"Tuan."
Saat itu, Marcus sedang berada di lantai teratas dari gedung penthouse milik Nate.
Ia melihat atasannya sedang memandang kejauhan, ke arah langit yang sangat gelap tanpa bintang. Hal yang menerangi bumi saat itu hanyalah lampu-lampu dari berbagai macam gedung di bawah mereka.
Lantai tempat private helipad milik Nate sama sekali tidak memiliki pagar pembatas. Lokasi yang sangat berbahaya bagi orang biasa, terutama dengan situasi angin yang cukup kencang seperti malam ini.
Nate terlihat berdiri bertelanjang kaki di ujung bangunan pencakar langit itu. Dengan sedikit dorongan, ia sudah pasti akan terjun bebas ke bawahnya.
Rambut dan jubah tidur Nate berkibar-kibar tertiup angin. Tapi pria itu tampak tidak peduli.
"Kamu ingat ini malam apa, Marc?"
"Malam kematianmu, Tuan."
Menutup matanya erat, Nate terkekeh pelan. "Tapi kenapa aku belum mati-mati, Marc?"
Marcus terdiam mendengarnya. Hal ini selalu terjadi setiap tahun. Di tanggal yang sama dan jam yang sama.
Selama beberapa waktu, dalam diam, sang asisten dengan setia hanya menemani atasannya yang sedang merenungi nasibnya saat itu.
Sekembalinya mereka dalam ruangan penthouse, Nate melemparkan dirinya pada salah satu sofa di sana. Ia merasa sangat lelah hari ini.
Pria itu meneliti muka asistennya yang dingin, dan menyadari sesuatu.
Tersenyum, ia pun bangkit dan berjalan menuju pantry. Ia membutuhkan teh hijau untuk menenangkan perutnya yang mulai bergolak saat ini.
Dengan perlahan, ia membalik badannya dan menghirup tehnya dengan khidmat.
Menghela nafas, pria itu meletakkan cangkirnya di pantry. Ia pun memandang lurus pada Marcus sambil memasukkan kedua lengannya di saku celana tidurnya.
"Langsung saja, Marc. Apa yang ingin kamu katakan?"
Pria dingin itu merogoh sakunya dan mengulurkan sesuatu.
Nate tidak terkejut bila Marcus sudah memegang pena itu. Berarti asistennya sudah mengetahui semuanya.
Ia menerima pena itu dari asistennya dan meletakkan benda itu di sebelah cangkir tehnya.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Kenapa Anda melakukan itu?"
"Alasannya sama seperti ketika kamu menginginkan untuk meniduri salah satu wanita V, Marc. Tidak ada alasan yang logis."
"Tapi, bagaimana bisa? Dia manusia. Bukannya Anda-"
"Aku juga tidak tahu, Marc. Yang jelas, aroma tubuhnya membuatku langsung kehilangan kontrol. Dan itu terjadi dengan sangat cepat."
Tertegun, Marcus menelan perkataannya. Ia masih tidak mempercayai pendengarannya.
"Jadi memang benar kalau Anda..." Marcus tidak sampai hati mengatakannya.
"Benar. Aku memang melecehkannya. Dua kali."
Nate memandang asistennya dan menjawab dengan tegas.
"Terus terang, hal ini membuat saya bingung, Tuan. Selama ini, saya tidak pernah melihat Anda tertarik pada siapa pun sejak..."
Marcus terdiam. Ia tidak mau sampai membuka luka lama atasannya.
Nate tersenyum miris, melihat asistennya ternyata masih berusaha menjaga lidahnya sampai saat ini. Padahal peristiwa itu sudah berlalu sangat lama sekali.
Pria itu pun beranjak untuk duduk di sofa, dan mengarahkan Marcus untuk duduk di seberangnya.
"Tidak apa, Marc. Kamu memang benar. Sudah sangat lama sejak aku tertarik pada wanita. Aku juga sebenarnya cukup bingung dengan situasi ini."
Nate mengusap rambut hitamnya ke belakang dan mengarahkan padangannya ke luar.
"Karena itu, aku memintamu untuk menyelidikinya diam-diam. Aku tidak mau ini sampai tersebar luas, terutama untuk kaum V di luar sana."
Meski jumlah kaumnya yang ada di dunia ini sangat terbatas, namun Nate tidak pernah tahu pasti siapa lawan dan kawan. Lebih baik ia berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Mengerjapkan matanya, Marcus bertanya, "Apa rencana Anda dengan wanita itu?"
Pria di seberangnya hanya bisa menggeleng pelan.
"Sejujurnya, aku juga tidak tahu, Marc. Terlalu banyak yang aku belum tahu tentang dirinya. Aku harus sangat berhati-hati, terutama bila urusannya menyangkut manusia."
Marcus akhirnya memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada atasannya.
"Karena kejadian ini, ada kemungkinan wanita itu akan memutuskan untuk resign dalam waktu dekat."
Terkejut, Nate menoleh dan memandang asistennya. "Bagaimana kamu tahu?"
"Saya bertemu dengannya malam ini. Wanita itu menceritakan tentang kejadian yang menimpanya dan meminta bantuan saya. Tapi tampaknya ia cukup pintar untuk menyadari, bahwa saya pun tidak akan dapat melakukan apa-apa bila sudah melibatkan Anda."
Mendengar itu, Nate hanya memandang tangan yang ada di pangkuannya.
"Saya sudah menyuruhnya untuk menunggu kabar dari saya. Tapi, terus terang saya tidak yakin bahwa wanita itu akan menunggu. Apalagi mengingat sejarahnya yang memang tidak pernah menetap dalam satu kota terlalu lama."
Memandang atasannya dengan intens, Marcus bertanya, "Apa yang akan Anda lakukan, Tuan? Apakah Anda akan melepaskannya?"
Pertanyaan dari asistennya mulai membangkitkan sesuatu dalam diri Nate yang tadinya sudah lama terkubur.
Tapi pria itu tampak belum yakin dengan keputusannya. Ia masih belum mengatakan apapun.
"Dia adalah orang pertama yang berhasil menarik minat Anda, Tuan. Anda benar-benar yakin mau membiarkannya pergi?"
Pertanyaan Marcus masih terngiang-ngiang di benak Nate, lama setelah asistennya itu pergi.
Meraih cangkirnya yang telah dingin, Nate menenggak habis sisa tehnya. Setelah itu, ia kembali menyenderkan tubuhnya di sofa.
Ia mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela kaca yang luas dan panjang di ruangan itu. Menatap kegelapan malam yang semakin bertambah pekat, karena lampu-lampu di gedung yang mulai tampak dimatikan. Menandakan waktunya istirahat, tapi tidak bagi Nate.
Kegelapan malam mengingatkan pria itu pada kejadian bertahun-tahun yang lalu. Kejadian yang tidak pernah dilupakannya. Sampai sekarang.
Flashback sekitar 420 tahun yang lalu.
Pada saat itu, perang Eropa sedang berkobar dimana-mana. Banyak negara Adikuasa mengambil peranan di sana, untuk kepentingan mereka masing-masing. Dalam setiap peperangan, tidak pernah ada yang namanya salah atau benar. Yang dipentingkan hanyalah kalah atau menang.
Satu hal yang bisa dipastikan dan menjadi hasil yang absolut dalam tiap peperangan adalah jatuhnya korban, baik korban nyawa, materi maupun materiil. Dan Nathanael, adalah salah satu dari sekian juta korban pada saat itu.
Nathanael Axelle adalah salah satu jendral perang yang saat itu membela pasukan Perancis. Ia telah mengabdi pada negaranya selama lebih dari 25 tahun dalam masa hidupnya.
Meski lahir dari kalangan bangsawan, tapi ia sama sekali tidak pernah merasakan yang namanya kehidupan keluarga yang normal. Sejak kecil, pria itu telah dilatih dan dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya yang telah tewas di medan perang.
Obsesi dari keluarganya selama bertahun-tahun, membuat pria itu akhirnya dapat tumbuh menjadi seorang mesin pembunuh yang sempurna.
Selain kekuatan fisiknya yang di atas rata-rata, ia juga memiliki otak yang cerdas, membuatnya mampu untuk memikirkan dan menerapkan strategi-strategi unik yang dapat membawa pasukannya meraih kemenangan.
Di usianya yang ke 31 tahun, ia akhirnya dinikahkan dengan seorang wanita dari kalangannya sendiri yang bernama Coraline Dupont. Mereka memiliki satu orang putra yang telah tumbuh dengan baik dan dibesarkan dengan cara yang jauh berbeda dari yang pria itu pernah rasakan.
Nathanael menginginkan kehidupan yang berbeda bagi anak-anaknya kelak, dan isterinya pun dengan tanpa banyak bertanya, menuruti kemauan suaminya.
Pasangan itu, meski tidak saling mencintai, namun memiliki rasa hormat yang besar pada satu sama lain. Mereka sadar bahwa mereka menjalankan kewajibannya dan membawa nama baik keluarga dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang cukup harmonis, tanpa ada permasalahan yang berarti. Nathanael fokus dengan karirnya di medan perang, dan Coraline pun mengkonsentrasikan dirinya dalam mengelola estate mereka di pusat kota Perancis.
Sampai peristiwa itu terjadi.
Malam itu, Nathanael baru kembali dari pertemuan rahasia yang diadakan oleh atasannya. Pria itu menginginkan agar Nathanael dapat terjun langsung dalam formasi peperangan yang telah direncanakannya. Dan itu akan dilaksanakan dua hari lagi.
Mengingat bahwa hal ini telah direncanakan bertahun-tahun secara matang, membuat Nathanael pun berfikir keras, bagaimana cara memberitahu isteri dan anaknya nanti.
Pria itu sebenarnya telah berjanji pada keluarganya untuk meluangkan waktunya sebulan ini untuk beristirahat dari pekerjaannya, dan menemani mereka.
