Kuhempaskan tubuhku pada sofa mewah di ruang tamu. Pak Bagas dan Pak Wahyu sudah pulang 30 menit yang lalu setelah menolak undangan makan siang dariku. Moly ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.
“Padahal elo yang jadi simpanan, gue ikut kecipratan enaknya.”
“Wah, sembarangan lo kalo ngomong suka bener.” Lalu kami berdua tertawa dengan keras.
Benar kata orang, kemewahan bisa membutakan. Buktinya saat ini aku sudah tidak ragu lagi menyebut diriku simpanan, karena apartemen mewah yang diberikan Om Gabriel untukku dan Moly.
“Laper gue, masak dah lu sana!”
“Gue nyonya sekarang, elu yang masak,” jawabku dengan nada bercanda.
“Sok iya lu, banyak gaya, masak sana lu, peraturan di kos lama tetap berlaku.” Jari telunjuk Moly menunjuk wajahku.
Aku bangun dengan malas dan melangkah menuju dapur, memeriksa bahan makanan yang bisa kumasak saat ini. Aku membuka rak gantung, di dalamnya sudah terisi berbagai jenis mie instan dan berbalok-balok keju.
Langkahku beralih pada kulkas dua pintu di sebelah wastafel. Kulkasnya sangat besar hingga aku bisa bersembunyi di dalamnya. Kulkas itu juga penuh makanan, mulai dari sayuran, buah-buahan, yogurt dan berliter-liter susu serta jus yang berjejer di dalamnya.
Bahan makanan itu malah membuatku pusing, selama ini aku dan Moly tak pernah punya persediaan makanan sebanyak ini. Kami terbiasa membeli sebanyak yang kami butuhkan dan dompet kami sanggupi.
“Sudahlah, mi instan saja.” Aku meraih dua cup mi instan pedas dari rak paling tinggi. Sialnya tinggiku tak banyak membantu. Aku berusaha berjinjit demi dua cup mi gelas yang sungguh menggoda itu.
Di tengah-tengah kesulitan itu, sebuah tangan membantuku meraih dua gelas mi instan yang kumaksud.
“Cologne itu!” Aku segera berbalik mengenali wangi yang baru saja kucium.
Tepat di depanku Om Gabriel sudah berdiri. Ia memegang dua cup mi instan di tangan kanannya.
“Om, sejak kapan di sini?”
“Sejak kamu melanggar perintahku untuk tidak makan mi instan.”
“Terus, kalo tidak boleh di makan, kenapa disediakan?” Aku ngambek, sungguh kekanak-kanakan sekali. Bagaimana pun selama ini mi instan adalah sahabat karibku selain Moly.
“Untuk Moly.” Nada bicaranya seringan udara. Sumpah! Ingin rasanya kucubit ia.
“Kemarilah!” Ia menyeretku dengan tangan kanannya tanpa menungguku selesai berfikir. Aku melirik mi instan yang menertawaiku di dapur. Sungguh mi instanku, aku mencintaimu!
Aku duduk di sofa mengikuti perintahnya, ia ikut duduk di sebelahku. Tangan kanannya bergerak melepas ikatan rambutku. Rambutku segera tergerai bebas hingga ke pinggang. Untung saja aku sudah keramas tadi pagi!
Kini Om Gabriel menatapku lekat-lekat, wajahnya semakin mendekat hingga aku bisa mencium wangi mint darinya. Deru nafasnya yang pelan menyapu wajahku. Perasaan itu kembali, perasaan yang kurindukan sejak dua hari lalu.
Ia menciumku pelan, tangannya perlahan menembus rambutku hingga ke tengkuk, menahannya untuk memperdalam ciuman kami. Aku yang memang merindukannya membalas setiap pergerakannya, tanpa malu-malu aku melingkarkan tanganku di lehernya, membelai pelan leher jenjangnya sembari mengikis habis jarak di antara kami.
Tubuh kami tak lari berjarak, tangan Om Gabriel bergerak lembut membuka satu persatu kancing kemejaku. Ia sangat lihai hingga aku tak berdaya di hadapannya. Ia melepaskan ciuman kami, menatap mataku dengan isyarat meminta lebih. Aku hanya diam saja, aku menginginkannya sama seperti dirinya.
Ia menarikku ke pangkuannya, kedua kakiku kulingkarkan di pinggangnya dengan posisi Om Gabriel yang duduk di sofa. Ia kembali menyerang bibirku pelan, sangat pelan dan memabukkan. Ciumannya beralih ke leherku, mengecup beberapa kali lalu meninggalkan bekas di sana, ciumannya semakin turun hingga ke tulang selangka. Semakin turun hingga ke belahanku, ia menurunkan kemejaku yang masih bertengger di bahu hingga ke pergelangan. Membuat tubuh atasku yang dilindungi bra terekspos di hadapannya.
Ia begitu sibuk di sana, mengecap berulang kali, tak perduli padaku yang menuntut lebih darinya. Begitu ia puas, ia menarik kembali kemejaku seperti semula, mengaitkan kancingnya dan membawaku turun dari pangkuannya.
“Aku tidak akan melakukan lebih dari ini Queen, karena itu, berhentilah menyamakan dirimu dengan gadis simpanan,” ucapnya.
Ia mengecup keningku pelan lalu beranjak dari duduknya menuju dapur, melepas jas mahalnya dan menggulung lengan kemejanya. Ia mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas, meraih panci dari rak dan mulai memasak.
Bau harum segera tercium begitu bunyi mendesis terdengar dari minyak yang bertemu bombay. Aku mendekat ke arahnya setelah mengikat kembali rambutku asal.
“Om masak apa?” Aku ikut berdiri di sebelahnya yang sedang sibuk. Ia membuat nasi goreng sosis dalam jumlah banyak. Darimana nasinya? Sepertinya di rice cooker sudah tersedia nasi hangat.
“Makanan!”
“Itu juga aku tahu Om!” Aku mendengkus kesal. Ia masih saja menyebalkan.
“Panggil Moly! Kita makan bersama.”
Ah, benar! Moly juga bersamaku.
Aku mencoba menghubunginya dengan ponselku, sesuai dengan perintah Pak Wahyu, mungkin Moly sedang di apartemen lain karena Om Gabriel datang kemari. Deringan pertama hingga terakhir, Moly tetap saja tidak menjawab telfonku.
“Apa yang kaulakukan Queen?” Om Gabriel mendekatiku dengan dua piring nasi goreng sosis yang sangat menggiurkan. Ia meletakkannya di meja makan lalu meraih piring ketiga.
“Menelfon Moly.”
“Apa harus menggunakan telfon untuk memanggil temanmu yang sedang di kamarnya?”
Gila! Moly bersembunyi di kamar? Ia pasti mendengar semua desahan nakal dari mulutku.
Aku berlari kecil menuju kamarnya. Kuketuk beberapa kali, aku gugup membayangkan sikap Moly padaku nantinya. Setelah ketukan ketiga, pintu kamarnya terbuka. Gadis itu keluar dengan pakaian santai dan sepertinya baru selesai mandi.
“Tutupi cupangmu itu! Bisa-bisa aku tidak nafsu makan.”
Segera kututupi dengan tangan. Aku malu, benar-benar malu.
Kami makan siang bersama, sepiring nasi goreng buatan Om gabriel yang ternyata jauh lebih enak dari buatanku dan segelas susu hangat. Rasanya seperti satu keluarga, hatiku menghangat setiap kali aku menatap Om Gabriel.
Lelaki yang kutatap dari tadi sibuk menyendok nasi dengan tangan kanannya dan memainkan ponsel dengan tangan kiri. Sesekali ia merengut, sesekali tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
Belum selesai makan, ia bangkit dari duduknya. Meraih jasnya dari sandaran kursi lalu melabuhkan kecupan di pipiku.
“Lanjutkan makannya, aku harus kembali Queen.”
“Ke kantor?”
“Naila mencariku.” Ia segera mengambil langkah keluar dari dapur.
“Om,..”
Om Gabriel kembali berbalik, ia menepuk pelan puncak kepalaku seolah-olah paham maksud panggilanku.
“Lain kali aku akan mengajakmu menemui Naila.” Ia tersenyum, senyum yang aku rindukan dua hari ini.
Seolah terhipnotis, aku mengangguk padanya.
.
.
.
.
.
To Be Continued,
sampai berjumpa di bab selanjutnya.
love,
bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Esti Jumaryati
ke 4 kali nya baca, ngga ada bosen
2024-03-17
0
Qaisaa Nazarudin
Waaahh ini om om bagus banget selain tajir,pinter masak,dan memperlakukan wanitanya dgn baik,,😂😂😜😜
2023-01-15
0
Dira Preti
aduh monly pindah aj thor di apartemen lain wkwkwk
ganggu mereka thor
2022-09-21
0