“Mba masih mau bekerja di sini? Saya bisa merekomendasikan Mba ke toko lain, ” tawarnya.
Kuingat jelas saat itu, perasaanku benar-benar bahagia. Mungkin ini pahala atas pertolonganku terhadap gadis kecil tadi. Gadis mungil bermata coklat yang sedang memeluk lelaki di sana.
“Serius Pak? Eh, Om?” Aku gagap. Benci sekali aku!
“Kalau Mba bersedia.” Ia tersenyum lagi, aku bisa mati kehabisan nafas di sini.
Ini bukan waktunya jual mahal, harga makanan tidak akan turun walaupun aku bersikap jual mahal. Aku mengangguk dalam hitungan detik, masa bodoh dengan apa yang ia pikirkan, toh besok tidak akan bertemu lagi, biar saja tidak tahu malu sekalian.
“Baiklah, besok datanglah ke salon Naila’s Choice di lantai pertama Mall ini. Saya akan menghubungi manajernya untuk menyambut kamu dan menyediakan posisi untukmu.” Ia tersenyum lagi, apa yang salah dengan pria ini? Ia terus-terusan tersenyum.
“Baiklah, Om, kalau begitu terima kasih tawarannya. Saya permisi dulu,” pamitku padanya.
“Sebentar Mba, saya tahu ini kurang sopan, tapi terima lah, saya awam dalam hal seperti ini, jangan tersinggung karena niat saya baik Mba.” Aku melihat tangannya menyodorkan selembar kartu berwarna biru.
“Apa ini, Om?” tanyaku pura-pura polos. Jelas sekali itu kartu debit, kali ini bisalah pura-pura jual mahal walau sebenarnya aku ingin segera mengambilnya.
“Maaf Mba, saya sudah lancang.” Ia menarik tangannya yang dengan tidak tahu malunya aku tahan. Sejujur-jujurnya aku membutuhkan uluran tangannya, biaya kuliah semester depan belum terkumpul sedikitpun.
“Bukan, bukan begitu Om.” Aku juga kikuk. Bagaimana menjelaskan bahwa aku bersedia menerima kartu itu?
“Ehm, Mba ambil saja ya, pinnya 123456. Saya permisi dulu, Naila harus istirahat.” Ia menyerahkan kartu debit itu ke tanganku dan segera berlalu.
“Kakak! Kakak cantik, ketemu lagi ya?” Dari kejauhan kulihat Naila melambai-lambai kearahku
dengan senyum manisnya, mata coklatnya yang cantik mengisyaratkan sesuatu.
******
Setelah kejadian penuh drama hari itu, aku bisa merasakan hidup tenang berkat kartu debit yang diberikan Om Gabriel. Jumlahnya cukup untuk membayar SPP semester depan dan biaya hidup satu bulan ini. Gaji bekerja di Naila’s Choice bisa kutabung sepenuhnya.
Terkadang aku masih membayangkan kejadian hari itu, lucu saja rasanya bertemu dengan orang-orang kaya yang biasanya kulihat di TV. Pasti makanannya enak-enak, rumahnya mewah, mobilnya banyak dan pakaiannya bagus-bagus. Terlihat jelas dari wajah mereka, hidupnya benar-benar bergelimang harta.
Lelaki bernama Om Gabriel, putrinya dan ketiga bodyguar itu. Memiliki kulit putih bersih dan halus. Wajah mereka berbinar, entah perawatan entah kebanyakan uang. Harum tubuh mereka juga berbeda, selain karena parfum mahal yang menyelimuti tubuh mereka, nominal tak berujung di dalam kartu-kartu yang berjejer di dompet mereka memberi aroma berbeda. Aroma uang!
Bukan seperti dompetku yang mengeluarkan aroma karet karena terlalu lama dipakai. Atau kartu debit-ku yang seringkali ditolak mesin ATM karena nominalnya yang tak pernah tersisa setiap akhir bulan.
“Lo lagi mikirin apa?” Lamunanku buyar berkat sentuhan lembut Aira di bahuku.
Sudah 2 minggu sejak aku mulai bekerja di Naila’s Choice dan ia satu-satunya karyawan yang bersedia berteman denganku. Beberapa karyawan lain menjauhiku karena mereka tahu ada orang dalam yang membantuku masuk kesini. Tentu saja bukan Om Gabriel, ia terlalu sibuk untuk mengurusi hal remeh-temeh seperti ini. Lelaki bernama Om Wahyu itulah yang membawaku kesini dan mengurusi semuanya.
“Ra, kenapa kamu ga menjauhiku?” selidikku. Terasa aneh memang jika semua karyawan di sini menjauhiku namun hanya Aira yang mendekatiku.
“Ehm, sebenarnya gue naksir Pak Wahyu.” Wajahnya bersemu merah. Ia menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya.
Aira selalu bicara dengan gaya bahasa lo gue yang membuat aku mau tak mau ikut mengimbangi gaya berbicaranya.
“Serius? Emang ganteng sih dia,” ujarku pendek.
“Pak Wahyu itu orang kepercayaan Pak Gabriel Queen, dia Asisten merangkap Bodyguard Naila, karena Naila paling nurut sama Pak Wahyu.”
Wajah Aira benar-benar berbinar. Sorot matanya memancarkan kebahagiaan. Hanya dengan menyebut nama Pak Wahyu, Aira terlihat berbeda.
“Kok kamu tahu, sih? Ra kamu stalking Pak Wahyu ya?” Jariku ikut menunjuk wajah Aira.
“Hehehe, cuma di medsos kok Queen, gue beneran suka Pak Wahyu, bukan karena jabatan atau kekayaan dia.” Ia berusaha meyakinkanku dengan membelai-belai lenganku.
“Kenapa ga suka sama Pak Gabriel?” Kini aku menopang daguku dengan tangan. Rasa penasaranku pada lelaki kaya itu membuatku berani menyebutkan namanya di hadapan Aira.
“What? Lu gila ya? Pak Wahyu aja susah dapetinnya, Pak Gabriel apalagi. Lagian dia uda punya anak, Naila itu tuan putri banget Queen. Mati deh gue kalo punya anak model macem dia.” Ia menggeleng beberapa kali lalu bergidik ngeri.
“Naila selalu ikut Papanya?” tanyaku, karena hari ia dikerjar dua pedofil gila itu ia juga bersama Papanya.
Aira mengangguk, “Makanya gue bilang dia tuan putri banget. Pak Gabriel memanjakan Naila sampe titik darah penghabisan. Bahkan Naila ikut saat Rapat Umum Pemegang Saham. Dia ngekorin Papanya kemana-mana buat mastiin ga ada cewek yang nganjen sama Papanya.”
What The Hell!
Pantas saja cara Naila melihatku hari itu sedikit aneh. Sepertinya itu peringatan agar aku menjaga jarak dari Papanya.
“Eh, istri Pak Gabriel kemana? Kok Naila ikut Papanya terus, sih?”
“Hussh! Jangan keras-keras,” bisik Aira.
“Kenapa memangnya?”
Aira menarikku mendekat, ia berbisik di telingaku dengan suara pelan, “Istri Pak Gabriel kabur pas Naila baru lahir, gila ga sih? Kabarnya istri Pak Gabriel itu artis terkenal gitu, terus karena menikahi Pak Gabriel dia nggak bisa berkarir lagi, akhirnya kabur deh. Stress kali yak, suami kaya Pak Gabriel ditinggal sendiri, gue mah boro-boro,” celetuk Aira lagi. Ia kembali duduk di posisi semula dan berpura-pura tidak berdosa.
“Pak Gabriel ga berencana menikah lagi memangnya?” Rasa penasaranku semakin membuncah.
“Kabarnya nih, Pak Gabriel bakal menikahi perempuan yang dipilih sama Naila, karena prioritas Pak Gabriel itu Naila,” bisiknya lagi.
Aku terdiam mendengar penuturan Aira. Hidup sebagai orang kaya juga tidak semudah yang dibayangkan. Mereka punya permasalahannya sendiri, hanya saja tak ada celah sedikitpun bagi orang biasa seperti kami untuk mengintip luka orang-orang berdompet tebal itu.
Hatiku sedikit merasa iba padanya, ia membesarkan putri kecilnya seorang diri selama ini. Terlihat jelas di hari pertama kali kami bertemu, ia sangat kesulitan. Si agresif Naila dan sifatnya yang mendominasi pasti tidak mudah dihadapi.
.
.
.
.
To Be Continued,
sampai jumpa di bab selanjutnya 🥰
love,
bemine_97**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
kennytytyan
lah di kasih kartu hahahah
2022-09-22
0
winda hikari
suka bacanya...g bertele2...
2022-03-26
0
Happynes Sarumaha
Mulai tertarik bacanya
2021-12-19
0