Tapi pemberitahuan mendadak ini membuat semua rencananya berantakan. Karena sedang berfikir, pria itu pun tanpa sadar ternyata telah sampai di estate keluarganya.
Ketika memasuki ruang depan, insting pria itu tiba-tiba mengatakan ada hal yang tidak beres. Ia terdiam dan menajamkan pendengarannya. Mengamati sekelilingnya.
Suasana rumah terasa senyap, tanpa terdengar suara apapun. Hal ini membuat jantung Nathanael berdetak kencang. Ia mulai merasa gugup dan cemas.
"Coraline? Nicholas?" Pria itu akhirnya memanggil nama isteri dan anaknya.
Perlahan, ia memasuki ruangan yang tampak remang-remang. Nathanael mengeluarkan sebilah pisau perang yang ia pegang di tangan kirinya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara 'gedebuk' dari arah ruang keluarga. Tergesa, pria itu pun segera menghampiri asal suara itu dan terpana dengan apa sedang yang dilihatnya.
Isterinya tampak terbujur di tengah ruangan, tidak bergerak. Gaun tidurnya yang berwarna putih tampak dihiasi dengan warna merah, mulai dari atas hingga ke pangkal pahanya.
"Coraline?"
Nathanael hanya sanggup mengeluarkan suara lirih ketika melihat keadaan isterinya.
Ia sejenak tertegun melihat pemandangan di depannya, namun masih dapat langsung cepat bereaksi secara instingtif ketika merasakan ada serangan dari arah belakangnya.
Tanpa memakan banyak waktu, Nathanael sudah dapat merubuhkan dua dari tiga orang penyerangnya. Mereka berdua tewas dengan cepat di tangannya.
Pria itu baru akan memulai serangan mematikan terakhirnya, ketika tiba-tiba ada seseorang yang menyelanya dari arah kegelapan.
"Hentikan Axelle!"
Menoleh, Nathanael hanya dapat terdiam kaku ketika melihat pria di depannya sedang mendekap anak lelakinya. Terlihat mata pisau berujung runcing yang mengkilat dalam kegelapan, siap mengiris leher Nicholas.
"Jatuhkan pisaumu, Axelle!"
Nathanael dan Nicholas saling berpandangan. Meski baru berusia 6 tahun, tapi Nicholas bukan seperti kebanyakan anak lain seusianya.
Daya tangkap dan daya khayalnya luar biasa, membuatnya dapat dengan cepat memahami perbicaraan orang dewasa yang seharusnya masih sulit di terima oleh anak seumurannya.
Hal ini membuat Nathanael cenderung memperlakukan anaknya sebagai teman sepantar, dibanding sebagai seorang anak kecil. Ia sering mengajak anaknya berdiskusi secara dewasa, terutama terkait dengan masalah pengambilan keputusan sebagai seorang laki-laki.
Dan pria itu, berencana untuk menerapkan ajarannya pada anaknya, malam ini.
"Sekali lagi aku katakan. Jatuhkan pisaumu, Axelle!"
Memberi tanda rahasia pada anaknya yang sedang menatapnya tajam, tiba-tiba Nathanael melemparkan pisau yang sedang dipegangnya, langsung menancap tepat di tengah kening si pria pengancam.
Ia pun langsung melakukan serangan mematikan dan mematahkan leher pria di belakangnya, yang masih belum sempat memberikan reaksi karena kejadian yang sangat cepat itu.
Setelah memastikan tidak ada lagi yang tersisa, Nathanael baru menoleh pada anaknya yang ternyata sedang bersama dengan seseorang yang dikenalnya.
"Dominic." Panggilnya dengan suara lega.
Pria yang dipanggil Dominic, memandang ke arahnya dan tersenyum.
"Selamat malam, Nathanael."
Anaknya tiba-tiba menoleh pada ayahnya dan hanya sempat berkata, "Papa."
Setelah itu, Nicholas pun jatuh tertelungkup ke lantai dengan darah yang mengucur deras dari lehernya. Urat nadi besarnya telah terputus dengan sempurna.
Tanpa memberikan kesempatan untuknya bereaksi, Dominic langsung menancapkan pisau yang panjang tepat di jantung Nathanael.
"Aku akan membantumu, Nathanael."
Tubuh keduanya secara perlahan merosot ke lantai bersamaan. Mereka saling memandang.
Mata Dominic tampak berkaca-kaca melihat wajah pria di hadapannya.
"Maafkan aku."
Nathanael ambruk ke lantai dengan pisau yang masih menancap di jantungnya. Posisinya miring, dan ia masih dapat melihat anaknya yang tampak tertidur, sudah tidak bernyawa.
Mata kelabu pria itu perlahan mengeluarkan setetes air mata, mengalir menuruni hidungnya yang mancung dan jatuh ke lantai yang telah berwarna merah.
"Nicholas..."
Setelah itu, ia pun perlahan menutup matanya. Bersiap untuk berkumpul kembali dengan keluarganya di bagian dunia yang lain.
Atau setidaknya, itulah harapannya tadinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
another Aquarian
Wahh, aku ikut sport jantung..
2022-01-16
0