Usai shalat dzuhur, Dewi segera keluar dari masjid. Dengan perasaan senang, gadis itu berlari pulang ke toko. Entah apa gerangan yang membuatnya terlihat sangat kegirangan sepulang dari masjid.
Baru saja sampai di depan toko, Dewi sudah berteriak memanggil nama Tasya.
"Tasy! Tasya!!!"
"Ada apa sih, Wi teriak-teriak?" tanya Tasya.
Tasya heran melihat tingkah sahabatnya yang tiba-tiba saja menjadi sangat bersemangat sepulang dari masjid.
"Sini cepetan." Dewi menarik pergelangan tangan Tasya agar ikut keluar bersamanya ke depan toko.
"Ada apa sih?" Tasya semakin kebingungan melihat tingkah Dewi.
"Tasy, barusan aku lihat cowok ganteng ... banget."
"Hah? Di mana?"
"Di masjid lah."
"Hah? Kamu itu sebenarnya ke masjid buat cari pahala apa nyari cowok sih, Wi?"
"Ck, kamu ini. Liat dong, Tasy, cowoknya itu beneran ganteng banget. Mirip dokter Aditya Surya Pratama."
"Masa sih? Seriusan kamu? Mana orangnya?" tanya Tasya penasaran.
Jika sudah menyebut nama dokter tampan idolanya tersebut, tentu saja Tasya tidak akan pernah mau melewatkannya.
"Kita tunggu saja dia keluar dulu. Nah, nah, nah. Itu, itu tuh. Itu dia orangnya." Dewi menunjuk ke arah orang-orang yang baru saja keluar dari dalam masjid.
"Oh, maksud kamu yang pakai kemeja biru malam itu bukan?" tanya Tasya ingin memastikan.
"Iya bener, yang itu. Ya ampun, ganteng banget sih."
Astaga. Ternyata yang dimaksud Dewi itu kak Fathur rupanya. Batin Tasya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu namanya kak Fathur, anaknya om Rahman," jelas Tasya.
"Kamu kok bisa kenal?" tanya Dewi penasaran.
"Iyalah. Dia itu kakak sepupu aku. Sepupu jauh sih."
"Ah yang bener? Kalau gitu, kamu bisa gak ngenalin aku sama dia?" Dewi menatap Tasya sambil mengedip-ngedipkan kedua matanya sok imut.
"Iya. Nanti kalau dia datang lagi ke sini aku bakalan ngenalin kamu ke dia."
"Apa, Tasy? Dia pernah kesini. Kok aku gak pernah ngeliat."
"Iya, karena tadi dia datangnya pas kamu pergi ke masjid."
Sementara itu, Fathur berjalan menuju mobilnya. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, pemuda itu melihat ke arah Tasya dan Dewi yang sedang berdiri di depan toko. Pemuda itu pun melambaikan tangannya dan memberikan isyarat telepon menggunakan jari jempol dan kelingkingnya pada Tasya. Seolah-olah berkata, 'nanti aku telpon ya.'
Tasya yang bisa langsung mengerti dengan bahasa isyarat tersebut langsung menjawabnya dengan anggukkan sambil tersenyum lebar.
Berbeda dengan Tasya yang terlihat sangat senang, Dewi malah terlihat kebingungan menyaksikan hal tersebut.
Setelah melihat mobil Fathur melaju dan hilang dari pandangan mereka, kedua gadis itu pun kembali masuk ke dalam toko.
Dewi yang masih merasa sangat penasaran pun kembali bertanya pada Tasya. "Tadi dia beneran ada disini, Tasy?"
"I ... ya. Kamu kok nanya mulu sih dari tadi? Aku 'kan tadi udah bilang. Emang belum jelas, ya?" Tasya berlalu meninggalkan Dewi yang berdiri mematung di samping lemari toko.
Yah ... seandainya aku tau cowok ganteng itu mau datang, aku tadi lebih memilih shalat dzuhur di toko aja. Kan biar bisa cuci mata. Batinnya tidak bersemangat.
