Bab 12
Beberapa hari kemudian, setelah pertemuan dengan guru matematika.
"Andro, kami punya kejutan untukmu," ucap Flo.
"Kejutan?" Tanyanya penasaran.
"Esok sore datanglah kembali ke taman ini," ucapnya.
Sore harinya Andro kembali ke taman itu. Ia telah cukup lama menunggu namun Flo belum juga terlihat. Andro memilih duduk di sebuah bangku taman. Sejenak kemudian seseorang menepuk pundaknya.
"Kau sudah lama menunggu?" Tanya Flo.
"Aku baru beberapa menit yang lalu sampai di tempat ini."
"Kau datang sendirian?"
"Kami datang bersama-sama." Ucap pria berkacamata itu. Ia muncul dari balik pohon besar. Di belakangnya tampak beberapa anak seusianya. Sebagian lagi lebih besar. Dengan wajah ceria mereka bergantian menyapa Andromeda.
"Hai, Andro," sapa mereka ramah.
"Hey, nice to meet you all," ucapnya dengan mata berbinar. Ini pertama kali dalam hidupnya, berkumpul dengan anak seusianya dalam jumlah banyak. Andro menyalami mereka satu per satu.
"Andro, mulai hari ini kau akan memiliki banyak teman. Dan kau bisa belajar bersama teman-teman sebayamu, tiap sore, di taman ini," ucap guru matematika yang murah senyum itu.
"Sungguh?" Tanya Andro. Raut kebahagiaan terpancar di wajahnya. Selama ini Andro tak memiliki teman. Ia tampak begitu bahagia bertemu dengan banyak kawan baru dan bisa belajar bersama mereka.
*****
"You looks very happy today. Just tell me what happened, my dear," ucap sang ibu.
"I have a lot of friends now!" Serunya dengan mata berbinar.
"Who are they?"
"They are Florencia and her friends and her teacher,"
"Siapa Florencia? Sepertinya aku baru mendengarnya."
"She is my new friend."
"Di mana kau mengenalnya?"
"Ceritanya panjang. Namun yang jelas ia adalah gadis yang baik." Jawab Andro sambil tersenyum.
"Lalu, siapa teman baru yang kau bilang banyak itu?"
"Mereka teman sekolah Florencia."
Aurora menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. "Teman sekolah? Maksudmu…?"
"Flo mengenalkanku pada salah seorang gurunya. Tanpa kuduga, sore ini pak Mike datang untuk mengenalkanku pada murid-murid sekolahnya. Bahkan di taman itu aku bisa ikut belajar bersama mereka."
"That's a great news!" Seru sang ibu. Raut bahagia terpancar di wajahnya.
Andromeda pun memeluk sang ibu dengan penuh kebahagiaan.
****
Di kantor Gibran.
Gibran tengah berdiri di dekat jendela ruangannya. Matanya memandang ke arah langit yang tak begitu cerah pagi itu.
Tiba-tiba bayangan Aurora melintas. Pria itu merasa bersalah atas perlakuannya pada Aurora. Ia merasa telah menjadi seorang pengecut hanya untuk mengelak dari kesalahan yang pernah diperbuatnya. Pria itu menghela napas.
"Maafkan aku, Aurora," ucapnya lirih.
Suara ketukan pintu sedikit mengagetkannya. Cindy, sekretaris pribadinya memasuki ruang kerjanya.
"Permisi, ada seorang tamu pria yang ingin bertemu denganmu," ucapnya.
"Apa dia salah satu klienku? Hari ini aku tak memiliki jadwal bertemu mereka."
"Bukan, pak. Pria itu mengatakan jika ia adalah saudaramu."
"Saudara?" Tanyanya. Gibran tampak berpikir keras.
"Suruh pria itu masuk ke ruanganku sekarang."
Beberapa saat kemudian Cindy kembali ke ruangan Gibran bersama seorang pria.
"Gibran William Alvaro," ucap pria itu.
Gibran pun membalikkan badannya. Ia begitu terkejut melihat tamu pria tersebut.
"Ke...ke...Keenan? Kau?" Tanyanya.
"Ya. Ini aku Keenan Alvaro yang terbuang dari keluargamu."
"Bagaimana kau tahu kantorku?"
"Kau pikir sesulit itu untuk menemukan dimana kantormu. Tuan Gibran yang terhormat?"
"Kemana saja kau selama ini?" Tanya Gibran.
Keenan duduk di sofa. Ia menyilangkan kakinya. "Sejak kapan kau peduli denganku? Bukankah keluarga besarmu telah membuangku? Kau kaget? Tenyata aku masih hidup?" Tanyanya sinis.
"Waktu itu ayah mencarimu. Namun, pihak panti mengatakan jika kau telah diadopsi oleh sepasang suami istri. Meski ayah terus meminta informasi tentang orang tua barumu, namun mereka enggan memberikan keterangan apapun."
"Mencariku? Lalu, mengapa ayah tak bisa menolak permintaan nenek ketika aku dibuang ke panti asuhan itu? Kurasa kalian benar-benar telah menganggapku seperti sampah."
"Beberapa bulan setelah kau dibawa ke panti asuhan itu, nenek meninggal. Dan ayah menjadi sering sakit-sakitan. Perlu kau tahu, ayah juga menyayangimu. Ia berniat menjemputmu untuk tinggal bersama kami. Namun ayah justru tak bisa menemuimu lagi hingga ajalnya tiba."
"Ayah juga telah…?" Keenan tak melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca.
"Kau benar. Ayah kita telah meninggal dunia." Ucap Gibran dengan nada sedih.
"Mengapa kau tiba-tiba menemuiku?" Tanya Gibran. Ia menyodorkan sebungkus rokok namun Keenan menolaknya.
"Kau mengenal Aurora?" Tanyanya.
Gibran kaget mendengar Keenan menyebut nama perempuan itu. Wajahnya tiba-tiba menegang.
"Mengapa kau terlihat panik?" Tanya Keenan penuh selidik.
"Jika kau menemuiku hanya untuk membahas perempuan itu, aku tak punya banyak waktu."
"Kau menyembunyikan sesuatu?"
"Sekali lagi kau sebut nama itu, aku akan menyuruh satpam untuk mengusirmu!"
"Jika kubilang kau telah membuat mantan kekasihku itu menangis, apa kau akan tetap mengusirku dari hadapanmu?"
"Mantan kekasih?" Tanya Gibran.
"Aku mendengar seluruh percakapan kalian di taman."
"Kau menguping pembicaraan kami?"
"Sore itu kebetulan aku melintasi taman. Dari kejauhan aku melihatnya seperti tengah menunggu seseorang. Awalnya aku mengawasi dari dalam mobilku. Namun saat aku tahu dia menemuimu. Aku pun turun dari mobilku. Dari belakang pohon besar aku bisa dengan jelas mendengar percakapan kalian. Kau tahu, aku mengenal Aurora jauh sebelum kau. Bahkan, aku sering bertemu dengan Andromeda, anak kandungnya.
"Andromeda?" Sekali lagi Gibran terkejut saat Keenan kembali menyebut sebuah nama yang tak asing baginya.
"Andromeda, anak itu…?"
"Ya. Anak Genius itu anak kandung Aurora. Mantan kekasihku."
"Bagaimana kau tahu?"
"Tentu saja aku tahu. Aku mendengar pengakuan langsung dari Andro."
"Mantan kekasihmu itu sudah menikah. Lantas, mengapa kau masih mencampuri urusannya?"
"Kau memang laki-laki pengecut!" Seru Keenan dengan nada tinggi.
"Jaga bicaramu, Tuan Keenan Alvaro!" Gibran mendekatkan wajahnya ke arah Keenan.
"Lalu julukan apa yang tepat bagi seorang pria yang tega meninggalkan seorang perempuan menangis seorang diri?"
"Kau…?"
"Setelah kau dan Nadine pergi meninggalkannya, aku menghampiri Aurora. Aku pun mengantarnya pulang. Andai saja kau tahu betapa hancur hatinya saat itu."
"Kau bahkan tahu nama perempuan yang bersamaku?"
"Nadine adalah salah satu kawan kuliahku. Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya di cafe. Aku melihatmu menjemputnya."
"Rupanya mantan kekasihmu itu tak berbohong."
"Apa maksudmu?"
"Di malam itu, ia mendatangi apartemenmu. Namun saat di depan pintu kamarmu. Ia melihatmu keluar dari kamar bersama Nadine."
Ucapan Gibran begitu mengejutkan Keenan.
