusahaan.
Sedikit mundur untuk menjauh, Lin menjawab, "Ya. Terima kasih telah menolong saya."
Pria berwajah dingin di depannya hanya mengangguk dan kemudian berbalik pergi. Meninggalkan Lin yang masih gemetar memandang kepergiannya. Ia takut pada pria itu.
"Selamat malam, Pak Marcus."
Sapaan itu membuat Lin mengarahkan pandangannya pada seorang security yang menyapa dengan hormat pria dingin tadi.
Dia Pak Marcus?
Pria tinggi itu hanya mengangguk dan mengarahkan langkahnya menuju pintu kaca luar lobi. Telah ada mobil yang sedang menunggu kedatangannya di area depan gedung.
Lin masih termangu di tempatnya, memandang mobil yang pergi membawa pria yang tadi bersamanya di dalam lift.
Penasaran, Lin mengejar security yang mulai pergi untuk berkeliling di area dalam gedung.
"Tunggu sebentar Pak."
"Ya. Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Pria itu menyapa ramah.
"Orang yang tadi, namanya Pak Marcus?"
"Yang tadi baru pergi? Benar, dia Pak Marcus."
"Dia asisten Presdir Perusahaan?"
"Setahu saya seperti itu."
Security itu sedikit bingung dengan pertanyaan Lin yang bertubi-tubi.
Sadar tidak mau dirinya menjadi objek pertanyaan, wanita itu segera mengucapkan terima kasih pada security itu dan melangkah keluar ke area depan gedung.
Hujan rintik-rintik, membuat Lin semakin mengetatkan mantelnya dan memandang ke arah area parkir depan gedung yang gelap dan mulai kosong.
Ia mulai melangkahkan kakinya menuju mobil kecilnya yang masih terparkir di sana. Sampai di mobil, Lin segera menutup pintunya dan bersadar pada kursinya. Ia menghela nafas.
Jika pria itu memang 'Pak Marcus' yang ingin ditemuinya, sepertinya ia harus menunda hal ini. Lin benar-benar merasa tidak nyaman berada di sekitar pria itu.
Kalau seperti itu kondisinya, bagaimana mungkin ia akan merasa nyaman menceritakan peristiwa yang sifatnya lebih pribadi pada pria dingin itu?
Tidak mau berlama-lama dengan pikirannya, Lin akhirnya menyalakan mobilnya dan pergi dari area tersebut. Saat ini, sepertinya ia harus mencari cara lain untuk mencari pria brengsek itu.
Sementara itu di dalam mobilnya, Marcus tampak berfikir keras.
Ia sudah mencoba menajamkan indera penciumannya, dan yang bisa ditangkap oleh hidungnya masih hal yang sama. Dan itu pun tetap terasa samar.
Pria itu malah mencium bau ketakutan dalam diri wanita itu saat berada di dalam lift. Dan tidak mencium bau lain apapun yang sifatnya aneh.
Marcus sedikit menghempaskan dirinya ke kursi mobil. Ia merasa kesal dengan dirinya sendiri. Apakah indera penciumannya mulai berkurang?
Sepanjang perjalanan, pria perfectionist itu mulai mencari-cari kesalahannya. Ia masih ingin berada di samping atasannya. Bila hidungnya sendiri gagal untuk diandalkan, bagaimana dengan kemampuannya yang lain?
Berfikir sejenak, Marcus teringat sesuatu dan akhirnya memutuskan.
"Henri. Kita tidak jadi pulang. Langsung ke club Onyx."
Onyx adalah salah satu club eksklusif terbesar di kota itu yang menjadi tempat berkumpul favorit kaum V. Mereka yang datang kesana memang memiliki tujuan khusus, bukan hanya untuk sekedar berkumpul dan minum-minum.
Saat Marcus melangkah masuk, beberapa pasang mata yang hitam langsung memandangnya dengan lapar. Memberikan sinyal yang jelas padanya.
Marcus, yang saat itu memang memiliki tujuan lain, tidak menghiraukan ajakan tersebut dan malah langsung melangkah ke belakang ruangan. Menuju ruangan private khusus.
Mengetuk tiga kali dengan irama khusus, tidak lama pintu pun terbuka.
Pria jangkung itu berhadapan dengan seorang pria berbadan besar dan bertato. Mereka berjalan melewati ruangan tunggu yang dipenuhi oleh beberapa para wanita penghibur.
Di samping kanan dan kiri terdapat beberapa kamar khusus, yang memang digunakan untuk pesanan tamu-tamu VVVIP. Kamar itu kedap suara dan dilengkapi berbagai fasilitas istimewa.
Pria besar itu kemudian mengarahkan Marcus untuk masuk menuju ruangan lain yang terletak di sudut yang tertutup. Ruangan dari owner club tersebut.
Setelah mengetuk pintu itu pelan, pria besar tersebut membuka pintu dan langsung mempersilahkan Marcus untuk masuk.
"Marcus."
Sapa pria di dalam ruangan, yang saat itu sedang duduk di balik mejanya sambil menghisap cerutu dan mengeluarkan asap tebal.
Pria yang menyapanya memiliki wajah yang halus. Campuran antara wajah pria dan wanita, membuatnya terlihat cantik sekaligus tampan.
Pria itu memiliki rambut berwarna pirang emas dan bermata biru terang. Matanya terlihat berkilat saat ini.
"Felix."
Keduanya berjabat tangan dengan erat. Saling meremas akrab.
"Duduklah."
Felix mengajak pria itu untuk duduk di sofa yang ada di seberang mejanya. Ia bertopang kaki, sambil bersender ke belakang sofa. Posisinya santai.
Beberapa saat Felix dan Marcus hanya memandang, saling menilai. Tidak ada yang mau berbicara lebih dulu.
Tertawa sambil mendengus, akhirnya Felix pun mengalah.
"Jadi, ada apa kau kesini?"
Marcus memberikan dokumen yang berisi biodata Alina Johan di atas meja.
Menilai dokumen yang masih ada di atas meja, Felix pun akhirnya mengambil dan membacanya. Alisnya berkerut dalam.
"Alina Johan?" Tanyanya yang mengandung nada pengenalan.
Mendengar perkataan Felix, Marcus mengerutkan keningnya.
"Kau kenal?"
Pria itu menutup dokumen di tangannya dan melemparkannya ke meja. Ia menghisap cerutunya pelan.
"Ada apa dengan si Alina Johan ini? Kau orang kedua yang mencarinya di hari yang sama."
Punggung Marcus menegak mendengar informasi ini. Ada orang lain yang mencari informasi tentang gadis ini?
Meski tahu pria di depannya tidak akan menjawab, Marcus tetap bertanya. "Siapa dia?"
Pertanyaan Marcus membuat pria di depannya terkekeh.
"Kau yakin ingin tahu Marcus?"
Pria itu memandang Marcus dengan matanya yang berwarna biru terang. Menantangnya.
Berfikir, Marcus memutuskan tidak mau mengambil resiko apapun. "Tidak."
"Baguslah." Felix menganggukkan kepalanya.
Selama menjalankan profesinya, Felix selalu menetapkan aturan main yang sama dan telah berlaku sepanjang hidupnya saat ini.
Ia akan menjaga kerahasiaan kliennya, sepanjang mereka juga berkomitmen untuk itu. Hal ini pun berlaku sebaliknya.
"Jadi, apa yang kau ingin ketahui tentangnya?"
Felix menghentakkan cerutunya di asbak, membuang abunya.
"Aku ingin sejarah hidupnya. Detail."
Informasi dari pria itu membuat Felix tersenyum simpul. Matanya berkilat cerah.
"Menarik. Apakah Nathanael tahu?"
Marcus menatap tajam pria di depannya. Terlihat tidak suka.
"Tentu saja Tuan Axelle tahu. Beliau yang menginginkannya. Jadi, kapan kau bisa menyediakan informasi itu?"
Mengeluarkan asap yang tebal dari mulut dan hidungnya, Felix menghela nafas pelan.
"Beri aku waktu seminggu."
Dalam seminggu, atasannya akan kembali ke kantor. Waktu yang sangat tepat.
Mengulurkan tangannya, Marcus memandang Felix.
"Baiklah. Kita sepakat."
Menerima uluran tangannya, Felix pun membalas senyumnya. "Sepakat."
Sebelum melepaskan tangannya, Marcus mencoba memberi sedikit penekanan pada pria itu.
"Tidak ada yang boleh tahu."
Meremas tangan Marcus, Felix menggeram. "Pernahkah aku mengecewakanmu?"
Pria dingin di depannya hanya tersenyum miring. "Hanya memastikan."
Felix kembali menyender di sofa. "Sekarang, mengenai pembayarannya-"
"AB rhesus negatif. 50 tahun." Potong Marcus.
Mata Felix membulat mendengarnya. Itu darah yang cukup langka, apalagi umurnya 50 tahun. Dia akan seperti meminum anggur kelas atas yang sangat mahal harganya. Apakah sepadan?
Hal ini membuat Felix tersenyum sangat lebar, memperlihatkan giginya yang rapih.
"Kau sangat murah hati Marcus."
"Tidak juga. Sebenarnya, aku butuh tidur sebentar." Marcus menatapnya penuh arti.
Terkekeh, Felix hanya berkata, "Sudah kuduga."
Bangkit dari sofa, Felix menyembunyikan bel yang ada di mejanya. Tidak lama, muncul sosok pria besar yang tadi mengantarkan Marcus.
"Bob, antarkan tamu kita ke kamar istimewa. Bawakan barang baru untuknya."
Mengangguk, pria besar itu mempersilahkan Marcus untuk mengikutinya.
Sebelum keluar, Marcus mengulurkan kembali tangannya pada Felix.
"Sampai jumpa lagi."
Felix hanya mengangguk dan membalas uluran tangannya sambil tersenyum.
Menatap pintu yang tertutup di belakang Marcus, Felix menyenderkan badannya ke meja sambil masih tersenyum simpul.
Sepertinya Alina Johan akan menjadi objek yang sangat menarik nantinya.
Sementara itu di luar, Marcus diarahkan ke salah satu kamar dan diminta menunggu.
Tidak lama, masuk seorang gadis yang mungkin masih berumur belasan tahun. Sudah cukup dewasa, namun belum sedewasa itu bila harus disandingkan dengan Marcus.
Pria itu menatap gadis di depannya tanpa minat. Meski terlihat seksi, tapi wanita manusia sebenarnya bukan seleranya.
Gadis itu mulai membuka pakaiannya dengan gugup.
"Apa yang kau lakukan?" Marcus bertanya kasar.
"Sa-saya diminta melayani Anda, Tu-Tuan."
Gadis malang itu terlihat gugup dan sedikit gemetar. Membuat Marcus menjadi tidak sabar.
Jika bukan karena kebutuhannya untuk tidur singkat yang mendesak, ia juga tidak akan memilih wanita manusia di depannya ini.
Marcus melemparkan segepok uang ke atas meja, kemudian membuka reslitingnya.
"Layani aku. Tanpa membuka bajumu."
Terdiam melihat tumpukan uang di depan matanya. Gadis itu lalu mendekati Marcus.
"Baik Tuan."
Pada bagian kota lain, Lin yang telah sampai di apartemennya langsung membuka mantelnya dan menyempatkan diri mengarahkan pandangan ke ruangan yang ada di depannya.
Ruangan tampak kosong dan gelap. Sekosong hati Lin saat ini.
Menghela nafas, wanita itu pun menyalakan sakelar lampu yang secara otomatis menerangi seluruh ruangan apartemen. Lin sedikit mengerjapkan matanya, menyesuaikan diri dengan silaunya cahaya yang tiba-tiba.
Ia pun melangkahkan kakinya ke dapur dan membuka pintu kulkas, mengambil sebotol minuman dingin. Wanita itu kemudian menghempaskan tubuhnnya ke sofa yang ada di depannya. Sambil minum, ia tampak berfikir.
Apakah sudah saatnya ia pindah?
Ketika memikirkan kemungkinan itu, mata Lin tiba-tiba menjadi berair.
Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. Ia pun menghabiskan minumnya, membuang botolnya dan kemudian masuk ke kamarnya.
Di kamar mandi, ia melepaskan seluruh pakaiannya dan membersihkan make-up yang ada di wajahnya. Setelah itu, ia pun menatap ke cermin sambil memegang pinggiran meja wastafel.
Pantulan yang ada di cermin, berbeda jauh dengan keseharian yang wanita itu tampilkan. Wanita yang ada dalam cermin tampak masih sangat muda, jauh lebih muda dari usia Lin yang sebenarnya.
Rambutnya yang panjang bewarna coklat kemerahan, tergerai bebas menutupi punggungnya. Mata wanita itu besar, berwarna coklat terang. Ia juga berhidung mungil dengan bibir yang tebal di bagian atas.
Pandangannya terlihat polos, hampir seperti anak-anak. Badannya meski sudah dewasa, namun tidak mencerminkan badan wanita seumurnya. Kulitnya pun halus dan sangat kencang. Belum terlihat adanya tanda-tanda penuaan.
Ia terlihat seperti masih berusia awal 20 tahunan.
Semua wanita di dunia memimpikan menjadi seperti Lin. Bermimpi memiliki kulit dan badan yang masih terlihat bugar, berapa pun usianya, itu adalah impian semua orang. Tapi tidak dengan Lin.
Memandang pantulan dirinya, air mata Lin keluar dengan sendirinya. Entah sudah berapa kali dalam hidupnya.
Sesuatu yang mungkin di anggap anugerah bagi yang lain, tapi ternyata merupakan kutukan bagi wanita itu. Tubuh Lin merosot ke lantai kamar mandi.
Malam itu, Lin kembali meratapi nasibnya. Apa yang salah dengan dirinya? Kenapa ia mesti dilahirkan seperti ini?
Selama bertahun-tahun, pertanyaan demi pertanyaan yang sama selalu ia kemukakan pada dirinya sendiri.
Sayangnya, sampai saat ini masih belum ada yang bisa menjawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
semoga happy ending
2022-01-24
0
another Aquarian
Menarik.. Masih nyimak, lanjut..
2022-01-16
0