Setelah semua selesai makan, Tasya membantu bu Sarina membereskan dan mencuci piring kotor. Setelah semua pekerjaan selesai, gadis itu memutuskan untuk berjalan keluar mencari angin, sekaligus melihat-lihat pemandangan di sekitar.
Tasya memutuskan untuk duduk d ibawah naungan sebuah pohon mangga yang rindang sambil memainkan smartphone-nya.
"Kira-kira Fathur lagi apa ya? Pasti dia lagi sibuk jam segini." Tasya bergumam sambil memandangi fotonya bersama Fathur di layar ponselnya.
Sementara itu, Fathur sedang sibuk bekerja dengan laptopnya. Dia sedang mengerjakan laporan keuangan akhir bulan usaha milik orang tuanya. Setelah dia kembali dari kota Marakas, dialah yang dipercaya mengambil alih dan mengelola usaha tersebut, sedangkan papanya sibuk dengan bisnis keluarga mereka yang lainnya.
"Oke selesai," kata Fathur, sambil menutup laptopnya.
"Kira-kira apa yang dia lakukan saat ini? Coba aku telepon." Fathur mulai bersandar di sandaran sofa sambil mencoba melakukan panggilan video dengan Tasya.
Sementara itu di tempat lain.
"Eh, Fathur nelpon. Baru juga diingat. Hehe." Tasya senyum-senyum sendiri sambil merapikan hijabnya sebelum menjawab panggilan Fathur.
Setelah panggilan video mereka tersambung.
"Assalamu'alaikum yaa Akhi." Tasya menjawab panggilan Fathur seraya menghiasi wajahnya dengan senyuman.
"Wa'alaikum salam yaa Ukhty. Ukhty kangen gak sama aku?" tanya Fathur.
"Mm ... kasih tahu gak ya? Hehe."
Fathur tersenyum. "Itu kamu di mana? Kok yang di belakangmu itu seperti batang pohon." Fathur salah fokus pada tempat bersandar Tasya.
"Oh ini, aku lagi di bawah pohon mangga nih."
"Di bawah pohon mangga? Bukannya kamu lagi di toko sekarang."
"Oh itu, hari ini toko lagi tutup. Jadi aku gak kerja."
"Kenapa gak bilang? Gimana kalo aku jemput kamu nanti? Kita pergi jalan-jalan lagi."
"Mm ... itu, itu ...." Tasya bingung harus mengatakan apa pada Fathur.
Apa aku jujur aja ya? Bohong 'kan juga gak ada baiknya. Bukannya ngilangin masalah yang ada malah nambah masalah. Ya udah deh, lebih baik aku jujur sama Fathur.
"Itu apa?" tanya Fathur. Dia mulai curiga.
"Tapi kamu janji jangan marah ya. Aku bakal jelasin semuanya sama kamu nanti," kata Tasya.
"Memangnya apa dulu? Kenapa kamu jadi aneh gitu sih?" Perasaan Fathur mulai tidak enak. Ekspresinya juga sudah mulai datar, tidak sesumringah sebelumnya.
"Tapi kamu harus janji dulu gak bakalan marah sama aku. Soalnya aku juga gak macem-macem."
"Hem ...."
"Kok cuma bilang hem, bilang iya dong ...."
"Oke, aku janji gak bakalan marah sama kamu."
Tasya tersenyum. "Nah gitu dong."
"Ya udah, cepat katakan." Fathur sudah tidak sabar ingin mengetahui apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Tasya.
"Aku ... aku lagi jalan sama kak Hendra. Gak, lebih tepatnya dia yang maksa aku buat ikut sama dia."
"Oh." Fathur merasa lega. Ekspresinya pun sudah berubah lebih baik.
"Kok kamu cuma bilang oh sih?" Tasya merasa kecewa karena reaksi Fathur tidak seperti yang dia harapkan. Tadinya dia berpikir Fathur akan marah atau pun cemburu, ternyata reaksinya malah biasa-biasa saja.
"Terus, aku harus bilang apa? Aku 'kan udah janji sama kamu gak bakalan marah. Heran deh."
"Cemburu dikit kek gitu." Tasya mengerucutkan bibirnya.
"Hahaha. Buat apa aku cemburu? Lagian, aku tau kalau kamu gak suka sama dia, dan aku yakin, dia juga gak bakalan macam-macam sama kamu."
"Serius nih kamu gak cemburu? Berarti kamu gak beneran sayang dong ya sama aku." Tasya mulai mengambek.
"Yah ... gitu aja ngambek. Apa aku harus ngelamar kamu sekarang supaya kamu bisa percaya kalo aku sayang banget sama kamu?" tanya Fathur.
"Hehe. Jangan dong. Aku 'kan baru mau kuliah, tunggu sampe aku lulus dulu."
"Ah, kelamaan itu."
"Ya mau gimana lagi?"
"Tasy," panggil Fathur.
"Iya ..." jawab Tasya.
"Mendingan kamu jujur deh sekarang sama Hendra," ujar Fathur.
"Tentang apa?" tanya Tasya, dia sedikit bingung.
"Ya tentang perasaan kamu ke Hendra. Dengan begitu dia bakalan berhenti mengganggu kamu."
"Kamu kok keliatannya yakin banget."
"Ya mungkin karena kami sama-sama laki-laki."
"Mm ... ya udah deh. Nanti aku bakalan coba buat ngajak dia bicara."
"Oke."
"Eh, orangnya datang tuh. Udah dulu ya, Akhi."
"Iya, Ukhty ... jaga diri baik-baik ya buat aku," pesan Fathur sebelum akhirnya mereka berdua memutuskan sambungan panggilan video mereka.
Hendra sedang berjalan ke arah Tasya. Setelah pemuda itu sampai di dekat gadis itu, dia lalu duduk tetap di samping Tasya dengan jarak kurang lebih 2 meter.
"Habis video call-an sama siapa?" tanya Hendra.
"Sama Fathur."
"Oh." Hendra merasa hatinya berdenyut mendengar jawaban Tasya. Sepertinya kekalahan semakin lama semakin berpihak padanya.
"Kak Hendra, saya mau bicara sesuatu sama Kak Hendra."
"Apa?" tanya Hendra, sambil melempar batu-batu kecil beserta bongkahan tanah ke dalam air. Perasaannya semakin tidak enak. Perasaan sesak, sedih, kecewa, patah hati, dan cemburu sepertinya sudah berbaur jadi satu.
"Mm ... saya-" Ucapan Tasya tiba-tiba diputus oleh Hendra.
"Diam dulu. Bisakah aku yang bicara duluan? Aku juga ingin mengatakan sesuatu sama kamu."
"Ya udah. Kak Hendra bicara aja duluan, nanti saya belakangan."
"Baiklah. Tolong dengarkan aku baik-baik."
Sebelum mulai berbicara, Hendra sejenak menatap gadis cantik yang ada di sampingnya. Gadis cantik yang sudah memupuskan harapannya, memudarkan kebahagiaannya. Gadis yang berhasil membuatnya merasakan patah hati yang teramat sangat.
"Tasya, kamu tahu 'kan aku sangat mencintaimu?"
Tasya mengangguk pelan. Dia tidak berani menatap Hendra.
"Apa kamu ingin tahu kenapa hingga detik ini aku tidak pernah menyerah dan berhenti berjuang untuk mendapatkan hati kamu meskipun aku tahu jelas kalau kamu tidak mempedulikannku?"
Tasya terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dari nada bicara Hendra, dia yakin kalau pemuda itu sedang patah hati berat karena dirinya.
"Saat itu, hampir 2 tahun yang lalu, saat aku baru kembali dari Kartaja, aku berkunjung ke rumah om Rahmat. Di sanalah aku pertama kali melihatmu. Anehnya, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu, dan yang lebih parahnya lagi-"
Hendra menarik napasnya dalam-dalam. Belum selesai dia mengatakan semuanya, tapi rasa sesak di dadanya sudah menjalar ke mana-mana. Andai dia hanya seorang diri di sana, mungkin dia akan menumpahkan air matanya.
"Apa kamu ingin tahu yang lebih parahnya lagi?"
Tasya masih tetap terdiam dan menunduk. Takutnya saat dia angkat bicara, Hendra akan semakin merasa tersakiti.
"Yang lebih parahnya lagi adalah ... aku begitu yakin kalau kamu adalah jodohku. Itulah sebabnya aku tidak pernah menyerah selama ini."
Akhirnya Hendra bisa mengungkapkan semuanya, meski pun dengan mata yang sudah memerah menahan rasa perih di hatinya.
"Tasya, jawab aku. Apa kamu menyukai orang lain?" Hendra berkata sambil menatap Tasya lekat-lekat.
"Iya, Kak." Tasya masih menunduk, dia tidak
berani menatap Hendra.
"Apakah orang itu adalah Fathur?" tanyanya lagi ingin memastikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments