‘Hidupmu juga tidak kalah beruntung. Hanya saja kau terlalu fokus kepada keberuntungan orang lain, sehingga kau tidak melihat keberuntunganmu sendiri.’
*****
“Siapa itu?” Tanya Pamungkas kepada Jun saat mereka berjalan menuju kemobil mereka. “Manis.” Lanjutnya.
“Aku sungguh berharap istrimu mendengarnya.” Balas Jun.
“Hahahaha. Walaupun dia mendengarnya, dia tidak akan peduli.”
Jun hanya menggeleng-geleng saja mendengarnya.
“Siapa itu? Kenapa kau membayar biaya rumah sakitnya? Ayoolahhh. Beritahu aku. Apa dia kekasihmu?”
“Ah. Berisik sekali. Apa kau tidak akan pergi?” Usir Jun.
“Hm,hm” jawab Pamungkas menggelengkan kepala. “Beritahu aku dulu siapa dia?”
“Astaga. Kau ini merepotkan sekali.”
“Siapa dia?” Desak Pamungkas.
“Calon istriku. Puas?”
Seketika Pamungkas mengehentikan langkahnya. Alisnya berkerut demi mendengar jawaban tak masuk akal itu.
“Benarkah itu?!” Teriak Pamungkas lagi saat Jun tidak menggubrisnya dan langsung masuk kedalam mobilnya.
Sial! Kenapa pula aku harus berkata seperti itu? Gumam Jun pada dirinya sendiri. Ia mencengkeram kuat kemudinya. Menyesali ucapannya tadi. Entah kenapa harus kata-kata itu yang keluar dari mulutnya hanya untuk membungkam sepupunya itu.
Saat mobilnya keluar dari area gedung, Jun bisa melihat Resti yang sedang berjalan menuntun sepedanya dengan wajah yang tertunduk lesu. Entah apa yang sedang merasuki tubuhnya saat itu, ia malah memperlambat laju mobilnya. Dan dengan perlahan mengikuti gadis itu dari belakang. Memperhatikannya dengan seksama.
Suara klakson mobil dibelakangnya lah yang berhasil menyadarkan Jun. Dan akhirnya ia kembali menancap gas untuk menyusuri jalanan ibu kota. Bahkan ia masih sempat melirik Resti dari kaca spionnya sebelum bayangan gadis itu menghilang terhalang oleh pepohonan yang tumbuh di sepanjang trotoar jalan.
Jun membelokkan mobilnya ke sebuah cafe milik salah seorang temannya. Setelah dia masuk, ia langsung saja disambut oleh teman-temannya yang memang sedang menungunya.
“Duduklah.” Seru Dika, si pemilik cafe.
Lantas Jun pun langsung duduk disofa yang sepertinya memang sengaja disediakan untuknya.
Tidak lama kemudian, muncullah Khofid. Pria yang merupakan atasan Resti itu juga merupakan teman Jun.
“Maaf, aku terlambat.” Seru Khofid yang langsung mengambil tempat duduk diseberang Jun.
“Hei, minggu depan aku ingin mengundang kalian keacara pesta ulang tahun kakakku. Dia sangat menantikan kehadiran kalian. Terutama kau, Jun. Kurasa dia ingin membuat semacam, koneksi.” Seloroh dika yang langsung disusul gelak tawa oleh yang lain. “Kau akan datang kan? Acaranya akan diadakan dihotelmu.” Jelas dika lagi.
Jun menarik nafas panjang demi mendengar undangan yang sangat tidak menarik itu. “Baiklah. Sepertinya aku bisa datang.” Jawab Jun pada akhirnya.
Selebihnya, mereka lebih banyak menceritakan tentang pekerjaan mereka. Dengan diselingi dengan bercerita tentang wanita yng mereka suka.
Sebenarnya Jun sama sekali tidak tertarik dengan obrolan itu. Tapi apa boleh buat. Dia juga bosan jika sendirian terus tanpa melakukan apapun.
Setelah lama kelamaan, arah obrolan mereka semakin tidak menarik saja. Membuat Jun bosan setengah mati. Akhirnya diapun bangkit dan pamit kepada teman-temannya. Tidak ada yang berani mencegahnya karna wajah Jun sangat jelas memperlihatkan kalau dia sedang bosan.
Begitu sampai dirumah, Jun menghempaskan tubuhnya diatas ranjangnya tanpa melepas pakaiannya terlebih dahulu. Tapi beberapa menit kemudian dia kembali bangkit dan masuk kedalam kamar mandi. Berendam air hangat selepas bekerja adalah hal yang paling disukainya.
***
Resti memarkirkan sepeda yang dengan susah payah dia dorong itu di halaman depan rumahnya. Perlahan dia masuk sambil mengucapkan salam dengan lirih. Melongokkan kepalanya dari balik pintu demi melihat ada apa didalam.
“Ibi!!!!” Pekik Ariga, keponakannya. Pria kecil yang masih berumur 6 tahun itu langsung brlari kedalam pelukannya.
“Hai. Lihatlah, apa yang kubawa ini.” Ujar Resti sambil menunjukkan sebuah kantung plastik berisi makanan ringan yang ia beli diwarung depan gang tadi.
“asik. Makasih Ibi.” Ujar Ariga. Dengan antusias langsung merebut kantung plastik itu dari tangan Resti dan membawanya keatas sofa sederhana didepan tv.
Resti tidak menemukan Yusniar disana. Tapi samar Resti bisa mendengar alunan suara kakak iparnya itu yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an didalam bilik kamarnya.
Yusniar langsung menghentikan aktifitasnya mengaji. Kemudian keluar kamar dengan masih mengenakan mukenahnya.
“Baru pulang?” Tanya Yusniar.
“Iya kak.”
“Kok lama?” Selidik Yusniar.
“Sepedaku rusak. Jadi aku jalan kaki.” Jelas Resti sejujurnya.
“Hah? Kamu jalan kaki dari kantor?” Tanya Yusniar merasa trenyuh dan kasihan. Karna setaunya, kantor GD Group berjarak sekitar hampir dua jam-an jika ditempuh dengan berjalan kaki. “Astaga Res, kenapa tidak menelfon saja. Kakak bisa menjemputmu.”
“Terus sepadaku bagaimana? Tidak mungkin aku akan meninggalkannya dijalanan begitu saja.”
“Belilah sepeda yang baru. Kau kan punya sedikit tabungan. Kalau tidak cukup, nanti kakak tambahin sedikit.”
Nafas Resti tercekat ditenggorokan. Ingin ia bercerita tentang nasib buruknya hari ini. Tapi ia tidak tega. Karna Yusniar juga pasti sudah cukup lelah dengan pekerjaannya berkeliling menjajakan sayuran.
“Nanti sajalah kak. Mungkin yang ini masih bisa diperbaiki. Sayang kalau mau dibuang begitu saja."
Bagi Resti, selama masih bisa diperbaiki kenapa harus membuangnya. Lagipula, ia tidak punya cukup tabungan untuk membeli sepeda yang baru. Ditambah dengan biaya kompensasi yang harus ia bayar yang jumlahnya tidak main-main.
“Aku mau mandi dulu ya kak.” Ujarnya pada akhirnya mencoba melarikan diri dari situasi rumit itu. “Kak Yus mau kemana?”
“Tidak kemana-mana. Hanya ingin mengajari Ariga mengaji.” Jawab wanita yang berperawakan sedikit gemuk itu. Ia kemudian bejalan menghampiri putranya yang sedang asyik menonton acara televisi kesukaannya.
Resti buru-buru mengambil handuk dari kamarnya kemudian masuk kedalam kamar mandi sederhana. Itu adalah satu-satunya kamar mandi yang ada dirumah itu.
Ia sengaja menghidupkan keran air dengan keras agar tidak ada yang mendengarnya menangis. Resti tegugu sambil bersimpuh dilantai kamar mandi.
Kenapa keberuntungannya begitu buruk? Kenapa ia tidak pernah bernasib baik seperti orang-orang? Kenapa dia tidak pernah beruntung dalam hal apapun?
Resti menjerit sekuat tenaga didalam hati. Air matanya terus saja mengalir dengan derasnya.
Apa memang takdirnya sudah tertulis seperti itu? Apa tidak ada kata keberuntungan dalam garis takdirnya?
Bukankah Tuhan akan mengubah nasib manusia jika manusia itu terus berusaha? Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk dirinya.
Bukankah selama hidupnya ia telah berusaha untuk mengubah nasib?
Seketika rasa iri menyeruak masuk kedalam hatinya. Dia iri melihat orang lain yang dengan gampangnya menjalani kehidupan mereka. Sepertinya mereka selalu beruntung. Tidak seperti dirinya. Sepertinya mereka selalu masuk kedalam rencana indah Tuhan, tapi tidak dengan dirinya.
Lantas apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Selain terus berusaha dan berharap Tuhan akan berbaik hati padanya. Berdoa jika Tuhan sudah menyiapkan rencana paling sempurna untuknya.
Dalam keadaan paling terpurukpun, yang bisa dia lakukan hanya berharap. Semoga hidupnya bisa berubah. Tidak perlu muluk-muluk. Dia hanya ingin punya pekerjaan tetap sehingga ia tidak perlu lagi kesana kemari demi menjemput rezeki. Sederhana saja.
Resti selalu berharap, semoga kesabarannya akan berbuah manis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Ita rahmawati
sedih amat sih
2024-10-20
0
Eva Evelly
akan indah pd waktu ny.
2021-09-08
0
Farida Wahyuni
kadang begitu,melihat ke atas membuat iri. tp masih ada org yg kurang beruntung daripada kita. utk terus bisa bersyukur stiap waktu,sering2 melihat kebawah.
2021-07-14
0