Guncangan pelan di bahuku membuatku terbangun dari tidur lelapku. Kubuka pelan kedua mataku, berusaha mencari pelaku yang membuat tidurku tertanggu.
“Queen, turunlah! Kita sudah sampai di rumah barumu.”
Ah, benar! Hari ini kami pindah ke apartemen Om Gabriel, apartemen yang dekat dengan kampusku.
Aku melirik kiri-kanan mencari keberadaan Moly “Moly sudah naik duluan,” kata Pak Bagas seolah-olah paham dengan sikapku.
Aku mengikuti langkah Pak Bagas sambil menggerek koper lusuh milikku, sedangkan Pak Bagas membawakan kotak kardus besar berisi buku-buku milikku sejak Sarjana dulu. Aku tidak tega meninggalkan mereka di sana, mereka lah
saksi bisu betapa kerasnya perjuanganku di kota orang. Betapa kerasnya aku memeras air mata dan keringat demi bisa melanjutkan pendidikanku tanpa bantuan dari siapapun.
Kami masuk ke sebuah lift yang terhubung
langsung dari area parkir. Pak Bagas menekan
angka 8 dan pintu lift segera menutup. Perasaanku campur aduk, antara senang sekaligus sedih. Bagaimana pun bujukan Om Gabriel kemarin, aku masih Sugar Baby-nya, gadis yang menukar diriku dengan segala kemewahan yang ia berikan untukku.
Walau begitu, aku sudah terlanjur. Aku terlanjur menyukainya dan tidak menolak cumbuannya padaku kemarin. Aku mengingikan Om Gabriel lebih dari yang bisa kubayangkan, dan itu menyesakkan. Jika kutolak penawarannya kemarin, aku takut tidak bisa bertemu dengannya lagi, aku takut tidak bisa melihat wajah rupawan dan tegasnya lagi, takut tak bisa mencium wangi cologne-nya yang kuat dan mengikuti pergerakannya yang elegan dengan mataku. Betapa memalukannya diriku!
Kami sampai di depan pintu apartemen, Pak Bagas menekan sandi dan pintu terbuka. Ia mendorong pelan daun pintu, begitu pintu terbuka mataku membelalak tak percaya. Apartemen itu benar-benar mirip seperti apartemen yang biasa kulihat di
drama-drama Korea. Ruangannya benar-benar luas dan mewah. Desainnnya sangat manly, mungkin sesuai dengan keinginan Om Gabriel. Setiap ruangan didekorasi dengan perencanaan yang matang, seluruh sudut ruangan diperhatikan, perabot yang digunakan juga disesuaikan mulai dari warna,
bentuk hingga kegunaannya. Apa ini benar apartemen yang dipinjamkan padaku?
“Masuklah Queen! Ini rumahmu.” Pak Bagas
bergeser memberi jalan untukku.
Kulangkahkan kakiku, baru langkah kedua udara dingin menyerang. Sepertinya pendingin ruangan
di apartemen ini tak pernah di matikan. Wangi lavender tercium dari pintu masuk, bahkan wangi perabot baru tak mau kalah unjuk diri padaku. Aku berbalik menatap Pak Bagas, ragu-ragu melangkah lebih jauh.
“Pak, kita tidak salah? Ini terlalu mewah,” ujarku padanya yang ia sambut dengan senyuman tipis.
“Tenang saja, ini benar-benar apartemen Pak Gabriel, dulu beliau yang menempati sebelum menikah dengan Ibunya Naila. Perabot yang lama sudah diganti, termasuk TV dan pendingin ruangan serta lemari es.” Jarinya menunjuk alat rumah tangga yang ia sebutkan barusan.
“Benarkah ia memberikannya padaku?” Tentu saja aku harus menanyakannya, rasanya seperti mimpi.
“Masuklah! Carilah kamar yang tertulis namamu di depannya, jika kamu masih ragu.”
Aku menurut, butuh pembuktian untuk semua kejadian yang sedang kualami saat ini. Kususuri satu persatu ruangan, mulai dari ruang tamu lalu dapur yang bersebelahan, balkon yang hanya dipisah jendela kaca dengan ukuran super lebar, lalu ruang kamar yang di depannya tertulis nama Moly.
Sejenak aku berhenti di depan kamar itu, mengintip ke dalam mencari tahu apa yang sedang ia lakukan. Sahabatku itu sedang sibuk dengan barang-barangnya yang berhamburan di lantai. Ia dibantu Pak Wahyu, keduanya kompak sekali hingga tak berbicara sepatah katapun.
