Aku kembali berlari menuju Auditorium kampus setelah jam kuliah selesai. Menurut kabar yang beredar, salah satu stasiun TV national sedang shooting acara talk show di sana. Mahasiswa kampus diizinkan masuk secara gratis dan mendapatkan makan siang. Iya, makan siang satu-satunya tujuanku kesana.
Saat aku sampai di pintu masuk, acaranya ternyata sudah dimulai. Riuh-rendah penonton memenuhi segala penjuru ruangan.
Aku mencari bangku kosong di tengah lautan mahasiswa. Wajahku sumringah saat aku berhasil menemukan satu bangku kosong di bagian tengah, sepertinya penghuninya sudah keluar. Perlahan-lahan mendekati bangku kosong itu dan menempatinya. Mahasiswa di kiri kanan mengangguk menatapku.
Kubenarkan posisi dudukku senyaman mungkin. Acara seperti ini biasanya akan berlangsung lama dan membosankan. Tak sengaja aku menatap ke arah panggung utama, di sana presenter terkenal itu terlihat tersenyum ke arah bintang tamunya. Bintang tamunya memangku gadis kecil yang cantik. Gadis kecil yang mengenakan gaun pink dengan motif kupu-kupu dan rambutnya dikepang dua.
“Naila, usianya berapa sekarang?” tanya presenter itu. Aku kaget begitu mendengar pertanyaan sang presenter. Naila dan Papanya yang jadi bintang tamu hari ini? Apa dunia sesempit ini?
“5 tahun,” jawab Naila pendek. Ia membalikkan badannya dan memeluk Papanya manja. Seolah-olah mengisyaratkan, “Ia milikku.”
“Naila di rumah sama siapa? Udah sekolah belum?” tanya presenter itu tidak menyerah.
“Naila ikut Papa kemana-mana, Naila ga suka sama tante-tante genit yang ganggu Papa.” Seisi ruangan yang hadir sontak tertawa. Bagaimana tidak? Gadis kecil itu terang-terangan menentang siapapun mendekati Papanya.
“Wah, Naila pinter ya?” Gadis kecil itu tidak menjawab, ia kembali memeluk Papanya.
****
Aku terduduk diam meskipun ruangan auditorium sudah kosong, hanya ada beberapa panitia kampus sibuk lalu lalang membereskan perlengkapan acara. Aku menatap kosong ke panggung utama, ingatan hari di mana aku bertemu Om Gabriel kembali mengudara. Bagaimana jika kami berpapasan? Apakah ia masih akan mengenaliku? Bagaimana jika aku menyapanya lebih dulu? Atau aku mengabaikannya saja? Beragam pertanyaan mendesak kepala kecilku.
Aku mendengkus kesal, bagaimana bisa aku berharap pria sehebat dia mengenaliku bahkan menyapaku? Aku bangkit meraih tas dan nasi kotak yang dibagikan panitia tadi lalu beranjak keluar dari ruangan Auditorium.
“Hai Kakak!” Langkahku terhenti, suara mungil itu suara Naila. Ia menyapaku? Aku berbalik mencari sumber suara. Kudapati Naila di belakangku sambil di gendong Pak Wahyu dan dua lelaki berbaju hitam di belakangnya. Mereka tersenyum saat melihatku berbalik dan ikut menyapaku.
“Eh, Naila, kamu ada di sini juga?” tanyaku gugup. Aku takut sekali dengan putri kecil yang mendominasi ini. Aku takut dicecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dan akhirnya mempermalukan diriku sendiri.
“Kakak gimana, sih? Kan Kakak nonton juga acaranya, masa ga tahu sih Naila ikut Papa ke sini? Atau Kakak udah lupa ya sama Naila?” sindirnya yang membuatku tercekat. Aku menelan salivaku berulang, kehabisan kalimat untuk menyelamatkan diri.
“Naila, Kakak...”
“Ikut Naila yuk, Kak. Kita makan Fried Chicken.”
