Pria di samping Felix terlihat membatu. Informasi baru ini membuat Nate cukup shock. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Lin dan dirinya ternyata memiliki hubungan darah.
Dalam darah Nate, mengalir darah Johan saat pria itu menciptakannya. Dan dalam darah Lin, juga mengalir darah Johan sebagai ayah kandungnya.
Hal ini jelas-jelas menjawab pertanyaannya selama ini, kenapa ia bisa tertarik sekuat itu pada Lin. Itu karena dalam diri mereka mengalir darah yang sama. Dan dari orang yang sama.
Tanpa diinginkannya, mata Nate terasa berair. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Pria itu tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini, mengingat ia sangat membenci pria tua itu.
Melihat bahwa pria di sampingnya terlihat cukup emosional dengan informasi ini, Felix hanya bisa tersenyum. Baru kali ini, ia melihat ekspresi Nate yang seperti itu.
"Apakah kau merasakan ketertarikan padanya?"
Mendengar pertanyaan itu, Nate mengerjapkan matanya. Ia melihat Felix dan mengangguk.
"Ya. Dan sangat kuat."
Menoleh pada pria dingin di depannya, Felix menanyakan pertanyaan yang sama.
"Bagaimana denganmu, Marcus? Apakah kau memiliki ketertarikan yang sama?"
Pria yang dimaksud menggeleng tegas. "Sama sekali tidak."
Pengetahuan yang sangat umum kalau sesama kaum V akan memiliki ketertarikan yang lebih kuat, bila mereka berasal dari pencipta yang sama.
Para kaum V yang cukup beruntung mendapatkan pasangan hidupnya, biasanya juga akan memiliki pasangan dari The Master yang sama.
Tapi kasus Alina Johan tampaknya berbeda. Nate dan Marcus berasal dari pencipta yang sama, tapi Alina Johan hanya memiliki pengaruh pada salah satu dari kedua pria itu.
"Sepertinya hal ini memang dipengaruhi oleh preferensimu, Nate. Apakah selama ini kau pernah tertarik pada wanita V?"
"Tidak pernah."
"Kau Marcus?"
"Tidak perlu kujelaskan. Kau sudah tahu sendiri."
Jawaban Marcus membuat Felix terbahak-bahak. Ia sampai menyender di kepala sofanya.
Setelah berhasil menguasai dirinya, Felix kembali memandang Marcus dengan geli.
"Kau benar."
Ia pun mengalihkan pandangannya pada Nate.
"Mungkin itu alasannya Nate, kenapa kau bisa sampai tertarik padanya. Karena ini adalah pertama kalinya kau bertemu dengan seorang wanita yang berasal dari pencipta yang sama."
Menenggak habis anggurnya, Felix pun meletakkan gelasnya kembali di meja.
"Kalian memang cukup sial memiliki seorang The Master yang hanya pernah menciptakan dua kaum V selama hidupnya."
Mengalihkan kembali pandangan pada Nate, Felix bertanya penasaran.
"Apakah wanita itu juga memiliki ketertarikan yang sama?"
Berfikir, Nate kemudian menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku rasa tidak. Ia tampak biasa saja saat bertemu denganku."
Pria itu tidak mau menceritakan secara lebih detail kejadian yang merupakan aibnya.
"Menarik."
Jawaban dari Felix membuat Nate menoleh. "Kenapa?"
"Terus terang, kasus kalian ini sangat langka. Seumur hidup, aku pun belum pernah mendengar ada The Masters yang memutuskan untuk memiliki anak."
"Kenapa?" Kali ini Marcus yang bertanya.
"Kalian tentu sudah tahu, kalau The Masters menciptakan seorang V dengan membagi darah mereka yang mengandung esensi kehidupan."
Kedua pria di depannya mengangguk secara bersamaan.
"Saat mereka membuahi seorang manusia, maka mereka harus memberikan secara langsung esensi hidup mereka ke dalam benihnya, untuk memastikan agar benih itu jadi."
Felix memandang kedua pria itu bergantian, memastikan bahwa mereka paham dengan hal penting yang mau disampaikannya.
"Proses ini dipercaya akan dapat mengurangi total masa hidup mereka secara signifikan. Dan sepertinya hal ini memang benar, jika melihat kasus Alina Johan."
"Maksudmu..."
"Saat ini, pria tua itu hanya memiliki waktu kurang dari 6 bulan untuk hidup. Padahal mungkin, ia seharusnya masih bisa hidup beberapa ribu tahun lagi."
Pernyataan Felix membuat kedua tamunya terkesiap. Berita ini sangat mengejutkan. Benak mereka mulai berkecamuk pemikiran yang berbeda-beda.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Nate yang pertama kali tersadar dari kekagetannya.
Felix menoleh padanya dan tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang rapih.
"Karena dia adalah klienku, yang juga sedang mencari keberadaan tentang Alina Johan."
Hal ini membuat Nate tersadar akan satu hal.
"Kau sudah menceritakan rahasia ini pada kami. Apakah kau juga akan melakukan hal yang sama untuknya?"
Pria bermata biru itu memayunkan bibirnya dan mengetuk-ketuk dagunya. Berfikir.
"Sebenarnya hal itu akan sangat tergantung pada mereka. Aku tidak pernah secara sengaja akan menceritakan sesuatu, kecuali mereka bertanya."
Tanpa rasa bersalah, Felix membuka kedua tangannya dan menunjuk mereka berdua.
"Kalian tadi bertanya, dan aku menjawab. Lagi pula, apakah aku pernah secara gamblang menyebutkan satu nama?"
"Kau memang licik." Marcus mendengus.
Felix kembali tertawa keras mendengar gerutuan Marcus. Pria dingin itu selalu dapat menghibur dirinya bila datang ke tempatnya.
Sambil berseder di sofanya, Felix menghela nafas dan tersenyum pada mereka berdua.
"Sebenarnya, aku menceritakan ini karena aku memang merasa kalian sebaiknya bertemu. Usia pria tua tidak lama lagi dan ia sangat ingin mengetahui keberadaan puterinya. Bukankah ini juga saatmu untuk memaafkannya, Nathanael?"
Tampak senyum yang sangat bijaksana terbit dari bibir Felix, yang menggambarkan usianya yang sebenarnya. Senyum yang jarang ditunjukkannya.
Mendengar pertanyaan itu, Nate masih belum bisa menjawabnya. Ia hanya bisa terdiam.
Pria berambut pirang itu bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju meja kerjanya. Tanpa menoleh, ia melambaikan salah satu tangannya pada tamunya. Mengusir secara halus.
"Tampaknya pembicaraan kita sudah cukup. Aku akan menunggu pembayaran dari kalian, karena pekerjaanku sudah selesai."
Saat Felix sudah menggenggam bel meja dan siap membunyikannya, Nate tiba-tiba berkata. "Satu hal lagi Felix. Apakah kau tahu dia ada dimana sekarang?"
Mata biru Felix berkilat terang. Ia tersenyum dengan lembut.
"Aku akan mempertemukan kalian, bila itu adalah yang kau inginkan. Kau sudah tahu bagaimana menghubungiku, Nate."
Setelah itu, Felix pun membunyikan belnya untuk memanggil pria besar yang ada di depan.
Sadar telah diusir, kedua pria itu pun akhirnya secara bergantian bersalaman dengan Felix.
Menggenggam erat tangan Felix, Nate tersenyum. "Terima kasih Felix, atas bantuanmu."
Pria itu pun membalas senyumnya kembali. "Selalu menyenangkan dapat melayanimu."
Tidak lama, pria besar itu pun datang ke ruangan dan mengantarkan kedua pria itu kembali ke dalam ruangan yang penuh hingar-bingar musik.
Tampaknya semakin malam, suasana di dalam club semakin meriah.
"Langsung pulang, Tuan?"
Marcus bertanya pada Nate, otomatis sedikit keras karena suara musik yang sangat bising.
Nate melihat jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Ia menoleh pada Marcus dan baru akan menjawab, ketika tiba-tiba terdengar suara yang cukup familiar di telinganya.
"Luce. Ayolah kita pulang."
Pria itu langsung menolehkan kepalanya. Matanya berkeliling mencari sumber suara, yang ternyata datang beberapa meter dari posisinya. Cukup jauh sebenarnya.
Nate baru menyadari bahwa ternyata inderanya menjadi lebih sensitif jika menyangkut Lin. Ia dapat langsung mengenali suara wanita itu di tengah kebisingan ini.
Perlahan, pria itu melangkahkan kaki mendekati wanita yang dicarinya. Tampak Lin sedang berusaha menyadarkan temannya yang terlihat teler karena mabuk.
"Luce? Luce? Ayo bangun, Luce. Kita pulang."
"Lin?"
Nate bertanya sambil mendekatkan bibirnya di telinga Lin, membuat wanita itu telonjak dan menoleh kaget. "Nate!"
Ketika Lin baru mendongak dan akan berbicara, segerombolan pria di belakangnya tiba-tiba mendorongnya ke depan, membuat wanita itu menabrak tubuh Nate. "Ouch!"
Pria di depannya otomatis memeluk pinggang Lin, menahannya.
Situasi di club saat itu sangat penuh dan ramai dengan pengunjung yang saling berdesak-desakkan. Membuat Lin terpaksa terjebak dalam pelukan Nate sementara ia menunggu pria-pria di belakangnya lewat.
Nate memegang erat pinggang wanita di pelukannya. Ia cukup heran dengan keadaannya saat ini, yang tampaknya lebih bisa mengontrol dirinya meski berada cukup dekat dengan Lin.
Lin yang tersadar dengan situasi ini, langsung sedikit menjauh dan menengadah.
Kedua mata Nate terlihat menghitam, namun ekspresinya tampak biasa saja.
"Kamu tidak apa-apa?" Pria itu malah bertanya padanya.
Wanita itu menganggukkan kepalanya takjub. Saat itu, ia baru tersadar dengan keberadaan Marcus yang ada di belakang Nate.
"Pak Marcus. Anda juga di sini?"
"Selamat malam, Nona Alina."
Pria di depannya sedikit menarik Lin agar mendekat padanya lagi. Ia tidak mau wanita itu kembali tertabrak oleh orang-orang yang lewat di belakangnya.
Posisi mereka sangat dekat, membuat dada mereka saling bersentuhan.
Sedikit menunduk, Nate kembali bertanya di telinga Lin, "Kamu sedang apa di sini?"
Wanita itu menoleh pada temannya yang sedang mabuk.
"Aku mau menjemput temanku. Salah satu bartender meneleponku tadi."
Lega karena ternyata Lin bukan sengaja datang ke club untuk bersenang-senang, Nate memperhatikan teman wanita itu yang terlihat teler dan tidak sadar.
Sejujurnya, Nate sama sekali tidak bisa bersentuhan dengan wanita manusia. Entah mengapa bau tubuh mereka membuatnya merasa mual.
Menoleh pada asistennya, ia meminta tolong padanya.
"Marc, apakah kamu bisa menolongnya?"
Tahu dengan kondisi atasannya, Marcus segera melangkah ke depan.
"Apakah Anda butuh bantuan saya, Nona?"
"Sebenarnya, ya. Apakah Anda bisa membantu saya membawanya ke mobil? Saya akan sangat berterima kasih."
Mendengarnya, Nate memegang kedua lengan atas Lin, memintanya untuk melihat padanya.
"Kamu membawa mobil sendiri ke sini?"
"Iya."
Pria itu menoleh kembali pada Marcus. "Marc, aku akan mengantarkan Lin dulu ke rumahnya. Nanti, kamu boleh menyusulku ke rumah Lin."
Lin mengernyit mendengar perkataan Nate. "Apa? Tidak usah, Nate. Aku-"
"Jangan membantah Lin. Ini sudah malam. Biar aku mengantarmu menggunakan mobilmu."
Tahu bahwa pria itu tidak mau dibantah, akhirnya Lin menganggukkan kepalanya pasrah.
"Baiklah."
"Marc, tolong bantu dia."
Setelah itu, Marcus pun terlihat membopong Lucy dan keempat orang itu berusaha dengan susah payah untuk keluar dari club, yang semakin lama semakin ramai itu.
Sampai di parkiran, Marcus membantu temannya Lin untuk masuk ke dalam mobil wanita itu.
Saat Lin sedang mengatur posisi Lucy di kursi belakang, ia melihat kedua pria itu sedikit menjauh dan bercakap-cakap sebentar.
"Anda yakin, Tuan? Saya bisa mengikuti dan langsung menjemput Anda di sana."
"Jangan dulu, Marc. Ini kesempatanku untuk lebih mendekatinya."
Ragu-ragu, pria dingin itu kembali mengingatkan Nate. "Tapi bagaimana dengan-"
"Sepertinya aku sudah cukup bisa mengontrol diriku, Marc. Kamu lihat sendiri tadi, aku sudah bisa memeluknya." Nate tersenyum lebar pada asistennya.
Melihat ekspresi atasannya yang gembira, membuat Marcus urung untuk bertanya lagi.
"Baiklah, Tuan. Tapi saya akan tetap menjemput Anda sebelum pagi tiba."
Menepuk bahu asistennya pelan, Nate tersenyum kembali. "Terima kasih, Marc."
Tidak lama, Lin memperhatikan bahwa Nate terlihat menghampirnya sedangkan Marcus berjalan ke arah yang berlawanan.
"Pak Marcus mau kemana?" Tanya wanita itu.
"Dia akan pulang dulu sebentar. Aku yang akan mengantarmu."
Mengerjapkan matanya, Lin memandang pria itu. "Kamu yakin?"
"Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa, cuman mobilku kecil. Sedangkan badanmu besar begini."
"Ayo. Kita coba lihat."
Mereka menghabiskan waktu beberapa menit untuk mengatur kursi kemudi agar sesuai dengan tinggi badan Nate.
Meski tidak terlalu nyaman, namun setidaknya pria itu masih akan bisa mengemudikan mobil Lin dengan tanpa terganggu.
Sadar dengan penumpang manusia di belakangnya, pria itu pun membuka kaca jendela pengemudinya cukup lebar. Memungkinkannya untuk dapat menghirup udara malam yang bersih dengan bebas.
Perjalanan mereka yang sekitar 20 menit, dilalui dengan keheningan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Saat mobil sudah berhenti di parkiran apartemen, Nate pun memandang tubuh Lucy yang tampak tergolek di kursi belakang.
Ia benar-benar lupa, bahwa sekarang ialah yang harus membantu untuk mengangkut tubuh wanita itu ke dalam apartemen Lin.
Mencoba menahan gejolak tidak menyenangkan yang mulai muncul di perutnya, Nate bergerak mendekati wanita yang tidak sadar itu.
Mengambil udara segar sebanyak mungkin, akhirnya Nate menarik tangan Lucy dan mulai mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dalam gendongannya.
Sedapat mungkin, ia berusaha menjauhkan tubuh Lucy dari dirinya.
Awalnya hal ini tidak masalah namun saat mereka sudah berada dalam ruangan tertutup, Nate mulai merasakan efeknya.
Tubuh pria itu mulai berkeringat dan tangannya terlihat bergetar, ketika hidungnya menjadi lebih sensitif mencium bau Lucy.
"Apakah berat, Nate? Aku akan membantumu."
"Tidak usah, Lin. Tapi aku mohon padamu agar jalanmu bisa sedikit lebih cepat."
"Eh, kenapa?"
"Cepatlah saja, Lin."
Ketika itu, mereka sedang berada di lorong apartemen Lin dan Nate tampak benar-benar sudah tidak tahan ingin mengeluarkan isi perutnya.
Ekspresi Nate yang tampak lebih pucat dari biasanya, membuat Lin pun mempercepat langkahnya. Ia berfikir mungkin pria itu merasa berat membawa tubuh temannya.
Segera setelah mereka sampai, wanita itu langsung mengarahkan Nate untuk meletakkan Lucy di kamar tamu. Pria itu tampak sedikit melempar wanita di pangkuannya ke tempat tidur.
"Kamar mandi."
Wajah pria itu tampak berkeringat dan sangat pucat. Urat-urat kelabunya sampai bermunculan di pelipis dan pipinya.
Begitu Lin menunjuk salah satu pintu, pria itu langsung masuk dan membanting pintu di belakangnya.
Dari dalam kamar mandi, Lin dapat mendengar suara orang yang beberapa kali memuntahkan sesuatu dan erangan yang menyedihkan.
"Nate? Kamu tidak apa-apa?" Perlahan Lin mengetuk pintunya.
Terdengar suara kucuran air dan tidak lama pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan muka Nate yang berantakan dan basah oleh air.
"Nate! Apa yang terjadi?"
Pria itu hanya menggelengkan kepala dan menjatuhkan dirinya di sofa dengan lemas.
Saat mencium bau yang ternyata masih menempel di bajunya, dengan tergesa pria itu membuka sweater yang sedang dipakainya dan melemparkannya sembarangan.
"Nate? Kamu kenapa?"
Khawatir dengan keadaan pria itu, Lin memegang bahunya yang terbuka dan kaget kalau pria itu ternyata berkeringat sangat banyak. Badannya pun terasa dingin.
"Nate? Kamu sakit?"
Pria itu menyurukkan kepalanya di dada Lin dan mencium aromanya dengan rakus. Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang wanita itu dengan erat-erat.
Bingung dengan situasi ini, Lin hanya dapat balas memeluk Nate yang tampak meringkuk di pelukannya. Ada ada dengan pria ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
YuWie
aq kasih bunga u nate dan lin
2022-01-25
0
another Aquarian
Nate so sweet..
2022-01-16
0