Tasya sedang menunggu Fathur di teras rumahnya. Tadi malam mereka sudah janjian untuk berangkat pukul 9 pagi. Tanpa perlu menunggu lama, Fathur akhirnya datang dengan mobil Hando BP-V putihnya.
"Udah nunggu ya dari tadi?" tanya Fathur, sambil tersenyum begitu melihat Tasya masuk ke dalam mobilnya.
"Gak kok, Kak. Barusan." Tasya menjawab sambil balas tersenyum pada Fathur.
Fathur masih saja memamerkan senyumannya. "Ngomong-ngomong, kamu cantik banget hari ini."
Pemuda itu tidak bisa mengelakkan pandangannya dari Tasya.
"Makasih, Kak." Tasya tersipu malu, wajahnya merona kemerahan.
Hm ... kak Fathur gak tau aja cewek kalau mau jalan ribetnya minta ampun. Mulai dari make up, baju, rok/celana, tas, sepatu, hijab dan lain sebagainya. Buat jalan sama dia aja, aku sampe siap-siap dari subuh. Tapi gak apa-apa sih, aku juga dapat pujian dari kak Fathur. Hehe.
"Oh iya, pakai ini dulu," kata Fathur, lalu memasangkan safety belt pada Tasya.
Tasya terkejut melihat wajah Fathur yang tiba-tiba berjarak sangat dekat kurang dari 10 senti meter dari depan matanya. Jantung gadis itu berdegup kencang, wajahnya yang tadinya sudah memerah kini semakin memerah. Gadis itu menahan napas lalu dengan cepat memalingkan wajahnya ke arah luar. Itu untuk menghindari suatu hal yang tidak diinginkan yang mungkin saja bisa terjadi.
Untung aja. Gimana tadi kalo aku sampe gak sengaja mencium pipi kak Fathur? Mau ditaro di mana mukaku ini? Pasti rasanya memalukan banget. Batinnya sambil memejamkan matanya kuat-kuat.
Fathur tersenyum tipis melihat Tasya tiba-tiba memalingkan wajah ke arah luar. Pemuda itu jadi teringat dengan perjanjiannya dengan Hendra kemarin.
Tasya lugu banget. Sepertinya nanti aku harus memanfaatkan waktu berdua kami sebaik mungkin. Aku sudah menyukai Tasya sejak dulu, jadi lebih baik nanti aku menyatakan perasaanku saat aku punya kesempatan. Aku mau membuktikan pada Hendra kalau aku lah pemenangnya. Dengan begitu, dia gak bakalan ganggu Tasya lagi. Batin Fathur.
"Oke sudah selesai. Mau jalan sekarang?" tanya Fathur. Dia sudah kembali pada posisi sebelumnya.
"A-ayo." Tasya menjawab dengan gugup.
Setelah melaju selama beberapa saat, sampailah mereka pada pertigaan di daerah Sompa. Dari tadi mereka berdua hanya terdiam, tidak ada obrolan sama sekali.
"Belok kanan apa belok kiri?" tanya Fathur.
"Belok kiri," jawab Tasya.
Suasana canggung tadi membuat gadis itu tidak berani menoleh apalagi sampai menatap wajah Fathur. Dia terus menatap ke arah luar menyaksikan pepohonan yang seperti berkejaran, bergantian dengan pemukiman warga.
"Kamu kenapa? Kok diam aja dari tadi?" tanya Fathur. Sesekali dia melihat ke arah Tasya sambil tetap fokus menyetir.
"Kan Kak Fathur lagi fokus nyetir, jadi saya gak mau ganggu. Nanti konsentrasi Kak Fathur buyar gara-gara saya," jawab Tasya beralasan. Gadis itu masih tidak berani menatap pemuda di sampingnya.
Pasti gara-gara kejadian yang tadi dia jadi begini. Hehe. Tasya ... Tasya.
"Masa sih? Tapi dari tadi aku merasa dicuekin loh." Fathur mencoba memancing Tasya.
"Eh, gak kok Kak, gak. Mana mungkin saya cuekin Kak Fathur." Akhirnya Tasya memberanikan diri untuk memutar kepalanya dan menatap lurus ke arah depan, sambil sesekali dia melirik ke arah Fathur dengan malu-malu lalu menunduk.
"Jangan panggil kakak, panggil Fathur aja. Atau kalau gak, aku kamu juga boleh. Kamu kalo bicara sama aku bilang aku aja, jangan bilang saya begini saya begitu. Kesannya gimana, ya kalo kamu selalu pake kata saya? Kesannya itu ... kita berdua gak akrab. Gitu loh."
Tasya sebenarnya ingin tertawa melihat Fathur menyerocos, tapi dia berusaha untuk menahannya. Gadis itu terdiam, dia sebenarnya merasa bingung. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh Fathur saat ini? Kenapa tiba-tiba hari ini dia menjadi sedikit aneh? Bukankah sejak dulu saat Tasya masih kecil, panggilan kakak itu memang sudah melekat pada diri pemuda tersebut.
"Kenapa? Apa ada yang aneh?" tanya Fathur, sambil sesekali melirik Tasya.
"Ng-gak kok, Kak. Eh gak kok, Fa-Fathur."
Tasya masih merasa aneh jika harus memanggil orang yang lebih tua darinya dengan sebutan nama. Menurutnya itu sedikit kurang sopan.
"Nah, begitu 'kan lebih enak didengar."
"Mm ... kenapa kamu mau dipanggil seperti itu? Bukannya dari kecil aku emang sudah memanggilmu dengan sebutan Kak Fathur?" Tasya bertanya karena penasaran.
"Apa kamu keberatan jika aku meminta kamu memanggilku dengan sebutan nama? Mm ... gimana kalo aku memberikan kamu 2 pilihan?"
"Pilihan? Pilihan apa?"
"Kamu pilih yang mana? Memanggil aku dengan sebutan Fathur, atau ... sayang?" Fathur menatap Tasya sambil tersenyum.
Tasya berdecak. "Ck, bercandanya gak lucu."
Fathur tertawa melihat ekspresi malu-malu Tasya.
"Kak Fath, eh Fathur. Kapan kamu balik ke kota Marakas?" tanya Tasya.
"Balik? Aku gak mau balik lagi, aku mau menetap di sini sekarang."
Mendengar Fathur akan menetap, tentu saja Tasya merasa sangat senang. Itu artinya, kedepannya mereka masih bisa sering bertemu.
"Kenapa? Memangnya di sana kamu gak punya pacar?" tanya Tasya penasaran.
"Gak ada. Aku gak pernah pacaran sama selama di sana."
"Gak percaya."
"Serius. Aku sibuk banget waktu kuliah, jadi gak sempat. Dan memang aku gak ada waktu buat nyari pacar. Oh iya, aku di sini lagi nyari calon istri," jawabnya sambil sesekali melihat Tasya.
Entah apa yang terjadi dengan Tasya. Mendengar Fathur berkata kalau pemuda itu sedang mencari calon istri, kenapa justru dia yang merasa sangat senang. Seketika senyumannya menjadi tidak bisa tertahankan. Gadis itu memalingkan wajah ke arah luar agar Fathur tidak melihatnya tersenyum. Tasya berusaha menahan diri agar tidak tersenyum, namun kedua sudut bibirnya tidak bisa diajak bekerja sama. Kedua sudut bibirnya itu terus saja melengkung ke atas.
Hei aku ini kenapa? Apa yang terjadi denganku? Kok malah aku yang kegirangan mendengar kak Fathur lagi nyari calon istri? Gak mungkin juga 'kan aku yang dipilih. Wahai Natasya Putri yang budiman, jangan bermimpi terlalu tinggi. Tahu dirilah sedikit. Kamu ini gak pantas disandingkan dengan keluarga Rahman Sentosa yang kaya raya itu. Keluarga mereka adalah orang terkaya di seantero Sabangpiri ini, sedangkan kamu, kamu hanyalah seorang gadis biasa dan dari keluarga yang sederhana.
Tasya tersadar dari lamunannya saat ponselnya tiba-tiba berdering. Dia pun segera mengambilnya dari dalam tasnya.
"Siapa?" tanya Fathur.
"Gak tau, nomor baru." Gadis itu pun segera menjawab panggilan tersebut, siapa tahu itu telepon penting.
"Halo, siapa ini?"
"Ini aku." Terdengar suara laki-laki di ujung ponselnya.
"Siapa ya?" tanya Tasya penasaran.
"Hendra."
"Hah?"
Darimana dia dapat nomorku? Hm ... jangan-jangan Dewi lagi yang ngasih. Awas aja ya kalau sampai beneran dia yang ngasih.
"Siapa?" tanya Fathur penasaran.
"Kak Hendra," jawab Tasya, sambil berbisik.
Tiba-tiba Fathur merampas ponsel dari tangan Tasya, lalu segera menepikan mobilnya di pinggir jalan.
Tasya terkejut, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa melihat kelakuan Fathur.
"Kamu di mana? Aku pergi mencarimu di toko tapi kamu tidak ada. Apa kamu sedang sakit?" tanya Hendra.
"Tasya sedang bersamaku jadi kamu gak usah khawatir." Setelah mengucapkan kalimat itu, Fathur langsung memutus sambungan telponnya.
Sementara itu di tempat lain. Hendra menatap ponselnya yang tiba-tiba berbunyi 'tut tut tut' .
Plak!
"Sial!"
Hendra merasa sangat geram. Dia sampai menggebrak meja kerja Tasya, dan itu sukses membuat Dewi terlonjak kaget.
Aku harus mengambil tindakan secepatnya. Aku tidak mau tinggal diam dan kalah saing begitu saja. Batin Hendra, lalu beranjak meninggalkan toko.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments