Pagi hari yang cerah secerah hati Tasya. Pagi ini gadis itu terlihat lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya. Membersihkan toko sambil bersenandung. Dewi sampai dibuat geleng-geleng kepala melihatnya. Dari kemarin Dewi memang sudah curiga pada sahabatnya itu.
"Hm ... begini nih kalau orang sedang kasmaran." Dewi berkata sambil geleng-geleng kepala.
Tasya yang mendengarkan ucapan sahabatnya itu memilih untuk mengabaikan dan tetap melanjutkan nyanyiannya.
"Jadi sekarang kamu mau main rahasia-rahasian nih sama aku, gitu?" tanya Dewi.
Tasya berhenti menyanyi, lalu berbalik dan menatap Dewi sahabatnya.
"Rahasia apaan sih, Wi?" tanyanya pura-pura tidak mengerti.
"Itu loh yang kemarin."
"Yang mana?" tanya Tasya masih pura-pura tidak tahu.
"Itu, copy-an nya dokter Adit."
"Oh ... maksud kamu kak Fathur."
"Iya lah. Siapa lagi? Kamu pasti ada apa-apanya 'kan sama dia. Hayo ngaku."
"Ah, gak kok."
"Sudahlah. Kamu gak usah bohong lagi sama aku. Aku bisa liat dengan jelas kok kalau kamu itu suka sama dia," kata Dewi.
"Ah, masa sih? Emang beneran bisa kebaca ya, Wi?"
"Nah, tuh kan. Akhirnya kamu ngaku juga."
"Hehehe." Tasya hanya bisa cengengesan.
Dewi berjalan menghampiri Tasya. Gadis itu ingin mengajak sahabatnya untuk berbicara lebih dekat.
"Tasy, semalam aku baru inget, kalo beberapa bulan lalu kamu pernah ngomong ke aku kalo kamu suka sama cowok yang bernama Fathur itu. Ternyata dia orangnya."
Tasya hanya menanggapi pertanyaan sahabatnya tersebut dengan senyuman disertai anggukan.
"Sejak kapan sih kamu suka sama dia?"
"Sejak kelas 3 SMP. Sejak dia ngasih aku itu." Tasya menjawab sambil menunjukkan gantungan kunci motornya pada Dewi.
"Lama banget. Kok kamu gak pernah cerita sih sama aku? Kita 'kan dari dulu udah sahabatan."
"Dear Dewi sahabatku yang paling baik hati. Gak semua rahasia kita itu harus kita ceritakan pada orang lain. Mengerti?"
"Iya, iya. Aku tau. Sini gantungan kuncinya, aku pengen liat." Dewi meraih gantungan kunci berbentuk hari berwarna merah muda tersebut dari tangan Tasya.
Wah, lope-lope. Kok aku jadi kasian ya sama kak Hendra. Sepertinya dia bakalan kalah saing deh sama cowok yang kemarin. Padahal kalo dilihat dari tampangnya kak Hendra juga gak kalah ganteng kok sama cowok yang kemarin. Batin Dewi.
"Jadi hubungan kamu sama cowok itu udah sampe mana?" tanya Dewi. Dia menatap sahabatnya dengan serius.
"Ih apaan sih, Wi? Kamu 'kan tau sendiri kalau aku itu gak mau pacaran. Aku cuma mau pacaran setelah menikah," tegas Tasya.
"Terus perasaan dia ke kamu itu kayak gimana?" Dewi merasa sangat penasaran ingin mengorek-ngorek tentang hubungan antara Tasya dengan Fathur.
"Ya mana aku tahu. Aku 'kan bukan cenayang yang bisa membaca pikiran orang, apalagi membaca isi hati orang."
"Tapi kamu udah kontek-kontekan 'kan sama dia?" tanya Dewi sambil menaik turunkan sebelah alisnya.
"Udah ah, Wi. Aku udah kayak tersangka aja." Tasya lelah diinterogasi oleh Dewi. Seperti biasanya, saat gadis itu ingin menghindar, toilet adalah tujuan utamanya.
"Eh, Tasy. Kamu mau ke mana?"
"Toilet."
"Kebiasaan nih anak. Setiap ada apa-apa selalu menghindar ke toilet. Toilet juga bosen tau dijadiin tempat persembunyian sama kamu."
Beberapa menit kemudian.
Tasya akhirnya keluar dari kamar kecil. Dia merasa sangat terkejut begitu mendapati Hendra sedang duduk di meja kerjanya sambil menyalakan komputernya.
Hendra memang bebas keluar masuk toko karena toko tersebut adalah milik omnya.
Entah mengapa Tasya merasa sangat malu dan canggung pada Hendra. Gadis itu pun bertanya pada Dewi menggunakan bahasa isyarat yang artinya 'Ngapain dia disitu?', tapi Dewi hanya mengangkat kedua bahunya pertanda tidak tahu.
Tasya akhirnya berjalan mengendap-ngendap di belakang Hendra menuju ke arah di mana Dewi sedang duduk.
Belum juga sampai, tiba-tiba Hendra berkata, "Tasya, aku pinjam komputermu dulu ya. Laptopku sedang rusak."
"Astagfirullah." Tasya terperanjat kaget. Dia menghentikan langkahnya sambil memegang dadanya yang berdebar cukup kencang.
"Loh? Kenapa kamu melihatku seperti melihat hantu begitu sih?" tanya Hendra kebingungan.
"Ng-gak, gak kok Kak. Pakai aja komputernya."
Tasya lalu berlari kecil ke arah Dewi dan duduk tepat di samping gadis itu.
Sementara itu, Hendra hanya tersenyum melihat tingkah gadis pujaan hatinya tersebut.
Setelah hampir 2 jam menggunakan komputer toko, Hendra pun akhirnya keluar dari toko tersebut. Hal itu membuat Tasya menjadi sangat lega karena dari tadi dia merasa tidak bebas berbicara dan bergerak karena kehadiranl Hendra.
"Ah ... akhirnya dia pergi juga." Tasya merasa sangat senang dan lega. Gadis itu lalu duduk di kursinya sendiri sambil memeluk meja kerjanya kemudian membaringkan kepalanya di atas meja tersebut.
"Kenapa sih kamu gak suka banget sama kak Hendra, Tasy?" tanya Dewi.
"Aku bukannya gak suka, Wi. Aku cuma gak nyaman aja tadi dia ada disini. Kayak gimana ... gitu, rasanya aneh aja." Tasya menjawab tanpa merubah posisinya sedikit pun.
Ketika Tasya sedang asyik dengan posisinya tersebut. Dewi melihat Hendra di kejauhan berjalan menuju toko. Tiba-tiba muncul ide jailnya untuk mengerjai Tasya.
"Aduh perutku mules. Tasy, aku ke belakang dulu ya." Dewi segera berlari menuju toilet.
"Hm ...," jawab Tasya sembari memejamkan matanya.
Tasya sama sekali tidak menyadari kedatangan Hendra. Gadis itu masih tetap merasa nyaman dengan posisinya hingga beberapa menit ke depan.
"Dewi ngapain aja sih di toilet kok lama banget?" Tasya berbicara sendiri seraya membuka matanya pelan dan mengangkat kepalanya perlahan.
Namun tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Bulu kuduknya juga ikut meremang.
Bayangan apa itu putih-putih?
Dengan perlahan Tasya mulai menggerakkan bola matanya. Kepalanya masih tetap pada posisinya.
"Argh!" Tasya memekik. Sontak saja gadis itu berdiri dari tempat duduknya.
"Astagfirullah hal adzim. Kak Hendra ...." Tasya memegangi dadanya. Dia merasa sangat terkejut.
Hendra terkekeh melihat ekspresi wajah Tasya. Ternyata sedari tadi pemuda itu duduk di samping gadis itu tapi gadis itu tidak menyadari hal tersebut.
Tasya merasa sangat malu dengan kejadian ini, mukanya berubah menjadi merah dan rasanya dia ingin lenyap saja seketika itu juga.
Tawa Dewi pun ikut pecah di dalam toilet. Dia mencoba menutup mulutnya dengan tangan agar tidak sampai ketahuan. Ternyata sedari tadi dia mengintip di balik pintu toilet.
"Hahaha. Rasain kamu, Tasy. Emang enak dikerjain? Siapa suruh kamu jadi cewek sikapnya dingin banget kayak es balok. Cowok seganteng itu masa dicuekin."
Sementara itu di luar sana, Tasya memberanika diri untuk bertanya. "Se-sejak kapan Kak Hendra ada di situ?"
Hendra mencoba menahan tawanya kemudian menjawab, "Sejak tadi."
"Hah?" Tasya benar-benar kehilangan muka dan malu sekali.
"Aku pikir tadi kamu sedang tidur jadi aku tidak berani mengganggumu." Hendra memberikan penjelasan.
Tasya tidak bisa berkata-kata lagi. Gadis itu merasa sangat malu lalu menutupi wajahnya menggunakkan kedua tangannya.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Itu, tadi aku keluar membeli makan siang untuk kita bertiga di sini." Hendra menunjuk sebuah kantong kresek berwarna merah yang dia letakkan di atas lemari etalase toko bagian paling depan.
Perlahan-lahan Tasya mulai melonggarkan jemarinya kemudian mengintip lewat celah jemarinya tersebut.
"Boleh aku duduk di situ? Aku ingin melanjutkan pekerjaanku," kata Hendra.
"Iya, Kak. Silahkan." Tasya pun segera berjalan menuju kursi di mana biasanya dia dan Dewi duduk saat menunggu pembeli.
Tidak lama kemudian, Dewi pun akhirnya kembali dari toilet dan duduk tepat di samping Tasya.
"Kamu ngapain aja sih, Wi kok lama banget di toiletnya?" bisik Tasya.
"Aku tadi sembelit, jadi butuh waktu lama untuk menyelesaikannya."
Tasya percaya begitu saja pada ucapan sahabatnya itu padahal sebenarnya Dewi hanya berbohong padanya.
"Dari mana makanan ini?" Dewi bertanya sambil berpura-pura tidak tahu.
Tasya hanya menjawab dengan cara menunjuk Hendra menggunakan ekor matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments
Mari ani
lanjut tor
2022-03-09
0
......Maiko.....
kenapa ya ini kan cerita ya bagus tapi dikit like' ya.sayang.....semangatttt thorr😘
2021-12-18
1