"Wah ... tempat apa ini? Kenapa bisa ada tempat sebagus ini di tengah sawah?" tanya Tasya, dia sangat takjub melihat keindahan tempat itu.
"Ini empang buatan milikku. Ayo, masuklah," kata Hendra. Tasya pun mengekor di belakangnya.
Setelah sampai si kolong rumah panggung tadi.
"Duduklah!" Hendra menyuruh Tasya untuk duduk di kursi yang tersedia di kolong rumah panggung tersebut.
"Apa ada orang yang tinggal di sini?" tanya Tasya, sambil celingukan melihat ke sekeliling.
"Tentu saja ada. Namanya pak Udin dan bu Sarina. Mereka sepasang suami istri yang tinggal disini menjaga dan merawat empang ini beserta isinya. Dia juga yang menggarap sawah-sawah disekitar sini, termasuk yang kita lewati barusan," jelas Hendra, sambil duduk di kursi depan Tasya.
"Sawah-sawah itu milik Kak Hendra juga?" tanya Tasya.
"Iya," jawab Hendra disertai anggukan.
"Oh. Terus orang yang menjaga tempat ini kemana? Kok kayaknya gak ada orang."
"Mungkin mereka masih ada di pasar. Tadi malam aku sudah menelpon mereka dan meminta mereka untuk belanja sedikit bahan makanan."
"Jadi kita nanti mau makan disini?" tanya Tasya.
"Tentu saja. Ayo kita memancing ikan sebelum mereka pulang."
Hendra pun mengambil alat pancingan beserta umpan yang memang sudah disediakan oleh pak Udin sebelum berangkat ke pasar bersama istrinya.
"Wah, memangnya di empang ini ada ikan apa aja?" tanya Tasya penasaran.
"Hanya ada 2 jenis ikan disini. Ikan mas dan ikan mujair," jawab Hendra, sambil memasang umpan.
"Wah enak dong, Kak."
Hendra hanya tersenyum lalu melempar mata pancingnya ke empang. Baru beberapa menit saja dia sudah mendapatkan ikan.
"Wah ... ikan mujairnya besar banget." Gadis itu terlihat sangat senang.
"Kamu senang tidak datang kesini?" tanya Hendra sambil tersenyum.
"Tentu saja, Kak. Saya senang banget. Berasa sedang pergi liburan, padahal cuma di sawah." Tasya tertawa setelah mengatakannya.
"Suka tidak dengan tempatnya?" tanya Hendra lagi. Tasya menjawabnya dengan satu kali anggukan.
"Tapi tadi ada loh orang yang terpaksa datang kesini. Hehe," goda Hendra.
"Itu karena tadi saya gak tau mau dibawa kemana sama Kak Hendra. Ya jelas saya takutlah."
Hendra tersenyum mendengar pembelaannya gadis itu.
"Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Hendra untuk yang kesekian kalinya sambil memasang umpan lalu melemparkannya kembali ke air.
"Tempatnya bagus. Menurut saya tempat ini sangat cocok untuk refreshing."
"Ini empang punya Kak Hendra, 'kan?" imbuh Tasya bertanya. Hendra mengangguk.
"Nah, untuk apa Kak Hendra membuat tempat ini?"
"Persis seperti yang kamu bilang tadi. Tempat ini sengaja aku buat untuk menenangkan pikiran ketika dilanda masalah."
"Oh ... memangnya Kak Hendra lagi ada masalah sekarang?"
Hendra tersenyum. "Tapi tidak selamanya juga aku ke sini karena ada masalah.
"Oh. Saya pikir Kak Hendra sedang ada masalah sekarang."
Apa kamu mau tahu apa masalahku sekarang? Masalahku sekarang adalah, apakah kamu akan memilihku ataukah lebih memilih laki-laki lain? Sekarang masih terlalu pagi untuk menanyakan hal itu padamu. Aku masih ingin menikmati kebersamaan kita. Batin Hendra sambil terus menatap Tasya yang duduk disampingnya.
"Eh, Kak! Strike lagi!" Tasya jadi heboh sendiri.
Setelah beberapa lama memancing mereka sudah mendapatkan lumayan banyak ikan yang ukurannya lumayan besar-besar. Pak Udin dan bu Sarina juga sudah pulang dari pasar. Tasya membantu bu Sarina membersihkan ikan dan memasak makanan di dapur. Sedangkan Hendra dan Pak Udin menyiapkan tungku dan arang untuk membakar ikan.
Setelah lebih dari 1 jam, semua makanan sudah siap, dan tibalah waktunya mereka makan bersama.
"Em ... sambal ikan bakarnya enak sekali." Hendra berkata setelah memasukkan makanan suapan pertama ke dalam mulutnya.
"Itu Nak Tasya yang buat," kata Bu Sarina.
"Benarkah? Sambelnya benar-benar enak sekali. Ternyata kamu pintar masak juga rupanya."
"Bisa sedikit, Kak." Tasya berkata sambil tersenyum. Gadis itu memang pandai memasak karena dari kecil dia memang sering membantu ibunya didapur.
"Nak Hendra, coba juga tumis tahu jagung cabe ijo ini, ini juga nak Tasya yang buat." Bu Sarina menaruh beberapa sendok makanan tersebut ke piring Hendra.
Hendra pun memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. "Emm ... emm. Masakan kamu benar-benar sangat enak, Tasya. Aku bisa gemuk kalau setiap hari makan makanan seenak ini. Mantul, mantap betul."
Hendra mengacungkan jari jempolnya ke arah Tasya. Gadis itu hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Loh, Nak Hendra 'kan nanti bisa menikmati masakan Nak Tasya setiap hari setelah kalian menikah," kata Bu Sarina dan itu sukses membuat Tasya tersedak.
"Uhuk uhuk."
"Minumlah." Hendra memberikan segelas air pada Tasya. Dia sama sekali tidak terkejut mendengar ucapan wanita berusia 40 tahunan tersebut karena Hendra tahu kenapa bu Sarina bisa berkata demikian.
"Loh, memangnya ada yang salah dengan ucapan Ibu? Bukankah Nak Hendra sendiri yang pernah bilang dulu, kalau Nak Hendra hanya akan membawa calon istrinya ke tempat ini. Bahkan pak Gunawan dan bu Arini sendiri belum pernah di bawa ke sini. Ini pertama kalinya Nak Hendra membawa seseorang 'kan ke sini," cerocos bu Sarina.
Hendra memilih terdiam, dia tidak mau berkomentar apa pun dan lebih memilih menikmati masakan Tasya yang tidak tahu apakah di lain waktu dia masih bisa menikmatinya ataukah tidak akan pernah lagi.
"Ehem ehem. Bukan seperti itu, Bu. Saya dan Kak Hendra cuma teman biasa kok, bukan seperti yang Ibu pikirkan." Tasya mencoba meluruskan kesalah pahaman tersebut.
"Tapi, Nak Hendra sendiri yang pernah bilang kalau-" Belum juga bu Sarina selesai berbicara, pak Udin sudah menegurnya.
"Bu, jangan banyak bicara lagi. Ayo teruskan makannya."
Pak Udin tahu hubungan antara Hendra dan Tasya karena Hendra sudah menceritakan hal tersebut padanya.
Flash back on.
"Siapa gadis yang Nak Hendra bawa itu?" tanya Pak udin sambil mengipasi bara api yang akan mereka pakai untuk membakar ikan nanti.
"Itu Tasya, Pak, karyawan di tokonya om Rahmat."
"Oh. Jadi dia calon istri Nak Hendra?" tanya Pak Udin lagi.
"Maunya sih begitu, Pak." Hendra menjawab sambil tersenyum kecut.
"Maksudnya?" Pak Udin menjadi bingung.
Hendra tidak menjawab. Dia lebih memilih untuk diam. Dengan diamnya itu, pak Udin pasti bisa mengerti.
"Apakah dia juga menyukai Nak Hendra?" tanya pak Udin pelan takut orang yang sedang dia tanyai itu tersinggung.
"Sepertinya belum, Pak."
Pak Udin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Berarti Nak Hendra masih berjuang sekarang."
Kali ini Hendra hanya tersenyum, seolah-olah mengiyakan pertanyaan pak Udin barusan.
"Sabar Nak Hendra, jodoh tidak akan ke mana. Nak Hendra harus tetap semangat berjuang. Cinta memang harus diperjuangkan, begitu pula seorang wanita."
Flash back off.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments