Happy Reading
Setelah memasuki kamarnya tangis Aryana pun pecah, ia menjatuhkan tubuhnya di kasur lalu memeluk guling nya erat sambil menangis. Ia menangisi nasibnya yang begitu miris. Saking lelahnya menangis Aryana pun tertidur pada hal waktu sudah hampir magrib.
Adzan magrib sudah berkumandang, semua anggota keluarga sudah berkumpul di mushola keluarga namun Aryana belum tampak di sana membuat semua orang menjadi heran karena Aryana tak pernah melewatkan shalat berjamaah dengan keluarga kecuali ia mendapat tamu bulanannya.
"Afwi mana Ana kenapa tak segera kesini shalat berjamaah?" tanya Yudha yang sudah memakai sarung, koko dan peci.
"Nggak tahu Yah, dari sore tadi Afwi belum ketemu Ana," jawab Afwi.
"Biar aku yang lihat ke kamar," ucap Afwa yang langsung menuju kamar Aryana.
Sampai di depan kamar Aryana Afwa mengetuk pintu kamar namun tak ada jawaban. Lalu Afwa mencoba menekan handel pintu yang ternyata tak dikunci. Afwa membuka pelan daun pintu kamar Aryana, di dalam kamar Afwa melihat adiknya tidur dengan memeluk guling, Afwa mendekat ke tempat tidur, ia menyingkap rambut Ana yang menutupi wajahnya. Betapa terkejutnya Afwa ketika melihat mata sembab Ana dengan mata yang masih tertutup, juga jejak air mata yang masih tertinggal di wajah sang adik.
"Ya Allah, Ana, apa yang terjadi padamu?" tanya Afwa dalam hati.
Perlahan ia membangunkan Ana dengan lembut.
"Dek, ayo bangun, ini sudah masuk waktu magrib!," pinta Afwa sambil menggoyang-goyangkan tubuh Aryana.
Aryana menggeliat karena merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuhnya, dengan mata yang masih berat, Aryana membuka matanya berlahan, saat matanya terbuka terlihat sang kakak duduk depannya.
"Kak Afwa kenapa di kamarku?" tanya Aryana dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Pakai tanya kenapa, noh lihat jam berapa sekarang," jawab Afwa.
"Hah, jam enam sore berarti sudah magrib!" pekik Aryana kaget.
"Makanya bangun, tuh sudah ditunggu ayah dan yang lain untuk shalat berjamaah," ucap Afwa.
"Ehm..., aku shalat sendiri saja Kak di kamar," ucap Aryana.
"Kok gitu sih, sebenarnya ada apa denganmu nggak biasanya kamu nolak shalat berjamaah bareng ayah," tanya Afwa heran.
"Aku belum mandi, nggak nyaman kalau shalat magrib nggak mandi dulu," ucap Ana memberi alasan.
"Ya sudah kamu segera mandi, nanti aku bilang sama ayah kamu nggak bisa ikut shalat berjamaah, tapi kamu berhutang penjelasan pada kakak atas jejak air mata di wajahmu ini," ucap Afwa yang langsung meninggalkan Aryana sendiri.
Setelah mendengar ucapan kakaknya Afwa, Aryana baru menyadari kalau tadi ia menangis dan langsung tertidur.
"Ya Allah, apa yang harus aku katakan pada kak Afwa sebab aku menangis, aku nggak akan bisa berbohong jika dihadapan kak Afwa dan kak Afwi, tapi aku juga tidak bisa mengatakan kalau aku sudah menguping pembicaraan mereka, bagaimana ini?" gumam Aryana dalam hati.
Aryana bingung dengan jawaban apa yang akan ia berikan pada kakak kembarnya jika sang kakak menanyakannya. Aryana melihat jam sudah jam enam lebih, ia harus segera shalat magrib sebum waktunya habis, soal alasan yang akan diberikan pada kakaknya ia pikir nanti saja.
Akhirnya Afwa memberi tahu ayahnya jika Ana tidak bisa ikut shalat magrib berjamaah meski heran dengan sikap Aryana, Yudha segera memimpin shalat karena waktu terus berjalan. Setelah shalat magrib dan mengaji sebentar Yudha dan keluarga kecilnya makan malam bersama. Yasmin menata masakan di meja di bantu bik Imah. Saat semua sudah berkumpul di meja makan, ada sesuatu yang kurang, ternyata kursi yang biasa di duduki Aryana masih kosong.
Yudha menatap heran kursi putrinya masih kosong tak biasanya Aryana seperti ini.
"Tadi nggak ikut shalat berjamaah dengan alasan belum mandi karena ketiduran padahal Aryana tak pernah tidur sore apalagi menjelang magrib dan ini tak segera bergabung untuk makan malam, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan Aryana," batin Yudha.
"Bik tolong panggil Aryana untuk segera kesini untuk makan malam!" perintah Yudha pada bik Imah.
"Iya Tuan," jawab bik Imah yang langsung pergi menuju kamar nona mudanya.
"Tok tok, Non disuruh segera bergabung untuk makan malam!" ucap bik Imah sedikit kencang dari luar kamar.
"Iya bik, bilang ayah sebentar lagi aku ke ruang makan," sahut Aryana dari dalam kamar.
"Baik Non."
Di dalam kamar Aryana berusaha mengompres matanya agar tak terlalu kelihatan sembab dan bengkak karena terlalu banyak menangis itulah sebab ia tak segera bergabung untuk makan malam.
"Aduh gimana nih kok nggak berkurang sih bengkaknya, ayah dan bunda pasti tahu kalau aku habis menangis kalau begini," gerutu Aryana karena matanya yang sembab dan agak bengkak tak berhasil ia tutupi.
Akhirnya ia pasrah, ia akan memberikan alasan yang cukup masuk akal jika kedua orang tuanya atau kakaknya bertanya. Aryana melangkah keluar kamar dengan tak bersemangat namun ia berusaha bersikap biasa saja agar orang tuanya tak terlalu curiga.
"Malam semuanya, maaf aku terlambat," ucap Aryana sambil menarik kursinya.
Saat Aryana duduk semua mata tertuju pada wajah Aryana yang seperti habis menangis, tapi tak seorangpun berani bertanya pada Aryana. Ternyata firasat Yudha benar tentang putrinya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Hari Kamis nanti, kita akan ke berangkat ke Bandung mengunjungi om Raka dan tante Dinda," ucap Yudha setelah semua orang menyelesaikan makannya.
"Kok berangkatnya sore sih nggak pagi atau siang saja?" tanya Afwi dengan nada protes.
"Ayah cuma dapat ijin dua hari dari kesatuan jadi hari Kamis ayah masuk kerja dulu," jawab Yudha.
"Kita berangkat jam berapa, Yah?" tanya Afwa.
"Kita berangkat sore, kita naik pesawat dari sini, sampai di sana kita akan di jemput Revanda anaknya Om Devan, kita transit di hotel milik DW group yang ada di Bandung baru paginya kita akan ke rumah dinas om Raka," ucap Yudha memberi tahu rencana liburan ke Bandung menemui Raka.
"Ana besok kita belanja, buat buah tangan untuk keluarga om Raka ya!" ajak Yasmin.
"Ya, Bund," jawab Aryana pelan, membuat kedua orang tua dan kakaknya semakin heran.
"Aryana!, nanti shalat isya kamu harus ikut shalat berjamaah jangan seperti tadi!" perintah Yudha pada Aryana.
"Siap, Ayah!" ucap Aryana sambil tersenyum, meskipun Aryana sangat susah untuk tersenyum saat itu.
Yudha dan Yasmin ikut tersenyum mendengar jawaban Aryana yang disertai senyuman, meski mereka tahu senyum Aryana adalah senyum kebohongan untuk menutupi keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Baiklah sebentar lagi shalat isya jangan lupa untuk shalat berjamaah, ayah mau ke ruang kerja dulu," ucap Yudha yang langsung pergi ke ruang kerjanya.
"Ana apa kamu baik-baik saja sayang?" tanya Yasmin saat mendekat ke kursi Aryana.
"I am fine, don't worry," ucap Aryana kemudian berdiri dan berjalan menuju taman belakang rumah. Melihat Aryana meninggalkan ruang makan, Afwa dan Afwi juga meniggalkan ruang makan untuk menyusul Aryana di taman belakang.
Di taman Aryana duduk di bangku dekat bunga mawar yang di tanam sang bunda, ia memandang langit yang hitam namun indah karena bertabur bintang, ia merasa lebih tenang sekarang.
"Kau suka pemandangan malam?" tanya Afwa yang tiba-tiba duduk di samping Aryana sedangkan Afwi hanya memandang dari jarak dekat.
"Iya, aku suka, rasanya aku ingin bisa terbang ke sana," jawab Aryana tanpa menoleh pada kakaknya, pandangannya masih fokus pada langit malam.
"Kenapa kau menangis sampai tertidur?"
"Hanya menangisi nasibku."
"Nasib seperti apa yang kau tangisi."
"Nasib hatiku, aku tahu kalian menyayangiku tetapi direlung hatiku yang lain aku ingin mengisinya dengan seseorang yang istimewa, namun apa ada pria yang akan mencintaiku dengan tulus, seperti ayah menyayangi dan mencintai bunda."
"Kakak yakin pria seperti ayah itu ada, hanya Allah belum mempertemukan kamu dengan tulang rusukmu, kamu hanya perlu bersabar dan berdoa. Jangan berkata seandainya begini maka jadinya begitu, tetapi katakanlah Allah sudah mentakdirkan."
"Kak Afwa bisa bilang begitu, karena tubuh kakak sehat sedangkan aku, hanya tinggal menunggu waktu," ucap Aryana sendu.
"Semua orang menunggu waktu, kau yang sakit jantung tapi siapa tahu besok aku atau kak Afwa yang menghadap Tuhan," seloroh Afwi sambil berjalan mendekati Aryana dan Afwa.
"Kak Afwi!, jangan bilang begitu, Ana jadi takut!" ucap Aryana tak suka dengan apa yang barusan dikatakan kakaknya Afwi.
"Makanya jangan selalu bahas kematian, selalu positif thinking, Dek, jodoh, mati dan rezeki itu rahasia Allah, jad jalani saja seperti air mengalir. Kamu gadis yang baik kakak percaya suatu saat akan ada laki-laki yang akan mencintaimu seperti ayah mencintai bunda," ucap Afwi yang ikut memberi semangat pada adik perempuannya.
Tak lama terdengar suara adzan isya, sesuai dengan perintah sang ayah agar ikut shalat jamaah isya, Aryana bangun dari duduknya akan berjalan ke mushola, namun sebelum pergi Aryana mengucapkan sesuatu yang membuat kedua kakak kembarnya tertegun.
"Sekarang aku jadi merasa inscure dengan diriku sendiri jika melihat bunda," ucap Aryana tersenyum miris.
"Maksud kamu apa, Dek?" tanya Afwa bingung dengan kalimat yang Aryana ucapkan.
"Bunda hebat, bisa dicintai dengan tulus oleh dua pria hebat sekaligus," ucap Aryana kemudian langsung berlalu dari hadapan kedua kakak kembarnya.
"Kak Afwa apa maksud perkataan Ana tadi?"
"Aku tidak tahu, tapi...tunggu!"
Afwa dan Afwi saling pandang seolah mereka memikirkan hal yang sama.
"Jangan-jangan..."
________________________________________
Hayo apa yang dipikirkan Afwa dan Afwi tentang maksud perkataan Aryana?
Maaf baru up lagi sibuk daring PJJ🙏
Please Like, Vote, Coment, Rate and Favorit
Thank You
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Lina Susilo
semangat ana dn slalu berpikir positif ya sayang, semua akn indah pada waktunya
2022-11-04
0
Miya Wibowo
sabar Ana dokter fahmi tulus kok memciantai kamu sejak Bayi malahan..😍 😍
2021-09-18
1
Sivak Elyana
semangat ana....
2021-09-07
0