Entahlah, aku tidak ingat apa yang terjadi saat itu, yang jelas saat ini aku sudah duduk bersama Naila, Pak Wahyu, Pak Bagas dan Pak Jey. Naila makan dengan lahap sambil dipangku Pak Jey. Ia sibuk dengan burgernya dan dua mangkuk es krim miliknya. Sedangkan 3 bodyguard itu saling bertukar pikiran satu sama lain mengenai perusahaan, harga saham hingga berat badan Naila yang semakin hari semakin naik dan mereka mulai kesulitan menggendongnya. Meski mereka membicarakannya, gadis kecil itu tetap sibuk memisah-misahkan burgernya lalu menyusunnya kembali, begitu seterusnya hingga burger itu tak lagi bisa dinikmati.
Aku terdiam sendirian, sejauh ini tak ada yang mengajakku mengobrol hingga Pak Wahyu dengan rendah hati memecah kesunyian untukku.
“Bagaimana pekerjaanmu di salon? Apakah mereka bersikap baik padamu?” tanya Pak Wahyu sambil menatapku. Aku gugup memikirkan bagaimana menjawab dengan tepat agar tidak menambah masalah.
“Baik Pak, sejauh ini tidak ada masalah,” jawabku yang diikuti anggukan Pak Wahyu, lalu ia kembali larut dalam perbincangan dengan dua karibnya itu. Otakku pasti sudah sinting memilih ikut bersama mereka dan terjebak di duniaku sendirian.
****
Setelah makan sore yang tak bisa disebut makan itu, Naila kembali menyeretku ikut dengannya ke salah satu toko buku. Menurutnya, buku cerita yang ada di rumahnya sudah dibaca semua oleh Papanya dan ia sudah hapal jalan ceritanya. Sejauh ini, belum kutemukan keberadaan Om Gabriel, sepertinya ia melepaskan penjagaan Naila pada ketiga Om-Omnya itu.
Kami memutari setiap rak-rak buku di bagian kids, kali ini Naila digendong Pak Bagas. Tubuh Pak Bagas lebih tinggi dari dua temannya, hingga memudahkan Naila meraih bacaan anak-anak di rak paling atas. Gadis kecil itu terlihat sangat senang setiap kali mendapati buku yang ia suka. Ia tertawa dan memeluk Pak Bagas lalu menghadiahinya sebuah ciuman di pipi.
“Naila, Kakak kesana sebentar, ya? Sepertinya ada buku bagus untuk Kakak di sana,” pamitku pada gadis kecil itu. Ia menoleh dan mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku menghela nafas, bagaimana bisa anak kecil ini memenjaraku?
Aku menelusuri rak buku bagian Ekonomi, mencari-cari keberadaan buku-buku referensi terbaru Akuntansi seperti yang disarankan dosen-dosenku. Sebenarnya aku sangat menyukai buku, hanya saja kondisi finansialku tak mendukungku untuk mengkoleksi buku-buku yang aku inginkan. Terkadang, aku membeli buku second-hand untuk menunjang kuliahku dan membaca novel-novel romantis dari aplikasi untuk mengusir rasa bosanku.
Senyumku merekah saat aku berhadapan dengan buku yang aku inginkan, kutebak tebalnya lebih dari 1000 halaman. Sampulnya benar-benar keren dan terdapat DVD di belakangnya karena ini buku terjemahan. Aku mengintip takut pada Price Tag buku itu, aku benar-benar membutuhkannya saat ini untuk mengalahkan mata kuliah Prof Lina yang sangat menyakitkan itu.
Kuhela lagi nafasku, harganya Rp. 200.000,- dan uang di dompetku hanya Rp. 150.000,- itu artinya jangankan membeli, uangku saja tidak cukup. Kuletakkan kembali buku itu dengan penuh kecewa.
“Sesulit inikah jika kita miskin?” gumamku dalam hati.
“Kamu menyukainya?” Sebuah suara berat menghentikan langkahku, bola mataku berputar mencari sumber suara. Suara berat yang selama ini menggangguku, pemiliknya telah berdiri di sana menatapku dengan tatapan memabukkan.
“Ti-dak Pak, eh Om.” Gagapku kambuh lagi, dan aku benci sekali.