"Itulah alasannya mengapa ia memintamu mengakhiri hubungan dengannya." Jelas Gibran.
Keenan terduduk lemas di sofa. Ia menyesali pertemuannya dengan Nadine malam itu. Tanpa sepengetahuannya Aurora melihat Nadine bersamanya. Dan hal itulah penyebab Aurora menjauhinya.
"Lalu?" Tanya Keenan.
"Apa maksudmu?"
"Apa yang terjadi setelah itu?"
"Kau mencoba menyudutkanku?" Tanya Gibran.
"Kau ingin menyangkal untuk yang kedua kalinya, Tuan Gibran William Alvaro yang terhormat."
"Sepertinya kau memang cocok dengan perempuan itu. Menuduh tanpa bukti. Apakah kalian memang sudah merencanakan sandiwara ini?" Tanya Gibran.
"Sandiwara, katamu? Aku tanya padamu sekali lagi. Apakah malam itu kau bertemu dengan Aurora di bar?"
"Kau jangan asal bicara, tuan!" Ancamnya. Meskipun Gibran merasa sangat terpojok.
"Katakan, atau kau akan berurusan dengan polisi!" Bentakan Keenan sontak membuat Gibran merasa cemas.
"Atas pasal apa kau mempolisikan diriku?"
"Pemerkosaan!" Seru Keenan. Pria itu bahkan mulai mencengkram kerah baju saudara tirinya tersebut. Gibran pun tak mampu lagi menyembunyikan ketakutannya.
"Lepaskan atau aku sendiri yang akan mengusirmu!"
"Lakukan saja. Jika kau ingin semua orang di kantor ini mendengar kenyataan seperti apa pimpinan mereka!" Keenan semakin kuat mencengkram kerah baju Gibran hingga pria itu merasa tercekik.
"Aku mengaku! Aku bertemu dengannya malam itu. Aurora terlihat sangat kacau. Aku mengajaknya minum. Pada akhirnya kami mabuk. Ia pun memintaku untuk mengantarkannya pulang. Namun di tengah jalan ia justru pingsan. Aku panik. Lalu aku menyewa sebuah kamar di motel. Dan di kamar itu aku berbuat khilaf. Aku menggagahi tubuhnya dalam keadaan pingsan."
"Kurang ajar!" Seru Keenan. Hantaman keras itu tepat mengenai rahang Gibran. Darah segar pun mengalir dari dalam mulutnya.
"Mengapa kau menyangkal perbuatanmu pada Aurora?" Tanya Keenan.
"Aku tak ingin pertunanganku batal. Aku terpaksa menuduhnya berbohong untuk menutupi kebohonganku." Jawab Gibran.
"Pengecut!" Kali ini hantaman keras itu mengenai pelipisnya. Keenan mengatur nafasnya. Ia ingin segera keluar dari ruangan itu.
"Persetan dengan pertunanganmu! Aku hanya ingin kau mengakui perbuatanmu di depan kedua perempuan itu!
"Aku tak mungkin mengatakannya di depan calon tunanganku." Ucap Gibran.
"Kau pikir, setelah Aurora membatalkan pertunangan kami, aku merasa baik-baik saja? Bahkan sampai detik ini aku belum mampu melupakannya. Terlalu sulit bagiku membuka hati untuk perempuan lain." Ucap Keenan. Kesedihan tampak di matanya.
"Aku telah berkata jujur. Lantas, apa maumu sekarang?" Tanya Gibran.
"Kau bukan anak kecil lagi. Kurasa kau mengerti apa maksudku!" Serunya.
Keenan membuka pintu kemudian membantingnya dengan keras. Di ruang kerja pegawai, tampak beberapa tengah berkerumun dan saling berbisik. Keenan merasa mereka melirik ke arahnya. Rupanya pertengkaran antara kedua saudara tersebut terdengar hingga ke luar ruangan. Keenan menatap mereka sekejap. Sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan kantor saudara tirinya tersebut.
Sementara di dalam ruangannya Gibran masih merasa kesakitan setelah menerima dua kali bogem mentah darinya.
To be continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Sidiq Gntng
gibran ceman
2021-11-15
0
eLzo
segitiga sama kaki 🙃
2021-10-25
1
Faeyza
Gibran kenapa pengecut banget sih...😒😒
2021-10-19
3