Keesokan paginya.
Di ruang santai lantai dua cafe, terlihat enam orang duduk mengitari sebuah meja. Selain Adam, terlihat tiga gadis dan dua pemuda. Mereka semua adalah orang-orang yang berasal dari panti asuhan sama dengan Adam.
“Maaf jika kami merepotkamu, Senior.” Salah satu wanita dengan rambu pirang dan iris emerald menatap Adam dengan ekspresi minta maaf.
“Tidak perlu minta maaf, Ana. Lagipula … aku juga kekurangan pekerja.” Adam tampak santai.
Dari kelima orang tersebut, Ana adalah yang paling muda dan sekarang masih kuliah. Melihat bagaimana juniornya benar-benar bekerja keras, dia tidak bisa menutup mata begitu saja. Paling tidak … pemuda itu ingin membantu mereka.
Dua gadis lain sebelumnya bekerja sebagai pelayan bar dan asisten koki. Sementara dua pemuda, yang gempal pernah menjadi juru masak tetapi dipecat karena dianggap ancaman oleh kepala koki. Sedangkan yang kurus dan jangkung, dia adalah bekerja sebagai barista, tetapi memilih pindah karena ingin membantu Adam.
Di mata banyak anak panti asuhan, Adam adalah contoh teladan mereka. Belum lagi, pemuda itu sering mengirim sumbangan setiap bulan ke panti asuhan. Membuat mereka bisa makan dan memakai pakaian yang lebih layak.
“Masalah gaji … apakah kalian punya pendapat?” tanya Adam.
“Jujur saja, untuk jam kerja dan pekerjaan yang cukup santai … gaji terlalu banyak, Kak Adam.”
Adam menatap ke pemuda jangkung. Rabut hitam bergaya emo, tatapan agak suram. Dia terlihat tidak baik dalam pandangan pertama. Namun jika mengenal pemuda itu dengan baik, dia sebenarnya yang paling peka di antara rekan-rekannya. Selain itu, dia juga memiliki hati yang tulus dan pekerja keras.
“Kamu berlebihan, Ken.” Adam menggeleng ringan. “Apakah kamu yakin pindah ke sini? Aku dengar kamu cukup terkenal di tempat kerjamu sebelumnya.”
“Bukankah kamu yang pertama kali mengajariku membuat kopi, Kak Adam? Kamu adalah seniorku … tidak perlu sopan.”
“Aku ingat itu.” Pemuda gempal terkekeh. “Awalnya Ken adalah yang paling membenci kopi. Siapa sangka, setelah dewasa dia malah menjadi barista.”
“Tutup mulutmu, Bret. Aku ingat kamu dulu memiliki tubuh yang bagus dan penuh otot. Lihat dirimu sekarang!” Ken mendengus dingin.
“Aku adalah juru masak! Merasakan hidangan sudah menjadi kewajiban!” Bret berkata dengan nada bangga.
“Siapa yang tidak tahu betapa rakusnya kamu.” Ken kembali mendengus. “Jika bukan karena makanan di panti asuhan yang terbatas, aku yakin tubuhmu akan seperti itu sejak dulu.”
“Dasar wajah suram!”
“Sapi gempal!”
“Sudah cukup, kalian berdua.”
Adam segera menengahi keduanya. Bret adalah tipe yang sangat suka bergaul dan memiliki banyak teman. Sedangkan Ken sebaliknya, dia lebih suka menyendiri dan tidak memiliki banyak teman. Meski keduanya saling bertolak belakang serta sering berdebat, hubungan mereka sendiri sebenarnya sangat dekat.
Meski semua orang tampak seperti itu, mereka sebenarnya adalah para pemuda yang dijuluki generasi emas dalam Panti Asuhan White Lily. Setidaknya, mereka pernah disebut demikian.
Hanya saja, mereka berempat (kecuali Ana), memiliki kesombongan tersendiri. Ketika meninggalkan panti asuhan, Adam mengajak mereka untuk mengikutinya. Namun mereka menolak. Masing-masing dari mereka ingin membuktikan bahwa mereka sanggup mendaki ke atas tanpa bantuan pemuda itu.
Hanya saja, keempat orang yang cukup naif itu langsung ditampar oleh kerasnya kehidupan. Berusaha membalikkan keadaan, tetapi semua tidak semudah itu. Tanpa mereka sadari, waktu telah berlalu begitu saja.
Sementara Adam menghabiskan empat tahun ketika kuliah untuk membangun bisnisnya sendiri dan membeli banyak aset, keempat orang lainnya menjalani kehidupan mereka seperti biasa.
Karena tidak cukup pintar, mereka tidak mendapat beasiswa untuk kuliah. Jadi mereka menghabiskan waktu untuk bekerja. Namun ketika mendengar kabar tentang sosok Adam yang seharusnya baru selesai wisuda tetapi sudah membangun bisnis dan memiliki banyak aset, mereka langsung merasa sangat malu.
Memang … tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain sampai seperti itu.
Hanya saja, keempat orang itu merasa sangat malu. Adam dengan senang hati mengajak mereka, tetapi mereka menolaknya mentah-mentah. Ketika sekarang mereka membutuhkan uluran tangan. Ternyata, pemuda yang mereka pernah abaikan itu malah yang menolong mereka.
Setelah mereka kembali tenang, Bret yang terlihat penasaran tidak bisa tidak bertanya.
“Ngomong-ngomong … apakah kamu memelihara ayam jantan itu, Kak Adam? Tidak takut lepas?”
Tidak hanya Bret, yang lainnya juga memandang Nix dengan ekspresi penasaran. Ayam itu benar-benar tinggal di rumah yang lebih baik daripada kamar sewaan mereka. Bahkan, ayam itu tampak cukup manusiawi. Memandang mereka berlima dengan ekspresi dingin. Bisa dibilang … cukup sombong.
“Terlihat gemuk? Apakah ingin menyembelihnya di waktu tertentu, Kak Adam?”
“Pfftt …” Mendengar perkataan Bret, Adam tidak bisa menahan tawa. “Kamu dengar itu, Nix? Bret bilang kamu terlalu gemuk. Kelihatannya kamu harus lebih banyak berlatih.”
Mendengar ucapan tuannya, Nix tercengang. Dia terbelalak, tidak percaya tubuhnya yang perfect (bagi seekor ayam) ditambah bulu yang halus dikatakan sebagai gempal dan siap dimasak kapan saja.
Nix si ayam berjalan ke arah Adam dan rekan-rekannya dengan elegan lalu berhenti di depan Bret. Dia kemudian mendongak untuk memandang tubuh pemuda itu.
Melihat ke arah Nix, Bret memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung. Namun ekspresinya langsung berubah.
Nix tiba-tiba melompat ke wajah Bret, mulai mencakar sambil mengepakkan sayapnya dengan gerakan tamparan. Di depan tatapan terkejut semua orang-orang, Bret jatuh ke atas karpet lalu dipukuli oleh seekor ayam.
Di mana Kak Adam menemukan ayam ini? Begitu ganas?
Adam awalnya juga tercengang, tidak menyangka ayam pengecut yang meninggalkannya dulu benar-benar menghajar juniornya dengan kejam. Dia langsung maju dan menangkap Nix. Mengangkat ayam itu dan menjauhkannya dari Bret.
Ketika dijauhkan dari Bret, Nix terus berkokok sambil menunjuk Bret dengan sayap kanannya sambil melotot. Semua orang entah kenapa bisa mengerti apa yang ingin disampaikan ayam hitam itu.
‘Tidak ada kata lain kali, Bung! TIDAK ADA!’
Melihat bagaimana ayam menjadi manusiawi, semua orang tercengang. Adam kemudian melepaskan Nix di halaman belakang untuk bermain. Setelah kembali, pemuda itu pura-pura batuk.
“Maaf. Nix itu, ya … agak barbar.”
Bret yang duduk di atas karpet masih tercengang. Tidak percaya dia dipukuli oleh seekor ayam. Tidak hanya dipukuli, bahkan diancam oleh ayam.
“Di mana kamu membeli ayam itu, Kak Adam? Benar-benar ganas?” tanya Ken dengan ekspresi kagum.
Uhuk! Uhuk!
Adam berpura-pura batuk. Dia kemudian menjelaskan.
“Itu pemberian seorang Pendeta Tao ketika aku mengunjungi sebuah kuil. Kalian pasti tahu, aku suka bepergian. Orang itu bilang kami memiliki takdir. Meski awalnya agak enggan … aku akhirnya menerima Nix.”
“Apakah dia keturunan makhluk legendaris? Seekor Phoenix?” tanya Ken masih dengan ekspresi kagum.
“Apa-apaan kamu, Kak Ken? Jangan seperti anak kecil. Hal-hal semacam itu tidak ada.” Ana yang mendengar fantasi Ken mendengus.
Sementara itu, Adam agak terkejut ketika memandang Ken. Daripada terkejut, dia agak heran. Bukan karena tebakan Ken benar, tetapi bagaimana Ken memandang Nix.
Errr??? Bisakah kamu mengatakannya padaku … bagian mana dari tubuh Nix yang mirip dengan leluhurnya?
Di mataku, kenapa dia hanya terlihat seperti seekor ayam kampung!
>> Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 313 Episodes
Comments
Abisena
ekornya mungkin😂😂
2023-09-04
1
Abisena
😂🤣🙈tuan Nix sakit ati bener keknya
2023-09-04
2
nath_e
buntutnya doang 😂
2023-08-24
0