Om Gabriel mendekatiku, harum parfumnya segera memenuhi ruang hidungku, kali ini penampilannya masih rapi, serapi tadi pagi saat ia menjadi bintang tamu di talk show itu. Jasnya terkancing sempurna dan sepatu pantofelnya masih mengkilap.
“Aku tahu kamu menyukainya, kamu membutuhkannya?” selidiknya. Tangannya meraih buku yang tadi kupegang dan matanya memicing mencoba membaca.
“Ini buku Akuntansi? Kamu masih kuliah?” Kini ia berbalik menghadapku, jantungku serasa copot dan keringat dingin membasahi tubuhku. Sepertinya aku sudah gila, bagaimana bisa aku deg-degan dengan pria yang usianya jauh di atasku ini.
“Magister Akuntansi Pak, eh Om,” jawabku singkat sambil berusaha menjauh darinya. Cologne-nya terlalu kuat dan memabukkan bagiku.
“Kalau begitu ambillah, ambil sebanyak yang kamu mau.” Langkahku terhenti dan aku berbalik menghadapnya. Jarak kami hanya 1 meter dan bisa kulihat wajah tampah mengintimidasinya itu. Pantas saja Naila punya karakter seperti itu, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
“Naila jauh lebih berharga dari setiap Rupiah yang kamu habiskan di toko buku ini, ambil saja Queen, aku bersedia membayar sebanyak yang kamu butuhkan.” Kini tangannya menyodorkan buku Akuntansi yang aku inginkan.
Pergelangan tangannya yang besar dan kokoh itu dilingkari jam mewah. Kubayangkan berapa banyak buku yang bisa kubeli jika jam itu kujual. Aku sudah seperti maling saja.
“Terima kasih,” ucapku. Aku tidak ingin menolak lagi , aku memang membutuhkannya. Biar saja jika ia mengira urat maluku sudah putus. Setelah ini kami tidak akan bertemu lagi bukan?
Kuraih beberapa buku yang memang aku butuhkan lalu memasukkannya ke keranjang. Aku mengambil buku Akuntansi yang sama mengingat Moly juga belum mampu membelinya. Aku sibuk membaca judul dari buku-buku yang aku butuhkan, lalu sebuah tangan menarik keranjang bukuku yang membuatku kaget dan menoleh padanya.
“Kenapa kamu mengambil dua buku yang sama?” tanyanya setelah memeriksa isi keranjangku. Apa aku mengambil buku terlalu banyak hingga ia turun tangan memeriksanya? Bukankah ia sendiri yang bilang ia bersedia membeli sebanyak yang aku butuhkan?
“Moly juga belum membelinya, dia sahabat baikku di sini.” Aku berusaha menjelaskan, walaupun sudah berikrar untuk memutuskan urat maluku, tetap saja aku merasa sangat malu saat ini.
“Hhemm, lanjutkan. Apa kamu butuh buku untuk wanita?” Aku menghela nafas lega, kukira aku harus mengembalikan semua buku yang sudah kuambil itu.
“Buku wanita? Buku macam apa itu?” Aku sendiri heran, apa maksudnya buku tentang reproduksi wanita? Buku tentang kehamilan hingga cara merawat bayi?
“Semacam novel, komik atau majalah?”
“Apa saya boleh mengambilnya?” Aku berharap ia menjawab iya.
“Sebanyak yang kamu mau,” ucapnya sembari berlalu menemui putrinya yang memanggilnya sedari tadi. Aku melompat kegirangan, kututup mulutku dengan tangan agar Om Gabriel tidak mendengar jeritanku.
*****
Aku dan Naila bagai kakak-beradik, kami berdua mengitari seluruh toko buku hanya untuk melihat buku-buku dengan cover-nya yang cantik. Gadis kecil itu tidak sekalipun melepaskan genggamannya dari tanganku, ia sepertinya masih trauma dengan kejadian di Mall hari itu. Beberapa kali mataku menangkap Pak Jey diam-diam mengikuti kami, sepertinya penjagaan terhadap tuan putri kecil ini diperketat.
Setelah berjam-jam menghabiskan waktu di toko buku, aku dan Naila mengantri untuk membayar buku kami, tak lupa Pak Jey berdiri satu meter dari kami. Aku gugup, khawatir Om Gabriel tidak jadi membayarkan buku yang kubeli, karena saat kami sudah berada di kasir pun, Om Gabriel belum memperlihatkan batang hidungnya.
“Ini semua bukunya Mba?” tanya petugas kasir saat melihat keranjangku penuh buku.
“Ini satu lagi Mba.” Aku mengangkat keranjang milik Naila dan meletakkannya di atas meja kasir. Kasir itu dengan sigap menginput pembelian kami, dari mesin kasir bisa kulihat berapa jumlah nol dari total belanjaan kami berdua, dan hampir 2/3 adalah biaya belanjaanku.
“Totalnya Rp. 5.345.000,- Mba?” Mati aku! Om Gabriel dimana?
“Ehm, Begini Mba..” Aku gelagapan.
“Ini Mba.” Aku bernafas lega setelah mendengar suara berat itu. Kulihat tangan kanannya menyodorkan kartu yang sangat asing bagiku. Mungkin sejenis kartu no-limit seperti yang kulihat di drama-drama.
“Mba, ini bukunya di paket samaan sama buku Anaknya?” Aku kaget, apa-apaan si Mba kasir ini? Apa ia berfikir Naila anakku? Semirip itukah kami? Bukankah Naila terlihat lebih cantik dariku?
“Tolong dipisah ya, Mba?” Suara berat itu menengahi. Aku malu sekali, bagaimana bisa pertanyaan seperti itu saja tak mampu aku jawab.
Pak Bagas dengan baik hati membantuku membawa sepaket besar buku-buku milikku. Ia menaikkannya ke mobil berbeda dengan yang kutumpangi saat kemari bersama mereka. Pak Wahyu, Pak Bagas, Pak Jey serta si mungil Naila yang sudah tertidur di pelukan Pak Jey masuk ke mobil yang sama. Anehnya mereka tidak mengajakku dan meninggalkanku sendirian.
“Masuklah Queen, aku akan mengantarmu pulang. Maaf karena harus pulang bersamaku, Naila sudah terlalu lelah bahkan sudah tertidur. Mereka harus segera membawanya pulang.” Suara Om Gabriel memecah sunyi, dan aku berbalik menatapnya. Ia sudah berdiri membukakan pintu mobil mewahnya dan mengisyaratkanku agar segera masuk dengan matanya.
Aku menurut, sudah terlalu malam dan ongkos taksi dari sini ke tempatku tinggal tak murah. Dua lembar Rupiah di dompetku tak akan tersisa jika masih kupertahankan jual mahalku.
Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya diam. Om Gabriel fokus menyetir dan tak sekalipun menatapku. Sedangkan aku, gugup tak beralasan dan bolak-balik menatapnya.
Kami sampai di depan gang kost-ku, aku pamit berulang kali dan mengucapkan terima kasih padanya. Kubuka pintu mobil belakang dengan hati-hati mengambil buku-buku milikku, jika tergores aku harus menjual diri untuk membayarnya. Om Gabriel ikut turun dan tersenyum melihatku sangat berhati-hati berada di dekat mobilnya.
“Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini, gang ini terlalu sempit Queen.”
“Terima kasih banyak Om, anda sudah baik sekali.” Aku membungkuk lagi, setakut inikah aku pada uang?
“Sama-sama Queen, sampai bertemu lagi. Selamat malam.” Om Gabriel memutari mobilnya dan masuk kembali ke posisi kemudi. Mobil mewah itu berlalu meninggalkan perkampungan kumuh ini. Aku mendesah, seberapa jauh jarak yang tercipta antara aku dan lelaki itu? Ia membayar tumpukan buku di tanganku seolah itu bukan apa-apa, sedangkan aku membeli satu saja tidak mampu.
.
.
.
.
To Be Continued,
sampai jumpa di bab selanjutnya 🤗
jangan lupa klik like, komen, rate bintang 5 dan vote yaaaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Fatma Ningsih
aku paling suka novel ini
2022-08-16
0
Nanhee
lanjut ceritanya bagus...
2021-10-23
0
Azizah Fazatun
ok
2021-10-09
0