Hari-hari kami menjadi lebih normal setelah pindah ke istana yang diberikan oleh kekasihku oh tidak lebih tepatnya Sugar Daddy-ku. Tempat tinggal yang jauh dari kata kumuh dan melampaui kata mewah, fasilitas yang melebihi kata cukup bahkan terkesan berlebihan, hingga jarak tempuh menuju kampus berkali-kali lipat lebih singkat.
Sudah sebulan juga Om Gabriel tidak menemuiku, setelah terakhir kali ia mampir membawakan PC terbaru sesuai perkataannya untuk mendukung pendidikanku. Aku juga sungkan menghubunginya walaupun sekarang aku bergelar kekasihnya. Ia bukan lelaki sembarang yang ponselnya hanya digunakan untuk membalas pesan dari pacarnya, seperti Vino.
Saat ini kuberikan semua perhatian pada pendidikanku karena Om Gabriel pun tidak tahu rimbanya. Berkat bantuannya, aku tidak perlu lagi pusing memikirkan biaya SPP yang terlampau mahal atau harga makanan yang makin hari makin naik.
Minggu kemarin, tanpa kuminta seseorang yang mengaku dari rumah utama datang dengan dua kantong belanjaan. Ia mengisi ulang kulkas dan makanan instan di apartemenku. Bahkan, ia membantuku membersihkan apartemen meskipun aku dan Moly selalu membersihkannya. Namun wanita itu terlihat tidak puas dengan hasil kerja kami, ia membersihkan seluruh ruangan sendirian dan menolak untuk dibantu.
Siangnya aku tetap bekerja di Naila’s Choice karena tidak ingin menikmati 100% pemberian dari Om Gabriel. Prinsipku, aku harus terus bergantung pada diriku sendiri. Suatu saat jika perasaannya berubah dan ia ingin aku pergi, aku tidak akan kalang kabut karena harus memulai semuanya dari nol. Bagaimanapun kami bagai langit dan bumi, aku harus selalu bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk.
“Gimana ujianmu tadi?” tepukan Moly di bahuku membuyarkan lamunanku.
“Sumpah deh Ly, ga pernah seringan ini ujiannya. Hampir semua pertanyaan aku bisa jawab.” Aku tersenyum sumringah membayangkan IP-ku yang membiru semester ini.
“Ngarep banget Queen, pasti ngebayangin cumloud kan?”
“Tahu aja, haha!”
“Ntar party yuk di apartemen,” bisik Moly.
“Ah, engga-engga, aku malu kalau Om Gabriel tahu kita bawa teman ke apartemennya, lagian kamu mau semua orang di dunia ini tahu soal aku dan Om Gabriel? Kamu juga bakalan terseret sebagai tangan kanan loh.”
“Mikir apaan sih, Queen? Kebanyakan belajar akhir-akhir ini, makanya sengklek kan. Berdua aja kita party.” Moly menggoda, senyumku mengembang “Kalo cuma berdua sepertinya tidak masalah.”
Aku mengangguk menyetujui ajakan Moly, kami berdua sudah mengambil cuti hari ini karena jadwal ujian di siang hari. Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku terus-menerus memikirkan hal yang sama, “Om Gabriel tidak akan marah kan kalo kami sedikit bersenang-senang di rumahnya?” Hah, aku sungkan sekali pada kekasihku sendiri.
Aku dan Moly menyeret paksa dua kantong belanjaan super berat menuju lift apartemen. Kami baru saja menghamburkan gaji yang membeku di rekening karena sebulan ini dibiayai Om Gabriel.
Tak pernah kami menghabiskan uang sebanyak ini sebelumnya. Rasanya benar-benar menyenangkan membeli bahan-bahan makanan sebanyak yang kami mau tanpa khawatir kehabisan uang.
Moly menggeser tubuhnya yang kelelahan demi menekan tombol lift menuju lantai delapan. Pintu lift mulai menutup namun berhenti karena tertahan tangan kekar. Kami tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan ke pintu lift mencari tahu tangan usil siapa yang menghalangi pintu menutup.
Begitu pintu terbuka kembali, mataku menangkap sosok-sosok pria bertubuh tegap di luar lift. Lelaki paling depan menggendong gadis mungil yang menggunakan seragam dari TK elit dan tas bergambar Barbie dengan rambut panjang dicepol tinggi.
“Naila?” panggilku begitu menyadari bahwa mereka adalah Naila dan ketiga Om-nya.
“Kakak!” serunya begitu ia berbalik. Senyumnya mengembang dan tangannya berayun-ayun ke arahku.
“Rencananya mau main-main ke rumah Kakak, eh ketemu di sini. Kata Papa Kakak sekarang dekat sama Papa ya?” Kalimat penuh selidik itu meluncur dari bibir mungilnya tanpa hambatan sama sekali. Jangan lupakan wajahnya yang selalu tersenyum mengintimidasi.
“Engga kok, Naila!” Belum apa-apa gadis mungil itu sudah menginterogasiku.
“Sini, kami bantu Queen!” Pak Jey dan Pak Bagas mengambil alih belanjaan dari tangan kami. Di tangan keduanya tas-tas belanjaan itu ringan bagai angin berlalu. Menggantung sempurna dari lantai memamerkan tonjolan urat yang bagaikan kawat besi di lengan keduanya.
Kami naik menuju lantai 8, aku dan Moly saling pandang karena gugup berhadapan dengan Naila. Berbagai pikiran jelek berkecamuk di kepalaku.
Bagaimana jika Naila mem-bullyku? Bagaimana jika tuan putri itu tidak menyukaiku dan menolak hubunganku dengan Papanya seperti yang ia lakukan selama ini? Apa Om Gabriel akan meninggalkanku? Bukankah Naila selalu menjadi prioritasnya
*****
Begitu pintu Apartemen terbuka, Naila menerobos masuk dan berlari ke dapur setelah melempar tas Barbie-nya ke sofa. Kami mengikuti langkah gadis itu masuk Apartemen. Pandanganku tertuju pada Naila yang sedang berusaha membuka pintu kulkas yang
tingginya hampir tiga kali tubuhnya.
“Sayang, buka sepatunya dulu! Kasihan Kak Queen kalo harus nge-pell lagi, kan? “ seru Pak Wahyu begitu ia melihat kelakuan Naila. Gadis mungil itu sangat nakal, ia menerobos masuk dengan sepatu yang belum dibuka. Ya terserah sih, ini kan rumah Papanya juga!
Naila menurut, ia melepaskan genggamannya dari pintu kulkas dan melepas satu persatu sepatunya tanpa perlu dibantu. Setelah terlepas, Pak Wahyu segera mengambil sepatu Naila dan meletakkannya di rak sepatu.
Pak Jey menghampiri Naila menggantikan Pak Wahyu. Bocah itu kembali sibuk dengan pintu kulkas. Ia membantu si mungil membuka pintu kulkas dan berjongkok menyamakan tingginya dengan Naila.
“Anak Om mau apa? Udah izin belum sama Kak Queen? Kan ini udah jadi rumahnya Kak Queen.” Lelaki bertubuh tegap itu berbicara dengan sangat lembut. Aku dan Moly kembali bertukar pandang, merasa lucu karena nada bicaranya tidak cocok dengan tubuhnya.
“Udah, tadi izinnya pas di lift. Naila mau susu coklat, jus sama es krim.” Jari mungilnya berayun-ayun menunjuk isi kulkas.
“Kapan? Kok Om ga dengar?” Pak Jey menepuk pelan puncak kepala Naila. Gadis mungil itu merengut, sepertinya ia kesal ditanyai terus.
Melihat wajah cemberut Naila, Pak Jey bangkit dan mengambil dua botol susu, sebotol jus mangga dan es krim coklat dari freezer.
“Queen, maafkan Naila ya?” ujar Pak Wahyu padaku.
Aku mengangguk padanya. Tentu saja aku mengangguk, semua isi kulkas itu milik Papanya, sedangkan milikku dan Moly hanya dua kantong belanjaan yang tergeletak di atas meja.
“Kalian belanja untuk apa? Bukankah bahan makanan baru diantar kemarin?” tanya Pak Jey.
Ia kembali menggendong Naila. Kedua tangan gadis itu menggenggam erat dua botol susu coklat sedang sisanya digenggam Pak Jey.
“Rencana mau makan-makan berdua, merayakan final yang baru selesai,” jelas Moly. Wajah gadis itu sedikit memerah dan pandangan matanya tak beralih dari Pak Jey.
“Gunakan saja makanan yang ada di kulkas,” tambahnya lagi.
“Tidak apa-apa kok Pak, kami sering belanja sendiri bahan makanannya. Kalo kurang atau engga sempat beli, baru ambil yang di kulkas,” jelasku.
“Naila mau nasi goreng yang dimasak Papa,” rengek gadis itu saat mendengar kami membahas makanan, lalu kembali sibuk dengan susu coklatnya.
“Nanti kalo Papa udah pulang Nak, ya?” bujuk Pak Jey.
Aku tertegun mendengar kalimat Pak Jey, “Om Gabriel tidak ada di sini?” batinku. Ia tidak mengabariku sama sekali selama sebulan, bahkan pergi pun tidak mengabari. Apa ia tidak mempertimbangkan perasaanku? Apa ini yang namanya kekasih?
“Kalian mau masak apa? Kami makan malam
di sini ya?”
.
.
.
.
To Be Continued,
Love Love
Bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
winda hikari
suka jalan ceritanya...lnjutt lagii
2022-03-26
1
Kholiana Hwi
msak tlur splok kecap aja mcam si kaillA
2021-08-16
0
dhapz H
queen masih bersikap hati"
2021-07-31
1