Beberapa hari kemudian.
Dewi meminta Tasya untuk menjaga toko sebentar karena gadis itu ingin pergi ke masjid untuk shalat dzuhur berjamaah. Biasanya saat masuk waktu shalat, mereka berdua shalat secara bergantian di dalam toko. Tapi karena hari ini Tasya sedang berhalangan, jadi Dewi memutuskan untuk shalat berjamaah di masjid saja. Kebetulan, letak masjid tepat berada di seberang jalan sekolah. Berjalan sebentar saja sudah sampai.
"Aku pergi dulu yah, Tasy!" teriak Dewi seraya berjalan keluar meninggalkan toko.
"Oke, sip!" Tasya mengacungkan kedua jempol tangannya ke arah Dewi.
Kini Tasya menjaga toko seorang diri. Gadis itu duduk di balik lemari etalase tempat barang jualan. Karena merasa bosan, Tasya pun membaringkan kepalanya di atas lemari yang terbuat dari kaca tersebut.
Tasya tidak menyadari kalau sedari tadi ada seseorang yang sedang memperhatikannya di dalam sebuan mobil berwarna putih yang terparkir di seberang jalan toko. Orang itu tersenyum tipis saat memandang gadis itu dari kejauhan.
Saat merasa keadaan sudah aman, orang itu pun memutuskan untuk keluar dari dalam mobilnya, lalu berjalan menghampiri gadis cantik berhijab yang saat itu sedang bertugas menjaga toko sendirian.
Kini orang itu sudah berdiri tepat di depan Tasya tapi Tasya belum juga menyadari keberadaan orang tersebut. Gadis itu masih hanyut dalam lamunannya sambil memainkan gantungan kunci berbentuk hati pemberian dari orang yang sangat spesial.
Orang itu tersenyum, lalu memutuskan untuk membuka suara. "Kenapa? Kangen ya sama yang ngasih?"
"Iya." Tasya menjawab dengan lirih hingga akhirnya dia pun tersadar. "Eh, aku bicara sama siapa?"
Tasya segera memperbaiki posisi duduknya begitu menyadari ada orang yang datang.
Tasya mendongak. Dia begitu terpesona melihat sosok pria tampan yang sedang berdiri tepat di hadapannya. Mulutnya ternganga dan lidahnya terasa keluh. Bak tersihir dengan pesona ketampanan pria tersebut, gadis itu sampai-sampai tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Apakah aku masih bermimpi? Ini persis seperti mimpiku tadi malam. Jika memang benar iya, aku harap, aku bisa tertidur lebih lama lagi. Gumamnya dalam hati.
"Kamu kenapa?" tanya orang itu sambil tersenyum melihat ekspresi Tasya yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan.
Tapi kenapa rasanya ini seperti benar-benar sedang terjadi? Apakah aku benar-benar tidak sedang bermimpi sekarang? Batinnya masih tidak percaya dengan apa yang dia saksikan di depan matanya saat ini.
Untuk memastikan dirinya tidak sedang bermimpi, Tasya lalu mencubit pipinya keras-keras.
"Auwh, aduh sakit. Ternyata bukan mimpi." Tasya mengusap pipinya yang kesakitan akibat ulahnya sendiri.
Pemuda itu tertawa melihat kelakuan Tasya. "Siapa yang bilang kalau kamu sedang bermimpi sih?"
"Ka-Kak Fathur," ucap Tasya terbata. Dia masih saja belum percaya dengan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya saat itu.
"Iya, memangnya kamu pikir siapa lagi?" ucap Fathur, seraya tersenyum.
Tasya merasa malu sendiri karena kelakuannya di hadapan Fathur. Gadis itu pun segera mempersilahkan pemuda tampan itu untuk duduk agar topik pembicaraan mereka bisa segera teralihkan.
"Silahkan duduk, Kak. Kapan, Kak Fathur pulang dari Kota Marakas?"
Fathur menarik kursi yang ada di sampingnya lalu duduk tepat di depan Tasya.
"3 Hari yang lalu," jawabnya santai.
"Oh." Tasya membulatkan bibirnya seraya mengangguk.
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" tanya Fathur.
"Sudah hampir 2 tahun, Kak."
"Oh, sudah lumayan lama juga rupanya."
"Iya, Kak. Semenjak saya lulus sekolah."
"Oh, kamu kenapa tidak kuliah?" tanya Fathur lagi.
"Sekarang ini saya masih nabung, Kak. Tapi rencananya sih tahun ini saya mau daftar kuliah di Universitas Prima," jelas Tasya.
Fathur mengangguk. "Oh, begitu ya."
Fathur tahu betul kalau Tasya hanya berasal dari keluarga sederhana dan tidak seberuntung dirinya dalam hal urusan keuangan.
"Oh iya, Kak Fathur tahu dari mana kalau saya bekerja disini?" tanya Tasya penasaran.
"Aku tahu dari bi Inah."
"Bi Inah? Kok bisa tahunya dari bibi Inah?" tanya Tasya. Dia semakin penasaran.
"Mm, itu ... kok bisa, ya? Aku juga tidak tahu kenapa bisa? Hehehe." Fathur menjawab sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Sebenarnya dia merasa malu mengakui kalau dia sendirilah yang berinisiatif menanyakan beberapa hal mengenai gadis itu pada ART di rumah orang tuanya.
Tasya mengernyitkan kening mendengar jawaban Fathur. Dia merasa bingung sekaligus kurang mengerti dengan ucapan pemuda itu.
Melihat raut kebingungan di wajah Tasya, kali ini Fathur yang memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Tasya, kamu punya nomor whatsapp?"
"Iya, Kak. Kenapa?"
"Apa boleh aku meminta nomor whatsapp kamu?"
"Boleh, boleh. Tentu saja boleh, Kak."
Andai itu laki-laki lain, Tasya pasti tidak akan pernah memberikan nomor ponselnya semudah itu. Tapi karena orang itu adalah Fathur, seorang pemuda yang sangat spesial yang sudah menetap di hatinya selama bertahun-tahun, Tasya pun langsung memberikannya tanpa ba bi bu.
Setelah menyimpan nomor Tasya, Fathur kembali memasukkan ponselnya kedalam saku celananya, kemudian pamit untuk pergi ke masjid untuk shalat zhuhur berjamaah.
"Aku ke masjid dulu ya."
"Iya, Kak. Silahkan!" seru Tasya.
"Oh iya, kapan-kapan aku boleh mampir kesini lagi 'kan?" tanya Fathur sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan toko.
"Tentu saja, Kak. Tempat ini selalu terbuka lebar untuk Kak Fathur. Untuk siapa pun malahan. Ini 'kan toko, Kak. Hehe."
Tasya terlihat sangat senang dan bersemangat sekali. Bertemu dengan laki-laki idamannya itu benar-benar menjadi mood booster yang bisa membuatnya sangat senang dan bahagia seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 243 Episodes
Comments
Bunda Af
bagaimana reaksi hendra ya...? karena rivalnya sudah balik kedesa
2021-11-24
1