Manajer butik tempatku bekerja masih mengipas-ngipas dengan tangannya. Deru pendingin ruangan sepertinya tak mampu meredam panas di hatinya. Ia menatapku berulang, tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku namun mulutnya tak mengeluarkan kata-kata.
Beberapa karyawan lain ikut berbaris di belakangku, beberapa saling berbisik dan menguatkan. Mereka gundah, sepertinya ini jadi akhir dari pekerjaan kami hari di sini.
“Kamu, Queeennnnn, aku benar-benar muak padamu!” cecarnya padaku, liurnya muncrat ke wajahku yang cantik bagaikan bidadari ini. Dan anehnya lagi, aku tidak merasa bersalah sama sekali.
“Kamu tahu, hah? Itu, gadis itu, dia....” Ucapan manajer terhenti, ia tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya.
“Dia simpanan, Bos Besar?” tanyaku polos.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, Manajer mengayunkan tangannya yang terasa perih setelah memukulku. Aku meringis kesakitan, belum pernah ada yang menamparku sekeras ini sebelumnya. Mulutku mengecap sesuatu yang asing, rasa zat besi memenuhi ruang mulutku, sepertinya bibirku berdarah.
“Keluar kamu dari sini, jangan berani-beraninya kamu kembali kemari. Kamu tahu? Sikap kasarmu barusan tidak hanya menghancurkan hidupmu sendiri, namun juga semua karyawan di butik ini. Kamu boleh bersikap sombong karena wajah cantikmu itu, tapi ingat, sikapmu barusan tak akan membuatmu hebat. Lihat saja nanti, akhir hidupmu tak akan lebih baik dari menjual diri di jalanan,” cecarnya lagi. Aku terdiam, ini penghinaan terbesar dalam hidupku.
“Anda sudah puas memaki saya? Lalu apa bedanya Anda dengan gadis itu? Hanya karena punya kuasa lalu bersikap seenak hatinya pada saya? Lihat ini! Anda lihat ini baik-baik, ia menarik kerah baju saya hingga kancingnya terlepas dan menjambak rambut saya. Tapi anda menampar saya hingga bibir saya berdarah hanya karena saya mendorongnya?” Aku tak mau mengalah.
Bagaimana bisa aku mengaku salah saat aku tidak bersalah? Gadis itu yang terlebih dahulu mengamuk karena hal sepele. Ia marah-marah saat aku menjelaskan bahwa set pakaian yang ia minta sudah habis terjual dan harus menunggu re-stock kembali. Namun gadis itu mengamuk, mengumbar kemana-mana bahwa ia kekasih bos besar dan keinginannya harus dipenuhi.
Plak!
Tamparan kedua mendarat di pipiku. Kali ini aku bisa merasakan darah mengalir pelan di sudut bibirku. Aku ingin marah dan menuntut atas perlakuannya padaku, namun jika aku menuntut perusahaan akan memproses hal ini dan gajiku bulan ini tak akan keluar. Tak punya gaji berarti tak makan lagi.
“Pergi kamu, pergi kamu dari sini!” Usirnya dengan kedua tangannya menyeretku keluar dari butik. Beberapa pengunjung Mall melihatku, mereka berbisik-bisik dan melirik penasaran. Aku berusaha berdiri tegak, memperbaiki tatanan rambutku, belum selesai aku berdiri, satu benda mendarat di punggungku,
“Kamu dan barang-barangmu sama-sama busuknya.” Hinanya lagi. Aku memungut tas ransel lusuhku, membersihkannya dari debu dan mengalungkannya di lengan. Dengan diantar tatapan heran dan menyelidik dari para pengunjung toko, aku berjalan pelan menuju pintu utama Mall.
“Ah, ini sudah pekerjaan yang ke berapa? Jika bulan depan aku belum dapat pekerjaan pengganti, bisa-bisa aku mati kelaparan,” gumamku.
****
Aku menutup kedua mataku, merasakan hembusan angin sore dan berusaha menenangkan diri. Kuraih ponselku dari tas, membuka aplikasi ojek online dan memesannya untuk kembali pulang ke kost.
Aku terlalu lelah jika harus pulang dengan bus lalu berjalan kaki bermeter-meter menyusuri gang sempit. Uangku tidak cukup untuk menyewa kamar kost di dekat kampus yang harganya selangit itu.
Mba, saya di parkiran Mall, Mba bisa turun kesini?
Kubaca pesan yang tiba-tiba masuk dari driver ojol itu. Sepertinya ia baru selesai mengantar penumpang, karena itulah ia ada di sana. Aku menghela nafas lagi, menyeret tas lusuhku yang berat dan berjalan pelan menuju parkiran.
