"Selamat pagi, Kak Hendra." Aku mendengar Dewi menyapa orang itu dengan sangat ramah seperti biasanya.
Ya, seperti itulah Dewi, semakin aku ingin menjauhi orang itu, semakin dia ingin membuatku dekat dengannya. Hng, Dewi ini sahabat yang sangat menyebalkan. Dia bahkan tidak tanggung-tanggung saat memuji orang itu di hadapanku. Saking kesalnya aku sampai mengatakan kalimat ini pada Dewi, 'kalau kamu suka, kak Hendra buat kamu aja, aku gak mau'.
Dasar menyebalkan. Dewi malah terkekeh setelah mendengarku mengatakan kalimat itu.
"Tasya, kamu sedang apa di situ?" Suara pertanyaan orang itu membuatku tersentak kaget. Sepertinya suaranya tepat berada di atas kepalaku.
Aku mendongak. Astaga. Ternyata benar. Kenapa dia bisa langsung tahu kalau aku bersembunyi di sini? Ini pasti ulah Dewi, tidak salah lagi. Dewi pasti diam-diam memberikan kode pada orang itu kalau aku bersembunyi di bawah sini.
Kenapa sih Dewi sangat mendukung agar aku menerima cinta orang itu? Aku 'kan sudah sering bilang kalau aku sudah memiliki orang yang aku suka, yaitu kak Fathur. Jadi tidak ada lagi tempat untuk laki-laki lain di hatiku. Dan satu lagi, aku juga sudah menekankan kalau aku tidak mau berpacaran, maunya langsung menikah. Kenapa Dewi ini sepertinya tidak bisa mengerti juga? Dewi benar-benar sangat menyebalkan sekali ya jadi orang, susah sekali dikasih tahu.
"Tasya ...." Kali ini orang itu memanggilku dengan nada lembut yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. Pokoknya, telingaku terasa geli mendengarnya. Iih.
Aku berdiri dari posisiku, sembari berpura-pura tersenyum. Senyuman yang benar-benar tidak ikhlas ini aku pamerkan di hadapannya.
"Iya, Kak." Aku menjawab dengan lembut dan sopan karena memang seperti itulah cara berbicaraku yang sesungguhnya, apalagi kepada orang yang lebih tua dariku.
Dia tersenyum padaku. Manis ... sekali. Dia sangat tampan, mirip Irwansyah. Tapi sayangnya, seberapa tampan pun dia, dia belum mampu menggeser posisi kak Fathur di hatiku.
Jika kalian penasaran seperti apa wajah kak Fathur, kalian bisa mencari nama 'Aditya Surya Pratama' di mesin pencarian Google atau pun di Instagram. Dia sangat mirip dengan dokter tampan sskaligus model tersebut.
"Kamu sedang apa tadi di bawah sana?" Dia kembali bertanya padaku. Kali ini diiringi dengan senyuman dan tatapan yang sepertinya sudah mengunciku sebagai target. Sepertinya tatapannya itu tidak bisa lagi kemana-mana selain hanya menatapku seorang.
Aku yang ditatap seperti itu tentu saja merasa malu dan salah tingkah.
Orang ini kenapa sangat tidak bisa menjaga pandangannya saat bertemu denganku? Batinku.
Aku lalu menjawab pertanyaannya tadi dengan gelengan kepala. Aku malas meladeni atau pun berbicara dengannya. Jika aku terus menjawab saat dia mengajakku berbicara, dia pasti tidak akan pernah mau pergi meninggalkan toko ini. Pasti dia ingin terus mengobrol denganku.
Tidak. Aku tidak akan memberikannya peluang untuk dekat denganku, apalagi harapan palsu. Aku tidak mau menyakiti hatinya, hati laki-laki mana pun. Aku takut terkena karma. Haha.
Aku pikir, aku harus mencari cara untuk segera pergi dari hadapannya sekarang juga. Jika aku terus berdiri di sini membantu Dewi melayani pembeli, dia pasti tidak akan pernah mau pergi dan memilih untuk tetap duduk anteng di kursi meja kerjaku sambil terus menatapku tiada henti.
Orang itu bebas keluar masuk toko ini karena pemilik toko ini adalah omnya. Pak Rahmat adalah adik kandung pak Gunawan, papanya kak Hendra.
Ahha, sepertinya aku ada ide. Berbohong untuk kebaikan kami masing-masing tidak ada salahnya 'kan?
"Wi, aku ke toilet sebentar ya. Perut aku tiba-tiba mules nih." Aku sengaja berbohong agar bisa segera menghindar dari orang itu.
"Kak, saya pamit ke belakang dulu ya," kataku, sambil tersenyum paksa dan mengangguk sopan ke arahnya.
Belum sempat dia menjawab aku sudah berlari ke belakang.
Setelah berlalu sekitar 10 menit, aku akhirnya merasa cukup untuk bersembunyi di dalam kamar mandi. Aku pikir orang itu mungkin sudah pergi. Dan setelah aku cek, ternyata memang benar, dia sudah pergi. Pasti sekarang dia sudah pergi ke tempat kerjanya. Sudah waktunya nya aku keluar sekarang.
Aku heran, anak orang kaya seperti dia kok mau-maunya sih bekerja sebagai staf honorer di sekolah. Gajinya 'kan tidak seberapa. Ah, entahlah? Aku tidak mengerti dengan cara berpikir anak orang terkaya nomor dua sekecamatan Sabangpiri itu. Bisa-bisanya dia membuang-buang waktunya begitu saja.
Saat aku kembali, pembeli sudah nampak sepi. Di jam seperti ini, bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Artinya, tidak ada lagi anak sekolah yang berkeliaran di luar pekarangan sekolah. Mereka semua sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing untuk belajar. Sama halnya dengan orang tadi yang profesinya sebagai staf TU di sekolah tersebut.
Aku berjalan menghampiri Dewi. Saat melihatku kembali, dia lalu bertanya, "Kamu kok lama banget sih di kamar mandinya?"
"Karena urusan yang satu itu baru aja selesai, Wi. Kamu kok makin lama makin cerewet sih kayak ibu-ibu?" kataku, seraya duduk di kursiku sendiri. Tepatnya di depan komputer.
"Tuh, ada tugas buat kamu." Dewi menunjuk flashdisk berwarna putih yang tergeletak di atas meja kerjaku.
"Apa ini?" tanyaku, meminta penjelasan.
"Kata kak Hendra, di dalam flashdisk itu ada file yang isinya mau diprint."
"Oh." Aku segera mencolok flashdisk tersebut di CPU komputer.
"Filenya yang mana, Wi? Foldernya banyak banget. Aku 'kan jadi bingung." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan tertutupi oleh hijab.
"Emang tadi kak Hendra bilang apa sih?" imbuhku.
"Ya dia cuma bilang ada file yang mau diprint. Aku juga gak nanya file apaan. Oh, atau gini aja, kita tunggu aja kak Hendra datang lagi ke sini nanti, baru kita tanya," usul Dewi.
"Ya udah deh. Daripada kerjain tapi salah-salah juga. Mending gak usah dikerjain sekalian."
...----------------...
Beberapa jam kemudian.
Saat jam istirahat di sekolah tiba, orang itu datang lagi ke toko.
"Bagaimana? Apa filenya sudah selesai di print?" tanyanya.
Tanpa menoleh pun aku bisa tahu kalau dia sedang berjalan ke arahku, dan sekarang sepertinya sudah berdiri tepat di belakang kursiku. Aku bisa merasakan kalau dia meletakkan kedua tangannya di sandaran kursiku. Reflek aku memajukan badanku ke depan. Aku tidak mau laki-laki ini menyentuhku.
"Maaf, Kak. Saya gak tau file mana yang mau Kak Hendra cetak." Aku membuka isi flashdisk nya. Di layar monitor terpampang hampir 10 folder yang tidak tahu entah apa isinya. Aku juga tidak berani membukanya dari tadi.
"Oh iya, ya. Tadi aku lupa mengatakan folder mana yang isinya mau suruh kamu cetak."
Gerakan tangannya tiba-tiba saja mengejutkanku. Untung saja aku segera menarik tanganku yang tadinya aku letakkan di atas mouse. Hampir saja dia menyentuh punggung tanganku.
Kenapa aku merasa ada yang tidak beres? Aku curiga, sepertinya dia memang sengaja melakukannya.
"Filenya yang ini?" Aku bisa mendengar dengan jelas kalau dia berbicara tidak jauh dari telingaku. Tubuh kami saat ini terlihat sangat dekat sekali, dan itu sukses membuatku risih.
Aku tahu, dia sudah menyukaiku dan mengejarku sejak lama, tapi tidak seperti ini caranya. Aku tidak suka laki-laki yang lancang karena kesannya sangat kurang ajar dan tidak menghargai gadis berhijab sepertiku.
Aku segera bergeser dari kursiku, kemudian berdiri sekitar dua meter darinya. "Mohon maaf sebelumnya, Kak. Bisakah kak Hendra mengerjakannya sendiri? Saya mau ke toilet."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments
5.13.13.1
Kkkkkkkkk,,,, masih sukses buat aqohh tertawaaa😂😂😂
2021-12-12
1
Bunda Af
ganteng wajah negara sendiri 👍
2021-11-24
1
FigurX (IG @mahisa_campaka)
ooh Irwansyah...pantesan...😂😂🤣
2021-11-19
2