Beberapa hari kemudian, Nate telah berdiri di luar salah satu ruangan private meeting yang ada di lantainya.
Dari balik kaca yang buram, ia dapat melihat sosok seorang wanita yang sedang duduk membelakanginya.
Wanita itu menguncir rambut ikalnya yang berwarna coklat kemerahan, yang untaiannya menyentuh tengah punggungnya. Rambut yang cukup panjang.
Nate mengetuk pintu dengan pelan, dan membukanya perlahan.
Medengar suara ketukan di belakangnya, wanita itu berbalik dan langsung berdiri tegak.
Sedikit terpana, pria itu memperhatikan sosok di depannya. Benar seperti kata Marcus, ia dapat mencium aroma V yang cukup kuat dari wanita di depannya ini. Siapa dia?
Berusaha mengendalikan reaksi tubuhnya yang entah kenapa mulai terasa liar. Pria itu menyapa ramah.
"Selamat siang. Anda dengan Alina Johan?"
Lin mengangguk kaku. "Benar. Saya sendiri."
"Kenalkan, nama saya Nathanael. Anda dapat memanggil saya Nate." Nate mengulurkan tangannya.
Tepat ketika Lin menggenggam tangan Nate dengan erat, aliran listrik yang kuat tampak menyerang pria itu. Membuat tubuhnya sedikit bergetar.
"Anda tidak apa-apa?"
Lin bertanya ketika merasakan tubuh pria di depannya bergetar. Ia sedikit khawatir.
Apa ini?
Pikiran Nate sedikit kacau. Baru sekarang ia merasakan peristiwa seperti ini, selama rentang masa hidupnya yang sangat panjang.
Dengan perlahan, pria itu melepaskan genggaman tangannya. Ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan naluri liar dalam tubuhnya yang mulai meronta-ronta. Ada apa dengan dirinya?
"Tidak apa. Silahkan duduk kembali."
Tidak sengaja, Lin mengibaskan rambut panjangnya, menyentuh pipi Nate. Dan kibasan angin yang pelan itu membuat Nate dapat mencium aroma tubuh Lin yang sebenarnya.
Saat itulah, Nate merasa pertahanan dirinya roboh. Ia mulai merasakan giginya memanjang dan matanya menghitam. Bukan untuk 'memakan' wanita ini, tapi untuk menidurinya. Ia merasakan hasrat yang tidak terkontrol pada wanita yang baru ditemuinya ini.
Ya Tuhan.
Lin yang sedang duduk membelakangi, tidak menyadari tatapan lapar pria di belakangnya.
Tanpa diinginkannya, tangan Nate bergerak mengelus leher Lin dan mulai masuk ke dalam kerah kemejanya, menangkup area dadanya.
Lin membeku dalam duduknya. Kekagetannya terhadap peristiwa yang tidak terduga ini, membuat tubuhnya lumpuh sementara.
Tersadar ketika pria kurang ajar itu mulai mengelus dan meremas bagian tubuhnya, membuat Lin segera memegang pergelangan tangan Nate dan bersiap membantingnya ala judo.
"Kurang ajar!"
Sekuat tenaga, wanita itu berusaha membanting badan besar Nate ke lantai.
Nate yang tersadar dari kegilaannya, langsung memposisikan tubuhnya yang membuat ia tidak menghantam lantai tapi langsung dapat bergerak di udara dan mendarat dengan aman.
Setelah itu, Nate langsung mundur dan menabrak dinding kaca di belakangnya. Ia perlu menghindar dari wanita ini. Dia berbahaya.
"Saya akan melaporkan Anda!"
LIn berteriak marah. Kenapa para pria suka sekali melecehkannya hanya karena dia seorang wanita. Kemarin Lionel, dan sekarang pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Apa yang salah dengan dirinya?
Nate yang di depannya sama sekali belum bisa berkata-kata. Ia masih membutuhkan waktu untuk mengembalikan kontrol dirinya yang masih porak poranda karena wanita ini.
Melihat pria di depannya hanya diam. Lin justru malah mendekatinya, mengancam.
"Anda tadi bilang perwakilan dari bagian apa? Saya akan menuntut Anda!"
"Jangan mendekat..."
Mendengar suara yang lemah keluar dari pria di depannya, otomatis membuat Lin berhenti.
Pria di depannya tampak bekeringat, dan Lin dapat melihat warna matanya yang tadinya kelabu muda menjadi menghitam, seperti tertutup pupilnya.