Parkiran Mall yang cukup luas membuatku kebingungan mencari driver ojol itu, aku mendengkus kesal beberapa kali. Menghentak-hentakkan heels semata wayang milikku sambil mengitari area parkiran dengan mataku.
“Kakak....” Aku menoleh ke sumber suara, mataku menangkap seorang gadis mungil yang terlihat ketakutan. Ia berlari ke arahku dan menghambur ke pelukanku. Aku terheran setengah mati, ia terisak-isak menangis dan tubuhnya bergetar hebat.
“Kakak, aku takut, me-mereka o-orang jahat.” Mataku mengikuti jari mungilnya yang menunjuk ke satu arah. Lima meter dari kami berdiri, dua pria menatap ke arah kami dengan tatapan membunuh. Apa maksudnya ini? Mereka penculik?
Kedua orang itu tidak mendekat karena aku berdiri tepat di bawah CCTV parkir, padahal aku sendiri tidak yakin jika CCTV itu benar-benar berfungsi. Aku terkejut melihat resleting salah satu dari kedua orang jahat itu terbuka. Sekarang aku paham siapa mereka, kupeluk erat-erat bocah yang masih menangis itu. Kulepaskan kedua belah sepatu heels-ku yang runcing bagai jarum dan menodong mereka dengan berani.
“Mendekatlah, akan kubunuh kalian satu persatu, dasar pedofil gila!” teriakku.
Keduanya terdiam, melirik kiri-kanan memastikan tidak ada orang lain. Memang benar, hanya kami berempat yang ada di sana, bahkan driver ojol itu tak tahu rimbanya. Sialnya mereka mendekat begitu memastikan tak ada orang lain di sana.
“Serahkan anak itu, ini tidak ada urusannya denganmu!” sahut orang aneh dengan resleting terbuka.
“Yaish, selangkah kalian mendekat, aku akan berteriak, suaraku bisa menembus hingga lantai teratas gedung ini,” balasku. Aku berusaha menahan rasa takutku.
“Kamu benar-benar wanita gila. Begini saja, kamu temani kami dan kami lepaskan anak itu. Kamu terlihat sangat menarik dengan pakaian ketatmu itu,” ucap orang aneh yang satunya lagi.
“Tolongggg.... ada orang aneh di parkiran.” Aku mengayun-ngayunkan lenganku ke arah kamera CCTV di atas kepalaku, sialnya CCTV itu tidak aktif.
Mereka semakin mendekat, aku mengambil langkah mundur dan mulai memperkirakan kemungkinan melarikan diri. Tapi bocah di gendonganku cukup berat, aku tidak akan sanggup berlari jauh. Menyeretnya lebih tidak mungkin, ia tidak akan sanggup menyamai langkahku.
“Papa.. Papa.. Naila takut. Papa dimana? Om Bagas, Om Wahyu, Om Jey,” rintih bocah itu. Sepertinya ia terpisah dari Papanya, lalu siapa tiga Om-Om yang disebutkannya itu? Ah, masa bodoh, urusan saat ini lebih penting.
“Anak manis, sini sama Om,” rayu orang aneh dengan resleting terbuka.
“Sial, sial, sial, bagaimana ini? Bagaimana jika kami berdua jadi korban hari ini?” gumamku dalam hati.
“Tolong, ada orang di sana? Di parkiran ada orang aneh, tolong kami,” teriakku lagi. Kedua orang aneh terkekeh melihatku meminta tolong.
“Naila, Naila, Kamu dimana? Ini Om Wahyu.” Sayup-sayup kudengar suara memanggil nama gadis kecil itu.
“Om Wahyu...” jerit gadis kecil itu, jeritannya cukup keras hingga memekakkan telinga.
“Tolong, kami di sini, kami di parkiran VIP.” Aku ikut meminta bantuan, kedua pria aneh itu menggigil ketakutan setelah mengetahui ada pertolongan yang datang.
Dari jauh, mataku menangkap dua sosok berbaju hitam dengan tubuh besar mendekat ke arah kami. Jangan-jangan mereka komplotannya? Mati aku hari ini!
“Naila...” panggil salah satu dari mereka. Gadis kecil itu menoleh dan melompat turun dari gendonganku. Kini ia tertawa melihat kedua orang aneh tadi dikejar dua pria berbaju hitam dan dibekuk. Pria berbaju hitam tadi mengikat kedua orang aneh itu dengan tali pinggang mereka dan melemparnya ke lantai.
Naila menghambur ke pelukan pria berbaju hitam itu. Lelaki tegap itu memeluknya erat dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan.
“Om, Om Wahyu, Naila takut. Mereka orang jahat, Om harus jahatin mereka juga ya?” Waduh! anak ingusan ini benar-benar tidak bisa ditebak.
“Tentu saja sayang, Naila jangan takut ada Om di sini.” Lelaki yang disebut Om Wahyu itu mengalihkan gendongannya pada Naila ke lelaki berbaju hitam di belakangnya. Ia merunduk turun dan memperhatikan dua orang aneh yang ketakutan itu.
“Naila, Naila sayang.” Dua lelaki lain menyusul, satu di antara mereka memakai baju hitam sama seperti dua orang sebelumnya, sedangkan satunya lagi memakai kemeja kantoran yang kusut dengan dasi tertarik. Jasnya ia tenteng dan rambutnya acak-acakan. Ia terengah-engah menghampiri gadis kecil itu.
Lelaki itu segera memastikan keselamatan Naila dan menciuminya berulangkali. Gadis kecil itu tertawa dan merapikan rambut lelaki berkemeja kantor.
“Papa, Papa capek?” tanyanya lagi. Tangannya melingkar di leher lelaki berbaju hitam dan kepalanya mendongak ke arah lelaki yang ia panggil Papa. Lelaki itu tersenyum, lalu mengangguk pelan.
Ia berjalan mendekati kedua orang aneh tadi, wajahnya menunjukkan amarah saat salah satu lelaki yang dipanggil Om Wahyu menjelaskan kemungkinan bahwa dua orang itu pedofil.
Bruuaakk!
Kedua lelaki itu terbatuk-batuk setelah mendapat tendangan cukup keras dari Papa Naila.
“Bajingan, beraninya kamu menyentuh putriku. Kamu sudah bosan hidup, hah?” teriaknya.
Seolah sudah paham, lelaki yang menggendong Naila menutup telinga Naila dengan kedua tangannya dan mendekap Naila dalam pelukannya. Aku tidak tahu berapa banyak tendangan yang dilepaskan lelaki berkemeja kantoran itu, karena sepanjang penghakiman itu aku menutup mataku tidak berani melihat.
“Mba?” Sebuah suara berat mengagetkanku. Aku menurunkan kedua tanganku dan kaget setengah mati mendapati lelaki berbaju kemeja tadi sudah berdiri di depanku. Aku mendongak mencari wajahnya, ia terlalu tinggi lalu melangkah mundur agar aku tidak perlu mendongak terlalu lama.
“Terima kasih sudah menyelamatkan putri saya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mba tidak ada. Mba bahkan dengan berani membela putri saya seorang diri. Saya malu, kami berempat gagal menjaga gadis 5 tahun itu.” Ia menjelaskan panjang lebar tanpa kuminta. Aku sendiri bingung bagaimana harus bereaksi terhadapnya.
Wajahnya terlihat lelah sekali, rambutnya kusut luar biasa, bahkan kemejanya kotor di sana-sini. Walau begitu, masih terlihat jelas bahwa sebenarnya ia pria yang tampan. Wangi parfumnya saja masih memenuhi rongga hidungku. Kubayangkan berapa harga parfum yang ia pakai, parfum itu masih beraroma bahkan setelah pria ini berlarian kesana-kemari.
“Tidak masalah, Pak, eh Om, eh?” Aku gelagapan sendiri. Haruskah ia kupanggil Om? Ia terlalu muda untuk dipanggil pak. Tapi apa hakku memanggilnya Om?
“Perkenalkan, saya Gabriel. Papanya Naila.” Ia mengulurkan tangannya, senyumnya mengembang sempurna. Ya Allah, ciptaanmu yang satu ini berbeda sekali dari Vino! Bisikku dalam hati.
“Saya Queen.” Aku menerima uluran tangannya. Tangannya begitu besar dan hangat, telapak tangannya bahkan lebih lembut dari telapak tanganku. Beberapa detik berjabat, aku menarik tanganku. Aku gelagapan menahan malu, kulihat dari ujung mata ia tersenyum sambil memandangiku.
“Mba, bekerja di sini?”
“Beberapa jam yang lalu sih iya,”
“Maksudnya?”
“Saya baru saja dipecat,” jelasku terus terang. Kulirik lagi wajahnya, ia seperti kebingungan.
“Mba masih mau bekerja di sini? Saya bisa merekomendasikan Mba ke toko lain, ” tawarnya.
Kuingat jelas saat itu, perasaanku benar-benar bahagia. Mungkin ini pahala atas pertolonganku terhadap gadis kecil tadi. Gadis mungil bermata coklat yang sedang memeluk lelaki di sana.
.
.
.
To Be Continued,
berikan dukungan untuk kisah ini dengan klik like, komentar, rate bintang 5 dan vote ya...
terima kasih banyak,
Sampai jumpa di bab selanjutnya 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Kholiana Hwi
sru
2021-08-15
0
dhapz H
ada yg memberi jln hidup quen lbh baik
2021-07-31
0
Ken Tanaka
masih dalam mode minyak
2021-06-08
0