“Kalian mau masak apa? Kami makan malam di sini ya?” Tiba-tiba Pak Bagas yang sedari tadi diam di sofa menimpali percakapan kami. Ia menoleh pada kami yang sedang bertukar kata.
“Tentu saja, tidak seru hanya berdua dengan Moly,” jawabku cepat. Aku tidak sempat memikirkan sebab akibat yang akan tibul dengan mengizinkan mereka makan bersama kami di sini.
Moly memandangiku dengan sudut matanya, ia memutar bola matanya setelah mendengar perkataanku barusan.
“Yang benar saja Queen,” gumam Moly yang hanya bisa kudengar. Aku membalasnya dengan senyuman kecut, meminta maaf padanya atas keputusan sepihakku terhadap mereka. Padahal aku tak tinggal sendiri di apartemen ini.
Mengundang masuk tiga pria ke dalam apartemen? Bisa kubayangkan bagaimana cibiran orang-orang jika mereka tahu apa yang kami lakukan. Namun, di apartemen mewah ini, tak banyak penghuni yang lalu lalang. Aku bahkan tidak mengenal tetangga depan apartemenku yang hanya sekali kulihat saat hendak kuliah kemarin.
Pak Bagas dan Pak Wahyu segera menuju dapur begitu mendengar persetujuanku. Pak Jey menurunkan Naila dari gendongannya dan menitipkan tuan putri itu padaku. Sepertinya mereka akan berperang di dapur, mereka mulai mengeluarkan bahan makanan dari kulkas dan alat masak dari rak.
“Pak, saya bisa masak! Tak perlu merepotkan, kalian tamu di sini,” ujarku saat aku melihat mereka mulai beraksi di sana.
“Masakan kami lebih enak dari masakanmu Queen,” ujar Pak Wahyu cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.
“Pak Wahyu tahu darimana aku tidak bisa memasak?” jawabku dengan tangan yang berusaha memegangi Naila.
Bocah nakal itu tidak bisa diam persis cacing kepanasan. Loncat kesana-kemari hingga menumpahkan isi botol susunya. Moly segera mengambil kain bersih demi membersihkan tumpahan susu agar tidak meninggalkan bekas di lantai mahal itu. Kepalaku mendadak pusing melihat kelakuannya, bagaimana bisa lelaki setenang Om Gabriel punya benih macam ulat begini?
“Naila!” tegur Pak Wahyu dari dapur. Wajahnya terlihat marah melihat susu coklat yang berhamburan di lantai dan Moly yang sibuk mengepel.
Bocah itu terdiam, ia mematung di tengah-tengah rumah dengan wajah merengut. Tebakku ia akan segera menangis setelah dimarahi Pak Wahyu. Namun tebakanku salah, tak lama berselang gadis itu tertawa. Ia mendatangi Pak Wahyu dan memeluk kaki sang Bodyguard.
“Naila minta maaf Om Wahyu ya, janji ga nakal lagi,” tuturnya.
Aku sedikit kagum pada Naila yang mau mengakui kesalahannya. Bagaimana cara Om Gabriel mengajari Naila hingga ia bisa bersikap seperti itu di usianya yang masih belia?
Merasa kakinya dipeluk, Pak Wahyu menundukkan kepalanya beberapa saat, “Jangan minta maaf sama Om, Om tahu kamu sedang menjahili Kak Queen!” Pak Wahyu tak bergeming, ia kembali sibuk mencuci bahan makanan di wastafel.
Dari dudukku, jantungku serasa jatuh, “Anak itu sengaja melakukannya? Ia benar-benar tidak menyukaiku?” aku bermonolog di dalam hatiku.
“Nanti Naila minta maaf.” Ia masih saja merengek di kaki Pak Wahyu.
“Sekarang Nak!” sahut Pak Jey.
Gadis itu merengut kembali, ekspresinya berubah setiap detik. Mereka pasti kesusahan menghadapi Naila, anak itu tidak bisa diatur dan tidak mau diatur.
Aku harus bersikap bagaimana? Ia anak dari orang yang paling kusukai dan anak itu tidak menyukaiku. Hingga dengan sengaja membuat kekacauan untuk menggangguku. Haruskah aku mencoba mendekatinya seperti saran Pak Bagas dulu?
“Naila, kemari, nonton Barbie yuk?” bujukku. Seharusnya ia menyukai tontonan seperti ini jika dilihat dari tasnya yang bergambar Barbie.
Benar saja! Ia kembali tersenyum dan berlari mendekatiku. Ia naik ke sofa dan menunggu dengan tenang. Aku memutar Rapunzel dan membuat playlist film sejenis di Youtube dari ponsel yang diberikan Papanya dan membiarkan ia menguasai ponsel itu sendirian di sana. Keadaan kembali tenang, Aman!
****
“Kemarilah!” perintah Pak Wahyu dari dapur.
Aku dan Moly segera bangkit begitu ketiganya mulai menata makan malam di meja. Keningku berkerut saat melihat jenis masakan yang mereka masak. Apa-apaan ini? Mereka koki? Atau mereka membeli makanan saat aku sibuk bermain dengan Naila? Darimana datangnya omelet, carbonara, hingga sosis tumis itu?
“Pak Wahyu, anda yang memasaknya?” tanyaku sambil menarik kursi dan mendudukkan Naila di sebelah Pak Wahyu.
“Tentu saja kami bertiga Queen. Kami belajar memasak saat kuliah dulu, duduk dan nikmatilah! Semoga kamu suka.”
Aku mengangguk pada Pak Wahyu. Rasanya menyenangkan bertemu orang-orang hebat namun rendah hati ini. Kukira semua orang kaya bersikap kasar pada orang yang serba kekurangan sepertiku, namun nyatanya, setiap orang yang dikenalkan Om Gabriel bersikap baik.
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Pak Jey, Pak Bagas dan Pak Wahyu tertidur di depan TV selagi menonton Avanger. Si mungil Naila tertidur di pangkuanku dan Moly di sofa, mereka kekenyangan dan kelelahan setelah bermain semalaman.
Aku membangunkan Moly agar tidur di kamar. Gadis itu menggeliat beberapakali dan berjalan sempoyongan ke kamarnya. Aku membopong si mungil Naila untuk tidur denganku. Kurebahkan tubuh kecilnya yang berat itu di kasur dan menyelimutinya. Aku kembali keluar membawa selimut untuk ketiga pria itu, menyelimuti ketiganya lalu masuk ke kamar.
Setelah berganti pakaian tidur, aku ikut merebahkan tubuhku di sebelah Naila. Gadis mungil itu benar-benar terlelap hingga tak sadar akan guncangan pada ranjang. Aku menghela nafas berulangkali, menatap kosong pada loteng kamar sedang pikiranku dikuasai Om Gabriel. Bagaimana bisa ia tidak menghubungiku sebulan lamanya? Apa ia tidak merindukanku? Apa hanya aku yang merindukannya?
Aku berbalik menghadap Naila. Menatap dalam-dalam wajah mungil Naila, mata, hidung bahkan bibir bocah itu sama persis dengan Papanya. Ah, rinduku semakin merajalela, haruskah aku menghubunginya? Apa ia akan terganggu? Tapi aku rindu.
Pelan-pelan aku mencoba melepaskan ponselku dari genggaman Naila. Membersihkan layarnya yang berminyak karena ulah anak itu, lalu mencari kontak Om Gabriel. Aku ragu-ragu, ini sudah larut malam dan aku tidak tahu ia ada di belahan dunia mana. Bagaimana jika ia sedang istirahat? Bagaimana jika ia sedang rapat? Bagaimana jika ia sedang bersama wanita lain? Ah tidak, yang satu itu tidak boleh terjadi.
Aku mulai menekan keyboard mengetik pesan singkat, mengirim pesan jauh lebih aman dari menelfon. Selain itu, aku tetap bisa memastikan ia tidak bersama wanita lain, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Om, apa kabar?
Aku mengernyitkan dahi saat melihat status pesan sudah terkirim. Pesan macam apa ini? Benarkah aku sedang menanyakan kabar kekasihku sendiri? Betapa tidak romantisnya hubungan kami.
Tak lama berselang, ponselku bergetar, segera kubuka pesan yang baru masuk itu,
Hai Queen, aku baik-baik saja,
Aku akan menemuimu setelah pulang,
Jangan khawatir, kau adalah rumahku selain Naila,
Aku membaca pesan itu berulang, wajahku bersemu merah dan rasa rinduku menguap di udara. Om Gabriel benar-benar sudah menguasai hatiku, bahkan pesan seperti ini bisa membuatku bahagia.
.
.
.
.
To Be Continued,
Love Love,
Bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Bajulmati
makin penasaran nich
2022-02-16
0
YaNaa Putra Umagap
uwu
2021-10-09
0
Novita
kok aku rasa da yg janggal yaaa dengan hubungan Queen dan Gabriel???
2021-08-15
0