Secercah sinar matahari masuk ke dalam matanya, perlahan matanya terbuka, dia bergumam "Ayah.. ibu.." kedua orang tuanya memandangnya dengan sedih, tangan ayahnya menggenggam erat tangannya "Oh syukurlah kamu sudah sadar" suaranya terdengar berbeda, Mar melihat wajah kedua orang tuanya namun belum berselang lama wajah keduanya memudar. Perlahan air matanya jatuh, dia sangat kesal karena kedua matanya dia tidak bisa melihat kedua orang tuanya. Dia memukuli kedua matanya berharap kedua matanya berfungsi seperti orang normal, tapi tetap saja warna buram itu masih berkutat disana, merasa tidak ada harapan dia terduduk lemas. Georgie muncul di hadapannya, dia mengulurkan tangannya "Aku harus menyelamatkanmu, bertahanlah" Mar mengangguk, hatinya berkata bahwa dia harus mempercayai perkataan pria ini, akhirnya tanpa ragu dia meraih tangannya.
"Aku pikir kau akan mati, lega rasanya setelah melihatmu terbangun" perlahan matanya terbuka, Mar menoleh ke samping dan menemukan sumber suara yang membuatnya kembali bangkit dari kematian.
Georgie mengambil ponselnya Mar, dia memasukkan nomor ponselnya setelah itu dia mengembalikannya padanya "Jika ada bahaya panggil aku, ini nomer ponselku, simpan baik-baik oke? aku harus pergi sekarang, sampai jumpa" ini seperti salam perpisahan, jadi begitu.. tapi akankah kita bertemu lagi? suara itu menghilang dalam sekejap, meski begitu Mar berharap mereka dapat bertemu kembali. Tiba-tiba terdengar suara pintu baru saja tertutup, apa dia baru saja mendengar bisikan ini?? kemudian suara pintu terbuka kembali, dia berharap pria itu kembali dan ada sesuatu di benaknya yang ingin dia tanyakan padanya, tapi rupanya bukan dia, melainkan keluarganya yang datang.
Mar memeriksa setiap bagian tubuhnya, dia terkejut karena tidak ada satu pun luka di tubuhnya. Tapi saat dia melihat ponselnya, dia menemukan setetes darah menempel di layar ponselnya, dia menduga darah itu milik Georgie. Dia segera keluar dari kamar, dia mencari-cari keberadaannya di lorong namun dia tidak menemukannya.
Andrew menyusul Mar, dia bergegas keluar dari kamar, dia melihat Mar yang nampak khawatir. Dia memegang pundaknya "Ada apa dik?" Mar menoleh, dia melihat wajah Andrew yang bingung dengan sikapnya "Tidak apa-apa, hanya ingin buang angin saja" Mar terkekeh.
"Kan nggak mungkin kalau aku buang angin di dalam kamar, apalagi di dalam ada ayah dan ibu. Aku takut mereka akan pingsan hahaha" ujarnya.
"Apa benar seperti itu?" Andrew masih curiga, kakaknya tidak percaya padanya, memang ucapannya tidak masuk akal, tapi Mar kembali menutupinya lagi.
"Ya, itu benar. Jika kakak tidak percaya, tenang kak aku masih menyimpan banyak angin di perutku"
Andrew mengoloknya "Jorok sekali, terima kasih tapi aku nggak mau" kemudian Mar mengulurkan tangannya pada Andrew, Andrew langsung masuk ke dalam kamarnya Mar sambil menutup hidungnya.
Mar tertawa terbahak-bahak mendengar reaksi Andrew, setelah itu dia menyusul Andrew masuk ke dalam kamarnya. Saat sampai di dalam kamar, ayah dan ibunya menghampirinya "Kenapa tiba-tiba lari keluar?" Mar menggelengkan kepalanya, dia tersenyum "Tidak apa-apa, cuma mau menghirup udara luar saja" ucapnya.
"Ibu bawakan makanan kesukaanmu, jadi menu hari ini menu spesial, tebak apa makanannya?!" seperti biasa ibunya mengajaknya bermain, Mar, Andrew dan ayah melihat ibunya sambil tersenyum. Sesaat kemudian Mar melupakan apa yang dipikirkannya tadi.
...🦋🦋🦋🦋🦋...
Hagar menyipitkan matanya, dia tidak percaya pada ucapan Fera. Dia menyanggahnya "Tidak, tidak mungkin dia menjadi seperti itu. Aku melihatnya sendiri kalau dia itu waras"
"Dia menyerangnya, termasuk Georgie. Darahnya keluar banyak, dan aku lihat kemarin wajahnya sangat pucat. Aku pikir dia kehabisan banyak darah" bisik Fera.
Tiga hari kemudian, Mar sudah keluar dari rumah sakit. Dia kembali berangkat ke kafe pagi ini, bersama dengan Andrew. Dia sedikit tidak percaya diri setelah insiden itu, tapi berkat dorongan dan dukungan keluarganya dia bisa kembali beraktivitas seperti biasa.
"Aku kasihan padanya, apa kamu nggak mau menjenguknya?"
Mar masuk ke dalam kafe, dia mendengar Fera yang lagi berbicara dengan temannya "Selamat pagi" dia menyapa sambil tersenyum.
"Oh selamat pagi Mar" Fera mengamatinya dari bawah sampai atas, Mar berbisik "Apa ada sesuatu di wajahku?"
"Ah tidak, tidak ada apapun. Apa sudah tidak sakit? maksudku apa lukamu sudah sembuh?" Fera memiliki sifat keibuan, dia selalu khawatir dengan kesehatan para karyawannya. Terutama disaat musim hujan dan musim semi, banyak sekali pelanggan yang berdatangan jadi karyawannya harus bekerja lebih ekstra daripada hari biasanya. Mar menghargai perhatiannya, dia tersenyum "Lihat sekarang sudah tidak sakit lagi" dia memukul di area lukanya lalu kembali melihat Fera.
"Ya kan, lihat dia baik-baik saja. Kenapa khawatir sekali sih, dia itu nggak papa. Wah aku bosan sekali, jadi sekarang pikirin aja gimana caranya menghiburku, oke?" ucap Georgie. Dia muncul dari balik punggungnya Fera, dia memegang kedua bahunya sambil tersenyum menatapnya.
"Apaan lagi sih, aku dari tadi sudah mikir kalau nggak percaya tanya aja tuh sama Hagar. Aku lupa, jangan dekati dia dulu karena dia sensitif sekali sekarang" Fera berbisik pada Georgie, Mar tersenyum mendengar ucapan Fera, dia akan pergi ke dalam tapi Fera menghadangnya "Mar, dia ingin berbicara denganmu"
"Siapa?," tanyanya, bola matanya Fera bergerak ke arah Georgie. Mar mengangguk paham, setelah itu Fera meninggalkan mereka berdua. Mar menunggu Georgie, tapi tidak ada suara darinya "Apa yang ingin kamu katakan?" Georgie mendekatinya, dia berbisik di telinganya "Malam ini luangkan waktumu untukku".
"Aku sibuk, tidak ada waktu luang malam ini"
"Bohong, aku tau malam ini kamu bisa menemaniku," Georgie tiba-tiba menggenggam tangannya "ada acara pernikahan temanku, syarat buat masuk kesana harus bawa pasangan, jadi maukah kamu jadi pasanganku?"
"Jam 7 aku akan menjemputmu, oke?"
"Aku tidak berjanji untuk bisa datang" ucapnya, dia pergi ke dalam dapur.
Dari kejauhan Mar mendengar Lusi berbicara dengan Fera, dia merasa ada yang sedang mengawasinya, sepertinya salah satu dari mereka berdua. Mar menghiraukannya, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Beberapa menit setelahnya suara dari mereka tidak terdengar lagi, alisnya terangkat Mar terkekeh sepertinya mereka lelah berbicara tentangnya. Fera menepuk kedua pundaknya dari belakang "Mau ikut ke rumahnya Hagar? ikut ya? Lusi juga ikut kok, ada aku juga" tawarnya.
Mar menganggukkan kepalanya "Oke, aku ikut"
"Sudah kuduga, kamu pasti akan ikut"
Setelah kedai ditutup, Mar bersama dengan Lusi dan Fera keluar dari kedai. Setelah mereka didepan mobil, Fera mengambil beberapa bingkisan lalu memberikannya pada Mar.
"Warna kesukaanmu biru kan?" Mar mengangguk, "Pakailah ini, aku yakin dress ini sangat cocok untukmu."
"Kamu tau dari Andrew?" tanyanya.
"Ya, dia sering kali bercerita tentangmu dan berkat dirinya aku jadi tau warna kesukaanmu" Fera tertawa, sedangkan Mar terdiam entah mengapa hatinya gelisah "Dia tidak membuatmu repot kan, maksudku karena dia sering bercerita tentangku aku pikir dia merepotkan mu"
"Tidak, setidaknya dia tidak membuatku marah. Justru lebih baik dia berbicara tentangmu daripada mantan pacarnya, aku paling benci jika dia membahas tentang mantannya" Fera menoleh ke belakang, "Hei kita sudah sampai"
Mar meraba-raba sekelilingnya "Sepertinya Lusi tertidur" Fera terkekeh geli, "lihat siapa yang membuat kesal sekarang"
"Fera?? dan siapa di sampingmu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments