"Di mana kamu melihatku?" tanya Sara.
"Di sini."
Sara tercengang, "Aku baru datang kemarin, kapan aku kamu melihatku."
"Tadi, saat aku berada di speedboat," jawab Saka sembari tertawa.
Sara berdecak, "Apaan, sih? Candaan kamu garing."
Sara menghentakkan kaki, lalu berjalan meninggalkan Saka, tetapi laki-laki itu menahan lengannya. Sara menepis tangan Saka.
"Jangan pegang-pegang!"
"Galak amat, Nona cantik," ucap Saka tersenyum.
Apa dia mencoba menggodaku dengan senyumnya itu? Sara bersedekap tangan di perut. "Mau kamu apa?"
"Aku pernah lihat kamu di iklan TV. Kamu bintang iklan, kan?" kata Saka.
Sara mengibaskan rambut panjangnya. "Aku ini model. Kamu mau foto denganku? Jangan mimpi!"
Saka tidak dapat menahan gelak tawanya. "Aku." Pria itu menunjuk wajahnya sendiri. "Minta foto? Enggak, ah. Nanti jadi skandal lagi. Aku tahu gosip tentangmu."
"Kamu tinggal di pulau tahu tentang aku?" tanya Sara tercengang.
"Aku punya ponsel. Apanya yang tidak tahu?"
"Signal di sini bagus?" kata Sara.
"Lebih dari bagus, dalam arti tidak ada sama sekali," sahut Saka.
"Apa! Apa aku benar-benar berada di wilayah pedalaman?" Sara mengepalkan tangan kesal. Indra membawanya ke tempat ia tidak bisa mendapat informasi dari luar ataupun bertukar kabar.
"Tenang, kita bisa pergi ke pulau Lemukutan. Di sana ada signal ponsel. Tenang saja, duniamu tidak akan berakhir," ucap Saka. "Aku baru saja dari kota dan mengetahui beritamu yang lagi viral."
"Oi, Saka. Ajakke Neng Sara makan dolok," teriak Minah dari rumah. (Saka, ajak Sara makan dulu)
"Aok, kamek nyusul," jawab Saka. (Oke, kami menyusul)
Saka tersenyum, "Kita makan dulu, yuk. Kebetulan aku sangat lapar."
Sara mengangguk mengiyakan perkataan Saka, lalu keduanya berjalan menuju rumah. Lagi-lagi hidangan yang disediakan Minah hanya ikan goreng. Kali ini tidak ada sayur, melainkan mie instant rasa ayam bawang sebagai kuah.
"Ayo makan," kata Saka yang melihat Sara seperti enggan untuk makan.
Sara mengangguk, "Iya, aku akan makan."
"Saka, Ibu nak balik dolok. Kau kawannek si Sara, ye. Usah nak macam-macam kau ngan cewek urang," ucap Minah. (Ibu pulang dulu. Temani Sara dan jangan ganggu pacar orang)
"Aok, Buk. Nak ngape be nak macam-macam ngan anak urang," ucap Saka. (Oke, Saka tidak akan menganggu)
"Nak, Sara. Ibu pulang dulu. Saka sudah datang dan akan menemanimu."
"Iya," jawab Sara.
Saka memandang Sara lekat. "Jangan takut. Aku tidak akan macam-macam. Ibu Minah akan datang seminggu sekali, tetapi anaknya akan setiap hari kemari jika ada pengunjung yang datang."
"Di mana rumahnya?"
"Di belakang pulau ini. Pulau Lemukutan. Kapan-kapan kita ke sana," kata Saka.
Sebuah deringan ponsel berbunyi. Sara mengerutkan kening, lalu mengambil ponsel dari saku celananya.
"Kamu bilang di sini tidak ada signal, ini kenapa bisa berbunyi?" Sara menunjukan ponselnya yang berdering.
Saka tertawa, "Yang bilang tidak ada siapa?"
"Kamu!" Sara bangun dari duduknya, lalu memukul lengan Saka.
"Sudah, hentikan. Aku hanya mengerjaimu. Wajahmu itu, seperti ketakutan tinggal di pulau ini."
"Aku harus sembunyi dulu. Setelah kekasihku menceraikan istrinya, kami akan menikah."
"Dari pada bersama suami orang, lebih baik bersamaku," ucap Saka dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Ogah! Aku angkat panggilan telepon dulu dari temanku."
Sara menuju pendopo untuk mengangkat panggilan video dari sahabatnya Dini.
"Hai!" ucap Sara.
"Gambarmu tidak jelas, putus-putus."
"Pakai telepon biasa saja kalau begitu," kata Sara yang langsung memutus sambungan videonya, lalu beralih memakai telepon biasa.
"Kamu di mana?" ~ Dini.
"Aku berada di pulau Randayan."
"Pulau apa itu? Baru dengar." ~ Dini.
"Di provinsi Kalimantan Barat. Kamu lihat saja di pencarian. Pasti ketemu. Aku akan kirimkan foto-fotoku di sini. Tempatnya sangat indah dan aku ingin mencoba snorkeling di sini."
"Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja." ~ Dini.
"Tenang saja. Aku baik, kok. Terima kasih sudah mengkhawatirkan diriku."
Kedua sahabat itu berbincang-bincang. Saka yang kebetulan sudah selesai makan, menghampiri Sara yang duduk di pendopo.
Sara melirik Saka dan ia merasa tidak nyaman berbicara di depan pria itu. Sara segera memutus sambungan teleponnya, dan berhasil membuat Dini di seberang lautan sana kesal karena masing ingin mengobrol bersama sahabatnya.
"Kamu kenapa, sih, di sini?" tanya Sara, "ganggu saja."
"Memangnya kenapa? Ini pendopo bukan milikmu."
Sara mendengus, lalu beralih menatap pemandangan laut yang terbentang luas dengan sinar mentari yang bersinar terang.
"Dulu aku punya keinginan hidup seperti ini. Hidup di tepi pantai, punya rumah kayu, istri cantik dan seorang anak yang lucu. Setiap pagi istriku akan menyambut kepulanganku dari laut. Di sana." Saka menunjuk batang pohon kelapa. "Aku akan menjadikan batang pohon itu sebagai tiang ayunan sebagai permainan untuk anakku." Saka menghela," Rasanya sungguh menyenangkan. Terbebas dari hiruk pikuk kota."
Sara tertawa mendengar keinginan Saka. "Kamu ingin hidup seperti itu? Yang benar saja. Jauh dari mall, makan, makanan enak. Di sini apa yang dilihat? Paling hanya lautan saja."
"Karena kamu belum tahu hidup yang sesungguhnya. Kekayaan, ketenaran tidak menjamin hidupmu bahagia."
Sara terdiam mendengarnya. Ia sudah mendapat kekayaan dan juga ketenaran, tetapi untuk bahagia ia tidak memilikinya.
Kekasih yang ia cintai seakan mempermainkannya. Selama dua tahun, Sara hanya menunggu tanpa kepastian yang jelas.
"Apa tujuanmu sudah tercapai?" tanya Sara.
"Aku sudah tinggal di sini."
"Maksudku istri dan anak. Apa kamu memilikinya?"
"Kalau aku punya, mereka pasti di sini. Aku masih jomlo dan tidak berniat menjalin hubungan," kata Saka.
Sara tergelak, "Bagaimana bisa kamu mewujudkan keinginanmu kalau begitu?"
"Kan, yang aku katakan dulu, bukan sekarang."
"Dasar!" ucap Sara pelan.
"Apa?"
"Tidak ... aku hanya bilang ingin bermain di pantai."
Suara kapal motor terdengar. Suara bising itu berhenti di jembatan. Sekitar tiga orang pria dan dua orang wanita naik ke atas jembatan. Pengelola pulau datang menjemput mereka yang datang berlibur.
"Setidaknya pengunjung itu akan bermalam tiga malam di sini," kata Saka.
"Mereka menginap di mana?"
"Ya ampun! Di vila, dong. Kan, di sini ada lima vila."
Sara menggaruk kepalanya. "Kita jalan-jalan, yuk! Sekalian aku minta foto."
"Dasar artis. Kerjaannya foto melulu."
Saka membawa Sara menikmati bebatuan. Sara heran melihat batu berwarna putih dengan pori-pori di sekitarnya.
"Ini batu apa?"
"Batu karang," jawab Saka.
"Bukannya batu karang ada di dalam laut? Ini, kok, ditepi pantai. Warnanya putih semua."
"Aku juga enggak tahu namanya apa. Tapi orang sini menyebutnya batu karang. Lihat di sana." Saka menunjukkan batu besar berwarna coklat ciri khas pantai. "Di sana batunya berwarna hitam, coklat, oren."
"Unik sekali," kata Sara. "Foto aku di bebatuan putih ini."
Bersambung
Dukung Author dengan vote, koment dan jangan lupa masukkin bukunya ke list bacaan kamu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Dwi Rahayuni
suka
2024-05-20
0
Fitri Talib Jelani
Suka thor bhs daerahnya hampir sama dengan bhs daerahku Belitung
2022-12-04
1
Jasmine
Saka lgsg cpt akrab ya
2022-08-15
0