"Tasy. Tadi aku liat, dia ngasih isyarat telpon ke kamu, memangnya kamu punya nomor kontaknya?" Dewi kembali bertanya karena tingkat kekepoannya yang sangat tinggi.
"Gak, aku gak punya nomornya." Tasya menjawab dengan singkat.
"Lah, terus gimana caranya kalian kontek-kontekan?"
"Ya bisalah. Aku memang gak punya nomornya, tapi dia yang punya nomor aku."
"WHAT?!!" Dewi memekik sambil membelalakkan matanya tidak percaya.
Aku gak percaya ini. Aku pasti sedang bermimpi 'kan sekarang? Batin Dewi.
"Eh, biasa aja dong."
"Tasy, coba cubit tangan aku. Aku pasti sedang bermimpi, 'kan sekarang?" Dewi masih belum bisa percaya kalau sahabatnya itu bisa memberikan nomor ponselnya pada orang lain. Apalagi pada lawan jenis.
"Kamu ini bener-bener nyebelin ya, Wi. Kalau kamu gak percaya sama ucapan aku, buat apa coba kamu nanya sama aku dari tadi? Hah, buat apa?" Tasya merasa kesal sendiri pada Dewi.
"Gak, bukannya gitu, Tasy. Jangan marah dong. Aku 'kan cuma gak percaya aja cowok yang baru datang itu bisa langsung punya nomor kamu sedangkan kak Hendra yang udah lama ngejar kamu hingga detik ini dia bahkan gak pernah bisa dapetin nomor kamu, apalagi hati kamu."
"Udah ah, gak usah dibahas. Aku mau kerja. Tuh sana, ada pembeli yang datang, cepetan dilayanin." Tasya mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, iya."
Hm ... mencurigakan sekali. Mereka pasti ada apa-apanya. Batin Dewi.
...----------------...
Hendra sedang duduk di kantin sekolah sambil senyum-senyum sendiri. Ternyata pemuda itu sedang menatap foto-foto Tasya satu per satu di layar ponselnya.
Namun saat dia tengah fokus, tiba-tiba ada yang memegang pundaknya dari belakang. Karena terkejut, spontan saja Hendra mengunci layar telponnya.
Hendra mendongak, menatap siapa sebenarnya sosok yang memegang pundaknya itu dari belakang.
"Andi. Kamun bikin orang kaget saja."
Andi adalah teman kerja Hendra di sekolah. Mereka berdua sama-sama bekerja sebagai staf tata usaha.
Andi terkekeh melihat ekspresi terkejut Hendra.
"Liat apa sih? Serius amat," tanya Andi penasaran.
"Bukan apa-apa."
"Bukan apa-apa? Kalau begitu, aku boleh liat gak?" tanya Andi.
"Tidak boleh." Hendra menjawab dengan cepat lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Kalau beneran bukan apa-apa, terus kenapa aku gak boleh liat? Apa jangan-jangan tadi kamu lagi nonton video b*kep ya? Ayo ngaku," tuding Andi.
"Video b*kep kepalamu. Dasar otak mesum."
Andi tertawa lalu duduk di seberang meja Hendra. "Terus apa kalau bukan video gituan?"
"Bukan urusanmu," ketus Hendra.
"Loh loh loh, begitu saja kok marah. Ya udah deh, saya minta maaf, Tuan Hendra Gunawan yang terhormat," ucap Andi lalu kembali tertawa. Dia merasa lucu melihat tingkah rekan kerjanya itu.
"Bu! Saya pesan bakso satu sama es jeruk juga satu!" teriak Andi pada ibu Kantin.
"Pesan sesukamu, hari ini aku yang traktir," ujar Hendra.
"Serius?" tanya Andi yang dijawab anggukan oleh Hendra.
"Widih ... baik banget sih. Thanks ya Bro."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments