Langkah kaki Aruna terhenti saat melihat seorang pria yang tengah menatapnya seraya membawa buket bunga berukuran sedang. "Hai," sapa pria itu.
Aruna menengok ke belakang, namun tidak ada seorangpun selain dirinya dan pria itu. "Lo ngomong sama gue?" tanyanya heran.
Pria itu tersenyum seraya berjalan menghampiri Aruna. Gadis itu memundurkan langkahnya setiap kali langkah pria itu maju. "Lo yang marah-marah di kantin karena nabrak gue kan?" Aruna mengingat jelas kalau Alex beberapa waktu lalu memarahinya, padahal pria itu yang menabraknya.
"Iya gue salah, gue minta maaf ya," ucap Axel lembut.
Aruna mengernyitkan keningnya. Ia merasa heran dengan sikap Axel yang berubah. "Lupain aja, udah lama juga," ucap Aruna.
"Buat lo," Axel memberikan buket bunga tersebut pada Aruna. Gadis itu semakin merasa ada yang janggal dengan Axel.
"Gue nggak suka bunga," tolak Aruna halus.
"Lo sukanya apa? Gue?" ucap Axel dengan kepercayaan yang sangat tinggi.
Aruna mematung, mulutnya hampir terbuka sempurna saat mendengar ucapan konyol yang keluar dari mulut Axel.
Aruna menggeleng heran, ia segera berjalan meninggalkan Axel tanpa mengucap satu kata pun.
Axel tersenyum miring saat melihat Aruna yang perlahan menjauh darinya. "Semakin susah digapai, semakin tertantang buat ngerusak."
*****
Axel menemui Laura yang sudah menunggunya sejak tadi di belakang kantin.
"Gimana? Udah kepancing?" tanya Laura.
Axel tersenyum, lalu menepuk bahu gadis itu pelan. "Pantes Aryasa ngedeketin tuh cewek, levelnya lebih tinggi dari lo," ucapnya.
"Tuh cewek mahal banget, beda sama lo," tambah Axel.
"Lo nggak usah banyak omong, lo harus ngejalanin semuanya sesuai dengan yang udah kita atur," ucap Laura dengan sedikit nada tinggi, mengingat beberapa waktu lalu ia dan Axel berencana untuk menghancurkan hidup Aruna.
"Tenang aja, semua akan berjalan sesuai permainan," ucap Axel.
Seseorang mendengarkan ucapan mereka berdua dari balik dinding yang berada tidak jauh dari mereka. Gadis itu nampak sedikit terkejut, bahkan ia tidak menyangka kalau Laura akan melibatkan Axel dalam hal ini.
"Gue yakin pasti rencana Laura kali ini nggak main-main," ucap Ezlin.
Ezlin merasa bingung apa yang harus ia lakukan, karena Laura akan melakukan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan, tidak peduli hal itu merugikan orang lain atau tidak. "Apa gue bilang aja ya sama Aryasa? Tapi jangan deh, kalau gue bilang ke dia bisa gawat semuanya, kalau nggak bilang nasib tuh cewek bakal gimana ya ke depannya?"
*****
Aryasa dan teman-temannya berkumpul di belakang sekolah saat bolos jam pelajaran matematika.
Nio dan Qausar asyik merokok, sedangkan Aryasa termenung dalam lamunannya.
Qausar melempar bungkus rokok ke arah Aryasa. "Wey! Jangan bengong mulu. Kemaren ayam tetangga mati gara-gara kebanyakan bengong," ucapnya asal.
"Bangsat!"
"Mikirin apaan sih lo? Kayaknya akhir-akhir ini juga lo banyak berubah?" tanya Nio.
Qausar terkekeh pelan, "Jangan bilang lo mikirin si tengil? Suka lo ya sama dia?" goda Qausar.
Aryasa mendengus, lalu kembali melemparkan bungkus rokok tersebut ke arah Qausar. "Suka? Nggak lah."
Nio dan Qausar terkekeh, mereka sangat hapal dengan Aryasa yang sangat menjunjung tinggi gengsinya.
"Tinggal jujur aja kalau lo suka sama si tengil aja susah banget sih. Padahal kita dukung kan?" ucap Nio seraya melemparkan pandangan jahilnya pada Qausar.
"Dukung banget," timpal Qausar.
"Lo cocok tau sama tengil," ucap Nio tertawa, ia sangat senang melihat ekspresi Aryasa saat digoda.
"Dia bukan type gue."
"Type lo yang kayak gimana sih? Putih? Langsing? Kayak bihun rebus? Cewek kayak Laura aja lo anggurin," ucap Qausar.
"Berarti tengil boleh buat gue nih?" ucap Satria setelah beberapa menit lalu hanya asyik dengan ponselnya.
Aryasa menoleh, melihat Satria dengan tatapan sinis. "Suka lo sama dia?" tanya Aryasa dengan sedikit nada tinggi.
"Suka."
Nio dan Qausar saling melempar pandangan satu sama lain, lalu berbisik. "Wih, seru nih kayaknya bakal ada perang," bisik Nio.
"Perang dingin," bisik Qausar.
Aryasa mendengus, entah kenapa ia jadi emosi saat mendengar ucapan Satria, apalagi ucapan itu keluar dari mulut Satria sendiri.
"Boleh kan tengil buat gue?" tanya Satria lagi.
Aryasa mendecak. "Ambil aja, ngapain minta persetujuan gue," ucapnya sinis.
"Beneran boleh? Nanti lo kayak kemaren lagi, datang-datang ngerusak semuanya," ucap Satria mengingat kejadian kemarin di perpustakaan.
"What? Perasaan gue dua puluh empat jam napas tapi nggak tau apa-apa?" bingung Qausar.
"Spill woy," ucap Nio.
"Tanyain aja langsung sama Aryasa," ucap Satria seraya menaikkan satu alisnya.
Kring...!
Bel istirahat berbunyi dengan nyaring. Aryasa menghela napasnya, waktu yang tepat untuk menghindar dan tidak menjelaskan apapun pada teman-temannya.
"Udah bel, ke kantin yuk," ajaknya.
"Jelasin dulu," Qausar penasaran dengan maksud ucapan Satria.
"Laper nih, makan yuk," Aryasa bangkit, enggan untuk menceritakan apapun pada teman-temannya.
"Halah! Alibi lo," ucap Nio.
"Aryasa gue," ucapnya dingin.
...*****...
...To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments