“Kita makan di sini saja, ada karyawanku di sana. Kamu tidak keberatan kan makan dengan Om-Om ini?” tanyanya padaku begitu mata kami beradu.
Apa maksudnya ada karyawannya di dalam sana? Bagaimana jika karyawannya berfikir aku ini simpanan Om Gabriel? Tapi perutku sudah tidak bisa berkompromi dan jual mahal lebih lama, kuturuti ajakannya dan mengikuti langkahnya dengan ragu-ragu. Masuk ke kafe mahal ini hanya ada dalam daftar impianku, sedangkan bisa makan di sana? Aku hampir tidak berani memimpikannya.
Mataku mengitari seluruh sudut ruangan kafe mewah itu, desainnya benar-benar artistik, lampu-lampu gantung, lukisan-lukisan di dinding hingga bentuk meja dan sofa yang aku sendiri bingung menjelaskannya. Sudahlah, itu tidak terlalu penting bukan?
“Pak Gabriel, bergabunglah di sini!” Seseorang memanggil dan mataku langsung mencari sumber suara.
Beberapa langkah di depanku, duduk lelaki agak gemuk dengan perut buncit, kepalanya plontos di bagian depan, kulitnya putih bersih dan ia memakai jas mahal. Om Gabriel tanpa ragu-ragu mendekati mejanya begitu mendengar namanya disebut. Pria ini karyawannya? Malah Om Gabriel yang terlihat seperti bawahan sekarang.
“Duduk, duduk Pak! Wah tidak saya sangka bisa bertemu anda di sini, anda tidak bekerja Pak? Pakaian anda santai sekali.”
Ia menyambut Om Gabriel dengan wajah sumringah hingga mengangguk-angguk saat Om Gabriel tiba di hadapannya. Menurutku, lelaki ini tipe penjilat pada atasannya. Tapi, entahlah. Aku tidak mengenal dunia orang kaya, mungkin saja memang begini perlakukan mereka terhadap orang yang dianggap lebih berkuasa.
“Aku mengambil cuti hari ini, lelah rasanya bekerja terus-menerus,” kata Om Gabriel sembari duduk di sofa berhadapan dengan lelaki itu.
Aku ikut duduk di sebelah Om Gabriel begitu ia mempersilahkanku. Barulah setelah aku duduk, mataku menangkap sosok mungil di balik tubuh bongsor pria gemuk dengan setelan lengkap. Gadis cantik dengan dress selutut itu terlihat cemberut dan sibuk memainkan ponselnya. Ia berulangkali bergelayut manja pada pria di sebelahnya, menunjuk-nunjuk layar ponselnya yang dibalas pria itu dengan ucapan “Ambil saja kalau kamu suka.”
“Wah, Pak Gabriel, ini siapa?” tanya pria itu, kedua bola matanya menatapku selidik, ia tersenyum nakal ke arahku. Gadis di sebelahnya mengangkat wajahnya ikut melihat ke arahku begitu mendengar pertanyaan sang Sugar Daddy. Sepertinya ia tidak suka aku ikut bergabung dengannya. Buktinya, wajahnya semakin cemberut saja.
“Queen, namanya Queen,” Pak Gabriel menjelaskan dengan wajah datar yang disambut anggukan pria itu.
“Queen? Kamu Queen? Penampilanmu seperti Slave!” celetuk tiba-tiba gadis mungil itu. Ia menatapku sinis, sangat sinis hingga aku bisa merasakan kilatan dari matanya.
Ia segera merubah posisi duduknya dan menyilangkan kakinya. Ia menarik tas yang tersembunyi di punggungnya dan meletakkannya di atas meja. Tas branded miliknya sengaja ia pamerkan padaku begitu melihat tas lusuh milikku. Tas ransel kulit berwarna hitam yang aku sendiri tak ingat lagi kapan aku membelinya.
Belum lagi kemeja oversize dan jeans murah yang melekat pada tubuhku. Kutebak, harga dress gadis itu cukup untuk membeli tiga pasang pakaian yang sama dengan yang kupakai saat ini. Ia pasti bisa menebak harga keseluruh outfit-ku hingga bibirnya maju dan keningnya berkerut.
“Sayang, jangan seperti itu! Hentikan cemberutmu, wajahmu tak cantik lagi,” bujuk pria gemuk di sebelahnya. Ia membelai pelan gadisnya dengan jemarinya yang tak kalah gemuk.
“Dia kenapa sih, ikut-ikutan duduk di sini?Mengganggu tahu, lihat aja penampilannya tuh, kucel banget. Udah gitu dari ujung kepala sampe ujung kaki murahan semua barangnya, jadi ga nafsu kan makannya.” Ia mengomel-ngomel dengan manja tanpa memperdulikan pandangan beberapa pengunjung lain. Mempertontonkan pada dunia bahwa ia Sugar Baby pria gemuk itu.
Aku yang dicecar habis-habisan tidak tahu bagaimana membela diri, sejujurnya aku tidak terbiasa berhadapan langsung dengan orang-orang berduit itu. Selama bekerja pun, orang-orang kaya itu lebih senang dilayani langsung oleh manajer butik karena sudah lebih dulu membuat reservasi. Pekerja paruh waktu sepertiku tak sering mendapat kesempatan melayani pembeli kelas atas seperti mereka.
Om Gabriel juga tidak tertarik membuka mulut. Ia lebih memilih menyesap espresso-nya yang baru datang dan membuang pandangan ke luar jendela.
“Tenanglah sayang, ga enak sama Pak Gabriel, nanti saya belikan kamu semua yang kamu minta tadi ya? Biarkan gadis itu makan bersama kita,” bujuknya lagi. Gadis itu menurut, ia kembali bersandar dan menggelayut manja pada Sugar Daddy-nya.
Tangannya dengan cepat menggeser kiri kanan layar ponselnya. Entah apa yang sedari tadi ia lihat dari layar ponselnya yang mahal, hingga lelaki gemuk di sebelahnya manggut-manggut padanya.
“Istrimu sudah sehat?” Om Gabriel meletakkan espresso-nya dan mengalihkan pandangan pada sepasang kekasih tadi.
“Ia, dia sudah sehat, perawatannya berjalan lancar Pak, syukurlah Bapak memberi bantuan di saat yang tepat,” jawab pria gemuk itu tanpa rasa berdosa. Ia membicarakan istrinya di sebelah kekasih gelapnya, dan gadis mungil itu bersikap tidak peduli.
“Baguslah, jaga ia baik-baik! Alasanku membantumu sejauh itu karena jasa istrimu yang merawat Naila selama beberapa bulan setelah ditinggalkan Ibunya. Bekerjalah dengan baik, aku mempercayakan anak perusahaanku padamu juga karena jasa istrimu.” Lelaki gemuk itu mendorong kekasih kecilnya menjauh dan membenarkan posisi duduknya. Kini ia terlihat gugup dengan ucapan mengintimidasi Om Gabriel. Uang memang menakutkan!
“Ten-tentu saja Pak, pasti saya akan merawatnya dengan baik. Terima kasih atas perhatian bapak selama ini, saya akan mengingatnya sampai mati.” Pandangan Om Gabriel mengarah padaku dan ia tidak berniat menjawab pria gemuk itu.
“Makanlah Queen, katamu kamu lapar kan?” ucapnya padaku begitu pesanan kami sampai.
Ia memesankanku beberapa potong kue yang cantik, ada Red Velvet, Rainbow Cake, Cheese Cake dan Macaroon berwarna-warni yang menarik. Sejujurnya, aku merasa senang bisa menikmati kue-kue mahal di hadapanku. Kue-kue mahal yang hanya bisa kulihat dari TV dan majalah itu kini berbaris di depanku menunggu antrian masuk ke mulutku. Namun sisi lain batinku berkata “Apa bedanya aku dengan gadis mungil itu?”
Pandangan Om Gabriel masih saja lurus ke depan, setiap kali ia menyetir ia bisa sangat fokus hingga mengabaikan orang lain di sebelahnya. Kali ini sikunya bersandar di pintu mobil dan jari-jemarinya yang panjang berulangkali menyentuh bibirnya. Beberapa kali ia menghela nafas, sepertinya ia memikirkan sesuatu.
“Apa ada yang kamu butuhkan, Queen?”
.
.
.
.
To Be Continued,
wah si Om nanya Queen butuh apa,
kalo Author mah langsung bikin list.. hehe,
mohon dukungannya ya, biar Author tambah semangat nulisnya,
terima kasih....
love,
bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
winda hikari
lnjutt hadirr d sini
2022-03-26
0
Alea Wahyudi
ada om ....aku butuh pria sepertimu.... wkwkwk....
2021-12-27
0
Azizah Fazatun
q butuh bgt om
2021-10-09
0