Kamar Moly sangat luas. Tepat di tengah kamar ranjang king size dengan gaya minimalis ditutupi seprei berwarna biru gelap, sofa di sisi kanan, lemari 3 pintu di sisi kiri, di sebelah lemari meja rias dengan model yang sama dengan ranjang.
Kutinggalkan kedua insan itu, Moly terlalu sibuk hingga tidak sadar dengan kehadiranku. Aku
beralih ke pintu di sebelah kamar Moly yang bertuliskan My Queen, sungguh wajahku bersemu merah melihat ukiran dari kayu yang menggantung di daun pintu.
Kubuka pelan kamar yang disebut sebagai milikku, ternyata ukurannya jauh lebih besar dari kamar Moly, nuansa mainly lebih terasa di kamarku. Ranjangnya terbuat dari kayu yang mengkilap, spreinya berwarna hitam dan putih dengan bantal berjibun tertata di atasnya. Lemari di sisi kiri berukuran lebih besar dari milik Moly, meja rias dan sofa yang keseluruhan memiliki desain yang sama.
Sungguh, aku kagum sekali dengan ruangan megah itu. Aku segera masuk dan menghambur ke ranjang, kasurnya benar-benar empuk seolah-olah memelukku dengan lembut. Wangi lavender tercium dari sprei yang terpasang. Kupeluk erat bantal-bantal yang lembut dan wangi itu, tidak seperti bantal yang ada di kosanku dulu, bantal kapuk yang mengeras jika lama tak dijemur.
Tok.. Tok..
Kuhentikan kegiatan memalukanku barusan, kubenarkan kemejaku yang kusut dan rambutku yang berantakan.
“Maaf Queen, ini barang-barangmu. Jika tidak keberatan, keluarlah sebentar, aku akan
mengenalkan rumah ini padamu, termasuk semua perabotnya agar kalian berdua tidak kesulitan nantinya.” Pak Bagas mendorong koper lusuhku dan menaruk kotak kardus di sebelahnya. Ia segera keluar setelah melihat anggukanku padanya.
“Gunakan mesin cuci untuk mencuci Queen, Pak Gabriel khusus memperingatkanku agar kamu
menggunakan mesin cuci, jangan mencuci dengan tangan lagi. Cuci piring di sini, gunakan sarung tangan karet, jangan gunakan sabun cuci kain, tanganmu bisa kasar dan Pak Gabriel tidak suka itu. Di rak terdapat berbagai jenis makanan instan, kamu bisa memakannya sebanyak yang kamu mau, tapi Pak Gabriel tidak suka hal itu. Di kulkas juga sudah tersedia bahan makanan, jika kamu kesulitan mengisinya, jangan sungkan menghubungiku. Aku akan menyuruh pekerja di rumah utama untuk membantumu. Oh iya, satu lagi, jangan ganti pengharum ruangannya, wangi lavender itu favorit Pak Gabriel.” Aku dan Moly hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya.
“Om Gabriel terlalu banyak mengatur, belum apa-apa aku sudah lelah Ly,” bisikku pada sahabatku. Ia kembali menyikutku dan memintaku menyimak Pak Bagas.
Kami berdua seperti anak anjing, mengekor kesana-kemari pada Pak Bagas yang sibuk
menjelaskan seisi rumah.
“Satu lagi, Pak Gabriel dengan tegas mengingatkan, setiap Pak Gabriel ke sini, Moly tidak boleh ada di sini, kamu bisa mampir ke apartemen di lantai 11, apartemen itu tidak digunakan, namun terkadang Jey mampir kesana untuk menyendiri. Berhati-hatilah! Lelaki itu penakluk wanita.” Pak Bagas membisikkan kalimat terakhir dengan menatap Moly. Bulu kudukku merinding, aku tidak tahu apa yang gadis itu rasakan, sepertinya tak jauh beda denganku.
.
.
.
To Be Continued.
Terima kasih sudah baca ya,
Jangan lupa untuk terus dukung cerita ini
klik like dan tinggalkan komentar,
tambahkan juga ke favorite,
sampai jumpa di bab selanjutnya,
love,
bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
winda hikari
kembali hadir d bab ini dan selanjutnya...
2022-03-26
0
Happynes Sarumaha
Begitulah nasib org yg tak punya, kita jg tdk menyalahkan mereka, takdirlah yg membuat mereka cpt menerima setiap tawaran" yg menggiurkan
2021-12-21
0
Fifi Yulianingrum
di NT baru nemu cerita yg bahasanya rapi bgt, tapi nggak belibet dan alurnya gampang dipahamin, love it !!
2021-08-19
0