Besok malamnya di ruang kerja Nate, tampak Lin yang berdiri di tengah ruangan, sedang menawarkan cara untuk membantu Nate yang amat sangat tidak disukai pria itu.
Mereka sebelumnya berjanji untuk bertemu setelah pulang kantor. Dan sekitar pukul 19.30, Lin telah datang ke ruangan Nate dengan kartu pass khusus lantai 60 yang telah diberikan oleh Marcus pagi tadi.
Memasuki ruangan itu setelah mengetuknya, Lin sedikit bergidik ketika mengingat peristiwa sebelumnya. Tapi meraba benda yang ada di kantong roknya, wanita itu pun kembali memperoleh keberaniannya untuk menghadapi pria itu.
"Selamat malam, Nate."
"Lin. Duduklah."
Wajah pria itu tampak berseri menyambutnya, membuat Lin sedikit merasa bersalah.
"Aku langsung saja, Nate. Aku telah membawa sesuatu untuk membantu kita nanti."
Mendengar perkataan Lin, Nate berhenti di ujung mejanya. Menunggu penjelasan wanita itu.
Lin mengeluarkan sebuah stungun dari balik roknya.
"Itu..."
Pria tersebut tahu pasti mengenai benda yang sedang dipegang Lin.
"Untuk apa itu, Lin?" Ragu-ragu ia bertanya.
"Seperti kataku kemarin. Aku akan membantumu untuk mengontrol diri."
"Dengan menggunakan benda itu?"
"Ya. Dengan benda ini."
Nate terdiam. "Bukannya itu ilegal, Lin?"
Wanita itu tersenyum manis. Menyembunyikan maksud sebenarnya.
"Kamu tenang saja. Aku telah mengatur ke voltase yang paling kecil. Tidak akan terlalu menyakitkan." Tahu rasa kamu nanti!
Pria itu terdiam kembali. Ia memandang wanita di depannya dan tahu pasti, bahwa wanita ini sengaja ingin membalas dendam padanya.
Baiklah. Ia akan coba mengikuti permainannya. "Bagaimana cara kerjanya?"
Lin sedikit maju mendekati Nate, membuat pria itu otomatis mundur ke belakang.
"Aku akan mendekatimu. Dan bila kamu terlihat mulai lepas kontrol, maka aku akan menyetrummu dengan benda ini."
Ouch. Kedengarannya menyakitkan.
"Kamu yakin Lin, akan melakukan ini?"
"Ya. Aku akan semakin menaikkan voltasenya bila ternyata dayanya kurang kuat."
Terus terang, Nate tidak takut sama sekali dengan benda kecil itu. Ia justru takut, bila benda itu tidak akan bisa menahan dirinya nanti.
"Tapi-"
"Kita akan coba dari hal-hal yang kecil dulu. Sampai aku merasa aman, baru kita mencoba sesuatu yang lebih besar. Bagaimana?" Tawar wanita itu buru-buru.
Akhirnya dengan penuh keraguan, pria itu menyetujuinya. "Baiklah."
"Bagus. Hmmm..." Lin mengalihkan pandangannya pada pakaian yang dikenakan Nate.
Saat itu, lelaki itu telah melepaskan jasnya dan hanya mengenakan rompi di luar kemejanya. Ia selalu mengenakan model pakaian tiga potong bila datang ke kantor.
"Apakah kamu bisa melepaskan rompimu dan menggulung lengan kemejamu?"
Alis Nate terangkat mendengar permintaan itu. "Untuk apa?"
Wanita itu mengangkat stungun di tangannya.
"Benda ini cukup kecil. Takutnya tidak bisa menembus kain rompimu yang sepertinya cukup tebal. Selain itu, akan lebih aman menyetrummu di tangan di banding lehermu. Aku tidak mau melukaimu nantinya."
Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian melepas rompinya secara perlahan dan mulai menggulung lengan bajunya.
Mata Lin mengerjap cepat, ketika memperhatikan gerakan otot dan urat-urat pria itu yang tampak menonjol di kedua lengannya.
Ia tidak menyangka bahwa lelaki berpakaian necis di depannya akan memiliki tubuh yang sangat berotot seperti itu, padahal ia terlihat langsing di balik jasnya.
Wanita itu menelan ludahnya dengan susah payah. Rasa panik mulai menjalar dari tulang belakangnya saat menyadari kalau pria ini mungkin akan jauh lebih kuat dari perkiraannya.
"Apakah cukup?" Nate mengangkat kedua lengannya.
"Ya. Cukup." Suara Lin terdengar tercekik saat menjawabnya.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
"Kamu diam saja di sana. Aku yang akan menghampirimu."
"Baiklah."
Dengan cukup santai, Nate menyenderkan pantatnya di meja belakangnya. Ia juga meletakkan kedua lengannya sebagai penyangga.
Pria itu seperti akan berpose untuk pemotretan saja. Sialan! Tunggu saja kau!
Secara perlahan, Lin pun mulai mendekati pria di depannya. Wanita itu belum memperhatikan perubahan apapun dari mata pria itu.
"Apakah kamu merasakan sesuatu?"
"Belum."
Ketika sudah mencapai jarak sekitar 2 meter. Lin memperhatikan pupil pria itu mulai sedikit lebih membesar dibanding sebelumnya.
"Apakah kamu sudah merasakan sesuatu?" Ia bertanya lagi.
"Hem... Sedikit." Nate mulai dapat mencium aroma Lin yang disukainya.
Wanita itu kembali melangkah perlahan, sedikit mendekatinya lagi. Ia memperhatikan bahwa pupil pria itu bergerak-gerak aneh, mengecil dan membesar secara konstan dengan cepat.
Saat jarak mereka tinggal setengah meter, mata pria itu telah menghitam seluruhnya. Wanita itu menyimpulkan, berarti jarak amannya adalah 2-3 meter dari pria itu.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Hemmh..."
Pria itu tidak menjawab Lin. Tapi nafasnya mulai terdengar sedikit memburu.
Melihat ekspresi pria itu yang menatapnya intens, otomatis Lin mengetatkan pegangannya pada stungun di tangannya. Ia sedikit gemetar.
"Nate?"
"Hemmh... Ya..." Pria itu akhirnya menjawab Lin.
Memutuskan tidak mau mengambil resiko, secara perlahan Lin pun melangkah mundur. Tidak disangka, hak sepatunya ternyata menyangkut di kain karpet dan membuatnya oleng.
"Oh!"
Wanita itu menutup matanya dan berusaha memposisikan badannya menyamping, agar benturan nanti tidak mengenai kepalanya. Ia menunggu gravitasi menjalankan tugasnya.
Benturan yang tidak datang-datang, membuat wanita itu akhirnya membuka matanya.
Ia langsung bersitatap dengan sepasang mata berwarna hitam yang sedang memandanginya dengan penuh hasrat. Oh Tuhan.
Secara perlahan, pria itu meletakkan wanita di bawahnya ke karpet. Tapi bukannya menjauh, pria itu malah menempelkan badannya ke wanita itu dan mulai membauinya.
Lelaki itu menyurukkan kepalanya di leher Lin dan mulai menciuminya, membuat badan Lin meremang di bawahnya.
Tangannya yang memegang stungun ditahan oleh pria itu, membuatnya tidak bisa bergerak.
Sentuhan pria itu, anehnya memang tidak pernah kasar. Meski sedikit memaksa, tapi Lin merasakan bahwa dari awal pria ini selalu berhati-hati dalam menyentuhnya.
Tangan bebas pria itu telah membuka kancing kemeja Lin, dan menyibaknya. Ia pun menggosok-gosokkan wajahnya ke dada Lin, menyebabkan wanita itu merasa geli dengan bakal jenggotnya.
Saat merasakan lelaki itu mulai membuka salah satu cup bra-nya, Lin pun memejamkan matanya erat. Mulut lelaki itu terasa panas di ujung dadanya.
"Nate..." Lirih, Lin berkata.
Suara lirih Lin tampaknya membangkitkan kesadaran Nate. Sadar dengan hal yang telah dilakukannya, pria itu segera menutup kemeja Lin dan berdiri menjauh dari wanita itu.
Menyadari bahwa lelaki itu sudah tidak berada di atasnya, Lin pun memegang kerah kemejanya dan langsung bangkit sambil membalikkan badannya.
Dengan gemetar, wanita itu mengancingkan bajunya yang berantakan. Ia menyadari bahwa hampir saja kejadian yang ditakutkannya terjadi, bila pria itu tidak segera sadar.
"Sudah aku katakan Lin. Ini bukan ide baik." Terdengar suara Nate dari ujung ruangan.
Lin berbalik menatapnya. Pria itu berdiri jauh di balik mejanya. Ia memandang ke luar jendela.
Nate sangat ingin bisa dekat dengan Lin, tapi bila kedekatan mereka dapat membahayakan wanita itu, sepertinya ia tidak mempunyai pilihan lain. Ini sudah ketiga kalinya ia menyakiti wanita di depannya.
"Mungkin sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi."
"Aku tidak setuju."
Nate menoleh kaget mendengar perkataan Lin. Apakah wanita belum jera juga?
"Lin! Aku sudah berbuat tidak senonoh padamu, dan ini sudah ketiga kalinya!"
Pria itu tampak marah dengan dirinya sendiri, yang bersikap seperti binatang ketika berada di dekat wanita itu.
Wanita di depannya malah meraih stungun yang tergeletak di karpet. Ia memutuskan bahwa benda ini memang tidak ada gunanya, dan memasukkannya kembali ke kantong roknya.
"Aku tidak suka melakukan sesuatu setengah-setengah, karena aku merasa kalau kamu sudah ada kemajuan."
Pria itu mengerjapkan matanya. Kemajuan? Kemajuan apa?
"Terus terang, aku tidak mengerti maksudmu, Lin."
Dengan santai, Lin duduk di kursi di seberang mejanya.
"Coba kamu duduk di sana." Wanita itu malah memberikan perintah padanya.
Ragu-ragu, Nate pun duduk di kursi kerjanya. Ia menatap wanita di depannya.
"Apa yang kamu rasakan?"
"Apa yang aku rasakan? Apa yang-" Pria itu terdiam.
Nate baru menyadari, bahwa ia berada dalam jarak yang cukup normal dengan Lin.
"Bagaimana?" Wanita itu bertanya lagi.
"Hmm... Normal?"
Lin menyenderkan tubuh di kursinya dan melipat kedua lengannya.
"Kalau kamu masih ingat, pertama kita bertemu, jarak kita memang cukup dekat karena kita bersalaman saat itu. Aku juga ingat, kamu berdiri di belakangku ketika aku duduk. Dan mungkin saja saat itu aku tidak sengaja menyentuhmu."
Pria itu teringat sesuatu. "Rambutmu menyentuh pipiku."
Pipi Lin sedikit merona, tapi ia tetap berkata datar, "Untuk yang kedua. Aku memang sempat mendorongmu saat itu dan posisi kita saling bersentuhan. Wajar jika kamu kambuh."
"Tapi tadi-"
"Tadi, kalau kamu perhatikan, tidak secepat dua peristiwa sebelumnya. Kamu bahkan masih bisa menjawab pertanyaanku, padahal saat itu jelas terlihat kalau kamu sudah mulai kehilangan kendali diri."
Nate menatap tangannya yang sedang terkepal di atas meja. Perlahan ia membukanya.
"Jadi maksudmu..."
"Aku akan membuatmu terbiasa dengan bauku. Agar kedepannya, kamu lebih bisa mengontrol diri kalau harus menciumnya dari jarak dekat."
Pria itu memandang Lin. Tatapannya terlihat penuh harap.
"Tapi itu berarti..."
"Kita akan melakukan ini tiap hari. Sampai kamu terbiasa, Nate."
Perkataan Lin membuat perasaan Nate terbang ke langit ke tujuh. Pria itu akhirnya akan benar-benar bisa dekat dengan wanita di depannya ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
seneng ya nate..
2022-01-25
0
another Aquarian
Serasa aku yang jadi Lin.. Deg..deg..deg..
2022-01-16
0