Kembali ke ruangannya, Lin segera membereskan barang-barangnya dan bergegas menuju lift. Karena terburu-buru, tidak sengaja ia bertabrakan dengan Lucy yang sedang mencarinya.
"Lin!"
Lin mengalihkan pandangannya dari Lucy dan membereskan beberapa barangnya yang jatuh akibat tabrakan itu.
Menyadari ada yang tidak beres, Lucy menarik lengan temannya.
"Lin? Ada apa denganmu?"
Lucy memperhatikan muka Lin yang memerah dan matanya sembab, seperti habis menangis.
Dengan panik, wanita itu menelusuri pakaian Lin dan merasa lega bahwa pakaian temannya masih tetap rapih, dan terpasang pada tempatnya.
"Lin? Ada apa?" Dengan lembut Lucy bertanya.
Tidak sanggup berkata-kata, Lin pun akhirnya hanya bisa memeluk temannya. Ia menyembunyikan tangisnya di dada Lucy, berusaha meredam suaranya.
Tubuh temannya yang bergetar hebat, membuat Lucy sangat khawatir. Selama mengenal Lin, ia hanya tahu bahwa temannya ini wanita tangguh dan belum pernah menangis satu kali pun.
Saat mengalami kesulitan, wanita itu lebih memilih untuk merasa marah dibanding menangis dan meratapi nasibnya. Sebenarnya apa yang terjadi sampai temannya menangis seperti ini?
Takut ada yang melihat kejadian ini dan menjadi bahan gosip yang tidak diinginkan mereka berdua, Lucy pun akhirnya mengarahkan Lin untuk masuk ke dalam ruangan kerjanya.
Sampai di ruangan pribadinya, Lucy tetap memeluk Lin dan mengelus punggungnya perlahan, berusaha menenangkannya.
Tidak lama kemudian, wanita itu sudah terlihat mulai sedikit tenang. Lucy pun memberikan air putih padanya.
Lucy mulai merapihkan rambut Lin yang terlihat berantakan di wajahnya. Make-up nya pun tampak belepotan di mukanya yang basah dengan air matanya. Kasihan sekali temannya ini.
Ia pun segera bangkit dari sofa dan mencari-cari tissue basah di tasnya. Menoleh, ia memperhatikan temannya masih memegang gelas dengan erat, sesekali meneguknya.
Kembali ke sebelah temannya, Lucy mengambil gelas itu dari tangan Lin dan menggenggam kedua tangannya erat.
"Lin?" Tanyanya lembut.
Temannya yang sedang menunduk, perlahan menatapnya.
"Apa yang terjadi?"
Dengan lembut, Lucy mulai membersihkan sisa-sisa make-up dari wajah Lin.
Lin kembali menundukkan kepalanya. Ia menggeleng kuat. "Dia-"
Lucy yang sedang membersihkan wajah Lin dengan tissue basah berhenti, ketika menyadari temannya terdiam.
"Lin?"
Ia menengadahkan dagu Lin, memaksa wanita itu untuk melihat ke arahnya.
"Dia?"
"Dia- Pria yang waktu itu-" Lin sedikit tersedak ketika berbicara.
Kesadaran perlahan memasuki benak Lucy. Matanya mulai berkilat marah.
"Pria itu kembali melecehkanmu, Lin?" Nadanya sedikit tinggi.
Wanita di depannya mengangguk pelan, membenarkan pertanyaannya.
Geram, Lucy bangkit dari duduknya. Ia segera meraih gagang telepon di meja kerjanya dan menghubungi sebuah nomor. Tindakannya menyalakan alarm dalam benak Lin.
"Siapa yang kamu hubungi Luce?"
"Pak Hendrich. Ini tidak bisa dibiarkan, Lin!" Temannya berkata tegas.
Mendengarnya, Lin segera merebut gagang telepon itu dan meletakkannya kembali.
"Tunggu Luce. Tunggu sebentar."
Lucy menatap marah pada temannya. Matanya melotot.
"Apa maksudmu menunggu, Lin? Dia sudah melecehkanmu dua kali! Dan kali ini, sepertinya dia sudah melewati batas, kan? Kita harus melakukan sesuatu!"
Dalam hati, Lin menyesal tidak mampu mengontrol dirinya dengan baik di hadapan temannya. Ia sesaat lupa dengan karakter Lucy yang reaktif.
Selama hidupnya, sedapat mungkin ia tidak mau melibatkan orang-orang di sekitarnya untuk masalah pribadinya.
Wanita itu menatap temannya yang sedang memandang garang padanya. Lucy sebentar lagi akan bercerai dan menjadi orang tua tunggal. Ia memiliki anak yang masih kecil, masih membutuhkan banyak biaya untuk membesarkannya.
Jika karena kejadian ini, masa depan dan karir temannya menjadi hancur, maka Lin akan merasa bersalah seumur hidupnya.
Lin tidak pernah tinggal menetap dalam satu lokasi. Ia memiliki cukup banyak simpanan dan masih bisa membangun karir dari bawah di tempat lain. Tapi bagaimana dengan temannya?
Terutama mengingat yang dihadapinya adalah orang yang mungkin cukup penting di perusahaan. Ia tidak mau sampai menyeret temannya dalam masalah pribadinya.
Menghela nafas, Lin berusaha menyingkirkan ego pribadinya. Ia harus memikirkan nasib orang lain yang mungkin bisa terseret karena keputusan gegabahnya.
Wanita itu kembali duduk di sofa. Perlahan, ia menoleh dan memandang temannya.
"Duduklah Luce." Lin menepuk tempat yang ada di sebelahnya.
Terpaksa, Lucy pun duduk di sebelah Lin. Ia masih memberenggut menatap temannya.
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Lin."
Lin menyatukan kedua kepalan tangannya dan menumpukannya di bawah dagunya. Ia harus berfikir dengan menggunakan logika saat ini, dan bukan emosinya.
"Dengarkan aku, Luce."
Mencoba mengatur kemarahannya, wanita di sampingnya mencoba untuk mendengarkan penjelasan temannya.
"Pria itu, benar seperti katamu. Ada kemungkinan kalau dia orang penting."
Mendengar itu, Lucy mengernyitkan dahinya.
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku bertemu lagi dengannya. Di lantai 60. Hari ini."
Menarik nafas tajam, Lucy bertanya pelan, "Dia bagian dari direksi?"
Lin menggelengkan kepalanya pelan. Matanya menerawang.
"Aku tidak yakin, karena dia berada di luar ruangan meeting. Tapi aku yakin seratus persen, kalau dia orang penting, Luce." Lin mengingat bolpoin yang ditemukannya tadi.
"Mungkin dia hanya tamu Lin, yang kebetulan datang ke sana."
Menoleh, Lin memandang temannya tajam.
"Kamu tahu sendiri Luce. Hari ini semua petinggi berkumpul untuk rapat penting. Tidak ada yang diizinkan untuk menggunakan ruangan meeting lainnya di hari sepenting ini."
Raut muka Lucy sedikit pucat. Ia mengangguk dalam, membenarkan pendapat temannya.
"Kamu benar."
"Aku harap kamu tidak menceritakan masalah ini pada orang lain, Luce."
"Apa! Tidak bisa, Lin. Aku berkewajiban untuk-"
"Ini masalah pribadiku, Luce. Aku tidak mau ada yang ikut campur."
Suara Lin terdengar dingin, membuat Lucy mengernyitkan dahinya semakin dalam. Ia mulai tidak suka dengan nada bicara temannya.
"Apa maksudmu?"
Dalam diam, Lin menggertakan giginya. Ia tidak mau menyakiti temannya. Tapi ia harus membuat Lucy mundur untuk masalah ini, bagaimana pun caranya.
"Aku tidak mau kamu ikut campur, Luce."
Mendengar itu, Lucy bangkit dari duduknya dengan kasar. Ia memandang Lin tidak percaya.
"Kamu meminta aku untuk tidak ikut campur, Lin?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak suka."
"Kenapa?"
"Karena ini tidak ada hubungannya denganmu."
"Kenapa, Lin!?"
"Karena ini masalahku dan bukan masalahmu! Karena aku tidak suka kamu ikut campur terhadap kehidupan pribadiku!"
Lin membentak temannya yang masih bersikap keras kepala. Baru kali ini mereka bertengkar, semenjak berteman 3 tahun yang lalu.
Lucy sangat shock dengan sikap Lin. Ia tahu temannya adalah seorang yang mandiri. Wanita independen. Hampir tidak pernah ia meminta bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, ia sangat senang ketika Lin akhirnya membutuhkan pertolongannya.
Wanita itu tadinya berfikir bahwa hubungan pertemanan mereka akhirnya bisa menjadi lebih dekat. Menjadi sahabat. Lucy sama sekali tidak menyangka bahwa Lin akan semudah itu mengeluarkan dirinya dari inner circle wanita itu.
Mengerjapkan matanya yang mulai berair, Lucy mencoba peruntungannya lagi.
"Aku pikir kita berteman Lin."
Wanita di depannya menoleh dan memandangnya dengan dingin.
"Kita berteman Luce. Tapi teman juga ada batasannya."
Lin berdiri dengan tegap. Ia mulai mengambil barang-barangnya.
"Aku berterima kasih kamu mau membantuku. Tapi ini urusanku dan bukan urusanmu. Aku harap kamu ingat itu, Luce."
Setelah itu, Lin pun keluar dari ruangan. Meninggalkan temannya yang masih berdiri mematung di dalamnya.
Di luar ruangan Lucy, Lin menutup matanya erat. Maafkan aku, Luce. Maafkan aku.
Ia kemudian langsung ke arah toilet wanita. Melihat penampilannya yang berantakan, Lin pun mencuci mukanya dengan cepat di wastafel.
Dengan kasar, ia mengambil tisu dan mengeringkan wajahnya. Lin memperhatikan mukanya yang terlihat polos dan masih sembab.
Perlahan, wanita itu pun mengeluarkan bolpoin yang masih tersimpan di kantong roknya. Memperhatikan grafir yang tertera di sana, benaknya mulai mengumpulkan potongan-potongan informasi yang masih berserakan.
Memegang bolpoin itu erat-erat di tangannya, Lin pun memutuskan. Sepertinya, ia memang harus bertemu dengan Pak Marcus. Secepatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments