'Nyaman dengan apa adanya dirimu. Lebih baik begitu daripada sibuk meniru orang lain.'
*****
Resti terus membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Mendengus kesal sambil berjalan menjauhi area rumah sakit. Malu sekali rasanya. Seenak hati menuduh Jun telah membohonginya. Padahal semua itu karna dia sendiri yang menyimpulkan seenak hati.
Keesokan harinya, ia bahkan sudah tidak tau lagi bagaimana caranya untuk menghindari Jun. Yang sialnya, dua manusia itu bertemu saat di lobi kantor.
Padahal Jun bersikap biasa saja. Tapi Resti yang kelabakan sendiri. Rasanya ingin sekali ia menaruh wajahnya disaku celananya, sangking malunya.
Tapi apa boleh buat. Saat itu, Jun sedang berjalan berbarengan dengan Khofid. Kedua pria itu nampak sangat akrab. Dari sana Resti bisa menyimpulkan bahwa hubungan Jun dan Khofid pastilah dekat.
“Oh. Resti? Baru datang?” Ujar Khofid lebih dulu menyapa.
“I iya, Pak. Selamat pagi Pak.” Jawab Resti tanpa berani menatap Jun.
“Pagi juga. Oh iya, kamu sudah mengenal sahabat saya ini kan? Beliau adalah direktur disini.” Jelas Khofid kemudian.
Resti tidak menjawab. Ia merasa kesal. Apalagi saat Khofid menekankan tentang persahabatan mereka.
“Iya pak covid.” Jawab Resti santai. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba ia merasa kesal dengan Khofid.
“Apa? Apa kau baru saja memanggilku dengan sebutan virus?” Tanya Khofid yang masih mempunyai pendengaran yang sangat bagus.
“Hah? Tidak, tidak, pak. Mana mungkin saya berani memanggil bapak begitu.” Jawab Resti panik. Ia fikir Khofid tidak mendengarnya.
“Saya yakin, saya mendengarnya kamu menyebut saya covid.” Khofid belum mau menyerah.
“Aku duluan.” Ujar Jun tiba-tiba. Ia sengaja melakukan itu untuk menghentikan pertengkaran kecil yang tidak penting itu. Apalagi itu terjadi didekatnya.
Khofid dan Resti hanya terdiam saja sambil memandangi punggung Jun yang mulai menjauh.
“Kau. Setelah ini temui saya.” Perintah Khofid kepada Resti.
Matilah aku! Pekik Resti didalam hati.
“Iya pak.” Jawab Resti pasrah.
Selama jam kerja, jantung Resti terus berdegup kencang. Ia terus memasang telinganya dengan cermat. Khawatir jika tiba-tiba Khofid memanggilnya.
Tapi sampai jam kantor hampir berakhir, atasannya itu tidak juga memanggilnya. Bahkan sampai ia pulang, Khofid nampak tetap tidak mempedulikannya.
Akhirnya Resti bisa bernafas lega.
Tapi kelegaannya itu tidak berlangsung lama. Karna ia berpapasan dengan Ana. Ia seperti pencuri yang sedang ketahuan mencuri saja. Padahal dia tidak bersalah, terlebih kepada Ana.
“Hai. Kau.” Panggil Ana.
“Iya bu.” Jawab Resti takut.
“Bolehkah aku mentraktirmu minum?” Tanya Ana dengan senyum ramah khasnya.
“Ya?” Resti yang tadinya menundukkan wajah, kini langsung mengangkat wajahnya demi mendengar tawaran Ana.
“Ayo.” Ajak Ana kemudian ia berjalan mendahului Resti. Dan Resti terpaksa mengikuti Ana.
Dan sekarang mereka sudah duduk berhadapan di sebuah meja di cafe yang terletak disamping rumah sakit.
“Siapa namamu?” Tanya Ana. Gadis itu terus menyunggingkan senyum
“Resti Bu.”
“Sepertinya kau karyawan baru, ya?”
“Iya Bu.”
“Oo. Sudah lama mengenal Jun?” Tanya Ana lagi. Ia seperti calon mertua yang sedang mewawancarai calon menantu.
“Jun?” Untuk sementara dia berusaha mengingat pemilik nama itu. “Oh, tidak. Belum.”
“Aku hanya ingin memperingatkanmu.”
“Memperingatkan, apa?”
“Hati-hati dengannya. Atau kau akan membeku.” Seloroh Ana sambil tertawa.
Sedangkan Resti tidak mengerti apa maksud dari perkataan Ana.
“Jangan diambil serius. Aku hanya bercanda.” Gurau Ana. “Apa kau mau menikahinya?”
Uhuk! Uhuk!
Sontak Resti memuncratkan es teh yang baru saja diteguknya. Untung tidak mengenai wajah cantik Ana.
“Apa maksud anda Bu?”
“Astaga. Lagi-lagi kau menganggapnya serius.” Ujar Ana tanpa merasa bersalah.
Dan Resti hanya bisa ternganga saja.
Apa begini cara orang kaya bercanda? Batinnya. Ia terus menatap lurus kepada Ana yang masih tertawa.
“Bu, kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi dulu.” Pamit Resti. Ini adalah pertama kalinya ia mengobrol berdua dengan orang seperti Ana. Jadi ia tidak tau harus menanggapi seperti apa. Ia tidak mau terlihat bodoh lagi didepan wakil direkturnya itu.
Ana tidak sempat menjawab. Ia menghentikan tawanya saat melihat Resti yang pergi begitu saja.
“Apa aku menyinggungnya?” Gumam Ana.
“Sedang apa kau disini?” Suara Jun yang datang dari belakang mengejutkan Ana. Gadis itu langsung menoleh.
“Oh? Hei! Tidak ada. Aku hanya sedang melakukan penelitian.” Jawab Ana santai.
“Apa dia subjek penelitianmu?” Tunjuk Jun dengn dagunya kearah Resti yang sudah menjauh.
“Hahahaha.”
“Apa yang kau bicarakan dengannya?” Jun tidak bisa menutupi rasa penasarannya. Padahal ia tidak pernah begitu sebelumnya.
“Hei, Jun. Tumben sekali kau peduli. Apa dia berarti sesuatu bagimu?” Seloroh Ana.
Jun tidak menjawab. Ia hanya terus menatap Ana dengan serius.
Ana yang mendapati tatapan maut itupun membetulkan posisi duduknya. “Aku memintanya menikahimu.” Jujur Ana.
Lagi-lagi Jun tidak menjawab. Dia hanya mengernyitkan alisnya saja.
“Huh! Mengobrol denganmu sangat tidak menyenangkan. Aku tidak percaya kalau kau ini kembaranku. Kita sangat berbeda.” Dengus Ana yang langsung berdiri dan meninggalkan Jun yang masih duduk di kursi cafe.
Jun hanya menghela nafas saja melihat Ana meninggalkannya. Pria itu kemudian menyandarkan tubuhnya. Tapi tatapannya terhenti pada sebuah ponsel yang terletak diatas meja. Awalnya ia mengira itu adalah milik Ana. Tapi setelah ia melihat lebih dekat, ia yakin itu bukan milik Ana. Karna ponsel itu merupakan ponsel keluaran lama. Bahkan dibagian atasnya sudah retak. Ana tidak mungkin punya ponsel butut seperti itu.
Perlahan Jun meraih ponsel itu dan menyalakannya. Dengan jelas wajah Resti terpampang disAna. Jun menoleh untuk mencari Resti. Tapi gadis itu sudah tidak nampak lagi. Tidak tau harus melakukan apa pada ponsel itu, akhirnya Jun memasukkan ponsel butut Resti kedalam saku jasnya.
“Jun!” Panggil seorang wanita sambil melambaikan tangannya kepada Jun. Membuat Jun langsung melambaikan tangannya juga.
“Kau sudah datang?” Sapa Jun.
Ruth langsung mengambil tempat duduk dihadapan Jun.
“Aku bilang aku akan menjemputmu.” Ujar Jun.
“Tidak apa. Aku sudah tidak sabar ingin menjenguk nenek. Jadi sekalian saja aku kemari.” Jelas gadis manis berambut sebahu itu.
“Baiklah. Kita kerumahku dulu. Aku harus mengganti pakaianku.” Jelas Jun kemudian.
Ruth hanya mengikuti pria itu tanpa banyak bicara. rencana mereka malam ini adalah menjenguk Nyonya Gundala.
“Ana kemana?” Tanya Ruth saat mereka sudah berada didalam mobil milik Jun.
“Entahlah. Aku lupa bertanya.”
“Kau ini. Berapa kali kubilang? Jangan terlalu dingin. Apalagi dengan keluargamu.” Ruth mengingatkan.
“Apa aku sedingin itu?” tanya jun dengan pandangan fokus menatap jalan raya.
“Kau bertanya? Astaga. Aku tidak percaya kau masih tidak sadar juga.”
Jun hanya tersenyum. Tidak menjawab ocehan sahabatnya itu. Entah kenapa orang-orang selalu menyebutnya pria dingin. Padahal menurutnya ia bersikap biasa saja. Dia ramah, dan suka tersenyum. Ya walaupun itu hanya kadang-kadang saja. Entah bagian mana dari dirinya yang membuat orang menyebutnya begitu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
azril arviansyah
jun jun ramah dari mana wong ksku kaya gitu
2022-08-19
0
Farida Wahyuni
kalau beku,keluarkan cepat dr freezer thor🤣
2021-07-14
0
momOf3AdorableKiddos
aku ikut yaaah mau jenguk Nenek🤭
2021-07-12
0