Lelaki di depannya tampak ketakutan melihatnya. Tubuhnya menempel erat dengan dinding di belakangnya. HIdungnya tampak kembang kempis, dan dadanya naik turun, berusaha mengatur nafasnya.
Ada apa dengan pria ini?
Pria itu bergeser, semakin menjauhi Lin dengan kedua lengan menempel ke dinding. Saat ini, Lin merasa bahwa orang yang telah menjadi korban adalah pria itu dan bukan dirinya.
"Lebih baik kamu keluar sekarang."
Akhirnya pria itu berkata pelan. Mencoba mengarahkan Lin yang posisinya memang lebih dekat dengan pintu keluar.
"Apa! Saya belum selesai dengan Anda! Anda dari-"
"Apakah kamu mau saya serang lagi?"
Pria itu memandang Lin dengan tajam di matanya. Menantangnya.
Padangan Lin tampak tidak percaya mendengar perkataan pria di depannya ini. Benar-benar orang brengsek!
Sambil menggertakan gigi, wanita itu melangkahkan kaki menuju pintu.
"Saya tidak akan melupakan ini!"
Setelah itu, Lin langsung keluar dan membanting pintu di belakangnya dengan keras.
Memastikan bahwa Lin sudah masuk ke dalam lift, tubuh Nate akhirnya merosot ke lantai.
Ia berusaha mengembalikan kontrol dirinya yang tadi terbang entah kemana. Wanita itu dengan mudah membuatnya menjadi gila hanya dalam hitungan detik.
Selama hidupnya, peristiwa ini sama sekali belum pernah terjadi. Semenjak menjadi dirinya yang sekarang, ia tidak pernah merasakan ketertarikan pada siapa pun. Semenjak isterinya tewas, tidak sekali pun ia melirik dan menyentuh wanita lain. Sampai saat ini.
Sementara itu di dalam lift, Lin mencatat wajah pria yang telah melecehkannya tadi.
Tinggi pria itu jauh di atas rata-rata, badannya besar tapi proposional membuatnya terlihat langsing dengan jasnya. Pakaiannya pun tampak mahal dan berkelas.
Pria berambut hitam itu memiliki struktur wajah yang kuat, seperti bangsawan. Warna matanya kelabu muda, membuat pupil dan garis bola matanya yang hitam terceta jelas.
Secara umum, gambarannya tidak menandakan sebagai pelaku kejahatan seksual. Karena pria itu seharusnya dapat dengan mudah mendapatkan wanita mana pun.
Lin mencoba mengingat-ingat, apakah ia pernah bertemu dengan pria bertampang seperti itu sebelumnya. Pria dengan penampilan seperti itu seharusnya mudah diingat, dan banyak orang yang akan membicarakannya.
Ia akan menanyakannya pada temannya di bagian HC nanti. Seharusnya dengan sedikit rayuan donut dan kopi, temannya pasti mau membantunya mencari karyawan dengan nama Nathanael. Tunggu saja kamu nanti, brengsek!
Kembali ke ruangan kantornya, Nate berniat mengambil masa hibernasinya sekarang. Sepertinya karena lapar, ia tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik.
Ia segera menghubungi Marcus melalui intercom di mejanya.
"Marcus, tolong ke ruanganku sekarang."
Nate mulai membereskan laptop di mejanya. Lebih baik ia segera pulang dan beristirahat. Sudah beberapa bulan ini ia menahan rasa laparnya, yang membuatnya melakukan kegilaan seperti tadi.
Terdengar ketukan pelan di pintu dan Marcus, asistennya pun masuk.
"Marc, kamu sudah memesankan 'makanan' untukku?"
"Sudah Tuan. Semuanya sudah ada di rumah, seperti biasanya."
Ragu-ragu, Marcus berkata, "Tuan, apa tidak sebaiknya Anda menyimpan lebih banyak-"
"Aku tidak mau menyimpan 'makanan' lebih banyak di rumah Marc. Kamu tahu sendiri, kalau bisa, aku bahkan tidak akan pernah mau memakannya."
Menghela nafas, asistennya mengangguk. "Saya mengerti."
Nate berdiri dari duduknya dan bersiap untuk keluar ruangan ketika tiba-tiba ia berbalik.
"Ada yang mau aku tanyakan Marc."
"Apa itu Tuan?"
"Mengenai gadis yang tadi. Alina Johan."
Marcus menunggu pertanyaan dari atasannya. Sejujurnya, ia juga penasaran dengan hasil pertemuan mereka berdua.
"Kamu bilang pernah 1 lift dengannya?"
"Benar Tuan."
"Saat itu, apa yang kamu rasakan?"
Alis Marcus berkerut dalam. Ia tidak mengerti pertanyaan atasannya.
"Maaf. Tapi saya kurang mengerti maksud Anda."
"Maksudku, apakah kamu merasakan sesuatu? Seperti ketika kamu bertemu wanita V?"
Asistennya menggeleng pelan.
"Tidak Tuan. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya hanya dapat mencium aroma V samar dari dirinya dan sisanya, adalah bau tubuhnya sendiri."
Berusaha menekan keterkejutannya, Nate kembali bertanya untuk mengkonfirmasi.
"Jadi maksudmu, kamu tidak merasakan ingin menidurinya atau melakukan hal-hal semacam itu padanya?"
"Sama sekali tidak."
Terdiam, Nate berusaha menelaah situasi ini. Berarti pengaruh wanita itu hanya berlaku padanya saja. Ia semakin penasaran dengan sosok Alina Johan.
"Marc, tolong selidiki lebih dalam tentang wanita itu."
Nate menepuk bahu asistennya pelan.
"Lakukan tanpa diketahui orang lain. Aku akan cuti 1 minggu ini seperti biasa."
Marcus mengangguk dengan permintaan dari atasannya. "Baik Tuan."
Setelah itu, mereka berdua naik ke lantai paling atas menuju landasan helipad di gedung itu. Marcus memandang kepergian atasannya dan berfikir. Sebenarnya apa yang terjadi tadi?
Sementara itu di salah satu ruangan kepala bagian HC, Lin sedang merayu temannya bernama Lucy untuk mau membantunya.
"Ayolah Luce, tolong aku. Ini sudah aku bawakan donut dan kopi kesukaanmu."
Lin memperlihatkan bungkusan upeti pada temannya, sambil menyengir lebar.
"Lin, aku bukannya tidak mau membantumu. Tapi aku sedang sibuk memeriksa rekapan untuk penilaian karyawan akhir tahun ini. Kamu lihat sendiri kan?"
Lin memandang meja kerja temannya yang penuh dengan berkas. Ia merasa bersalah.
Ia pun akhirnya meletakkan bungkusan itu di sudut meja lain, agar tidak mengganggu pekerjaan temannya.
"Ya, kamu benar. Maafkan aku."
Dengan lesu, ia pun berbalik, berniat keluar dari ruangan temannya.
"Tunggu Lin."
Berbalik, Lin memandang temannya dengan pandangan bertanya.
Menghela nafas, Lucy menyenderkan kepalanya di kursi kerjanya.
"Ambil kursi yang disana. Duduklah di sampingku."
Lin mengerjapkan matanya, hatinya gembira. "Kamu yakin?"
Lucy mendelik pada temannya. "Kamu bilang orangnya ganteng kan?"
Dahi Lin berkerut dalam. "Aku tidak pernah mengatakan dia ganteng Luce-"
"Tapi tadi kamu mengatakan kalau wajahnya terlihat aristokrat dan badannya tinggi."
"Memang benar."
"Berarti ganteng kan?"
Tidak ingin mendebat temannya, Lin hanya bisa menyetujuinya. Sejujurnya, Lin mengakui kalau pria itu memang cukup ganteng untuk menjadi bintang film.
"Ya, gantenglah."
"Oke. Ayo kita cari tahu siapa dia."
Bersemangat keduanya mencari seluruh karyawan pria bernama Nathanael di seluruh perusahaan. Mereka bahkan mencari di keseluruhan cabang yang ada di dunia dan hasilnya nihil. Beberapa pria yang bernama sama, tidak memiliki ciri fisik seperti yang dicari Lin.
"Kamu yakin namanya Nathanael, Lin?"
"Aku yakin Luce. Dia bahkan meminta aku memanggilnya dengan sebutan Nate."
"Apa nama belakangnya?"
Saat itu, Lin baru menyadari kalau pria itu tidak pernah menyebutkan nama belakangnya.
"Dia tidak menyebutkannya."
Menghembuskan nafas keras, Lucy menghempaskan badannya ke punggung kursi.
"Akan sulit mencarinya Lin. Bahkan dari database yang ada, nama yang keluar pun sedikit."
Lin mengepalkan tangannya. Ia mulai merasa sangat marah pada pria asing itu.
"O ya, seingatku katanya dia perwakilan dari IR."
"IR? Industrial Relations?" Alis Lucy berkerut.
"Ya."
Lucy kembali melakukan pencariannya dan hasilnya pun sama.
"Kamu lihat sendiri Lin, tidak ada yang namanya Nathanael bagian IR, di mana pun."
Lucy memandang Lin dengan intens. "Kalian bertemu dimana?"
"Di lantai 60. Di salah satu ruangan private meeting di sana."
"Lantai 60?" Alis Lucy terangkat.
"Kenapa?"
"Kamu memang tidak tahu Lin? Lantai itu khusus untuk direksi. Tidak ada yang pernah diijinkan untuk meeting di sana kecuali direksi."
Lin mengerutkan keningnya. "Ya, aku memang pernah dengar. Tapi tadinya kupikir-"
"Kalau dia sampai bisa masuk ke sana, berarti dia orang penting Lin."
Temannya memandang Lin intens.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
Wanita itu menggigiti bibirnya, sebelum menjawab dengan rasa marah tertahan.
"Dia melecehkanku."
"Lagi?" Lucy cukup terkejut. Ada apa dengan temannya dan pelecehan?
"Ini sudah kedua kalinya dalam bulan yang sama, Lin. Dan untuk yang pertama, buktinya sebenarnya sudah ada, hanya saksimu tidak kuat."
Lucy memandang temannya dengan kasihan.
"Bagaimana dengan yang ini?"
Wanita di depannya menggeleng pelan.
"Terjadi tiba-tiba. Aku juga tidak menyangka. Kami baru saling berkenalan dan mendadak, pria kurang ajar itu memegang dadaku."
"Tunggu. Maksudmu dia tidak terlihat merayumu atau semacamnya, seperti Lionel dulu?"
"Tidak. Dia sangat sopan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau dia akan menyerangku."
"Lalu?"
"Aku membantingnya."
Mau tidak mau, Lucy tertawa meski ia tahu cerita temannya tidak lucu sama sekali.
"Maaf. Tapi berarti, kamu sudah membuat dia babak belur kan?"
Lin mengepalkan tangannya dan menggeleng.
"Tidak. Entah bagaimana dia bisa menghindar, dan membuatnya tidak terbanting di lantai."
"Wow."
"Kenapa?"
"Baru kali ini ada orang yang berhasil menghindarimu Lin. Aku harus kagum pada pria itu."
Sejenak Lin tampak berfikir. Benar juga. Selama ia bekerja di perusahaan, sudah beberapa kali ia diminta menjadi pelatih judo, terutama bagi para wanita untuk melindungi diri. Dan saat sparring, tidak pernah sekalipun ada seseorang, pria atau wanita, yang bisa mengalahkan atau menghindari serangannya.
"Sepertinya akan sia-sia mencarinya Lin."
"Kenapa kamu bilang begitu Luce?"
"Yah. Pertama, kamu tidak tahu nama lengkapnya. Kedua, kamu bahkan tidak tahu dia dari bagian apa."
Menyadari hal itu, membuat badan Lin melemas.
"Tapi yang membuatku khawatir adalah, adanya kemungkinan dia orang penting Lin. Jadi mungkin akan sulit bagimu mempermasalahkan hal ini nanti."
Mata Lin mulai berkaca-kaca. Ia benar-benar sangat marah pada pria itu sekarang. Setidaknya dengan Lionel, ia sudah mendapat kepuasan dengan menghajarnya sampai babak belur.
Kasihan melihat temannya, Lucy coba memberikan alternatif lain.
"Bagaimana kalau kamu coba menghadap Pak Marcus?"
"Pak Marcus? Maksudnya asisten Presdir perusahaan?"
"Ya. Meski orangnya terlihat dingin, tapi ia cukup memperhatikan hal-hal seperti ini."
Lucy mulai mengembalikan tampilan layarannya ke semula, sebelum Lin datang.
"Dulu pernah ada keluarga karyawan yang memerlukan biaya banyak untuk operasi jantung, dan ketika ia menghadap Pak Marcus, beliau langsung menolongnya tanpa banyak bertanya."
Ia menoleh pada Lin. "Siapa tahu ia bisa membantumu Lin."
Medengar masukan itu, Lin pun memutuskan akan coba menemui Pak Marcus.
"Baiklah. Sepertinya aku akan coba untuk berbicara padanya."
"Sebaiknya kamu membuat janji temu dulu melalui sekretarisnya."
Gembira, Lin memeluk temannya. "Terima kasih Luce. Kamu mau membantuku."
Tersenyum, Lucy pun balas memeluknya.
"Sama-sama. Sekarang keluarlah. Kamu sudah banyak membuang waktuku hari ini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments