“Hai Queen!” Langkahku terhenti saat namaku dipanggil, aku menoleh dan tersenyum mendapati Aira sedang berlari mengejarku.
“Cepet banget jalannya!” keluhnya begitu ia tiba di hadapanku.
“Yee, kamunya aja yang kaya siput, lagian jalan ya jalan aja, emang ini catwalk?”
“Mana tahu Pak Wahyu muncul kan? Sambil tebar pesona juga!” sahutnya dengan wajah merona.
“Genit amat jadi cewe.”
“Biarin genit kalo dapat barang bagus mah, worth it.” Sontak aku terdiam, merasa tersindir dengan kalimat yang diucapkan Aira.
“Hari ini seragam lo lengkap kan Queen? Name Tag lo ada?” selidik Aira sambil memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Emang ada apa? Eh aku lupa Ra, kayaknya ketinggalan di rumah deh,” sahutku sambil mengingat kapan terakhir kali aku menyentuh benda persegi panjang kecil itu.
“Mampus, hari ini orang-orang Kantor Pusat bakalan sidak Queen, lo ga baca grup WA ya? Oh ia, lo anak baru.” Aira terlihat begitu khawatir sedang aku tidak paham maksud dari kalimatnya.
“Sidak? Maksudnya?” Saat di butik dulu aku tak pernah mendengar karyawan di sana menyebut kata aneh itu.
“Sekarang kita langsung ke Salon, bantu-bantu persiapan biar ga kena semprot sama Manager dari Kantor Pusat.”
Aku menurut dan mengikuti langkah Aira yang sudah lebih dulu berlari ke Salon. Sesampainya di Salon, keadaan Salon sedikit ricuh, karyawan-karyawan yang biasanya terlihat santai hari ini memakai seragam baru dan berias. Mereka sibuk membersihkan area Salon dan mengatur peralatan mengikuti prosedur.
“Queen, Aira, jangan hanya berdiri disitu, cepat kemari dan bantu kami!” teriak Manager Lessi dari dalam toko. Ia terlihat kewalahan dan sibuk memberikan instruksi pada karyawan.
Aku menurut dan segera membantu, mengepel lantai, menyapu debu, mengatur ulang make up dan alat rias walaupun sudah rapi. Aku tidak paham apa yang sebenarnya terjadi, pasti sesuatu yang cukup besar hingga Manager Lessi terlihat ketakutan.
Setelah berbenah, kami mulai merapikan diri sendiri, mengecek tatanan rambut, pakaian seragam, hingga sepatu. Aku kebingungan saat karyawan lain tak ada satupun yang melupakan Name Tag, hanya aku yang lupa membawanya. Sepertinya aku akan mendapat masalah besar mengingat ucapan Aira tadi.
“Berhenti!” jerit sebuah suara nyaring dari pintu masuk.
Seolah-olah sudah paham, para karyawan serentak berbaris dan berdiri mematung. Aku ikut berbaris di sebelah Airi tanpa paham pada situasi yang baru saja terjadi. Manager Lessi menyambut seorang wanita cantik bertubuh mungil dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungnya yang sama mungilnya, ia mengenakan jas kantor serba hitam, penampilannya sangat rapi, terlihat jelas bahwa ia wanita disiplin dan pekerja keras.
Wanita itu mengangguk pada Manager Lessi dan melangkah masuk, di belakangnya seorang wanita lain yang lebih tua darinya dan lelaki berjas biru gelap ikut masuk. Manager Lessi tersenyum kikuk saat melihat lelaki itu, ia gugup hingga tubuhnya kaku.
“Lessi, apa yang kamu lakukan di situ? Kamu tidak akan mempersilahkan kami duduk?” tegur Wanita berkacamata.
Manager Lessi segera mendekati tiga petinggi dari Kantor Pusat dan mempersilahkan ketiganya duduk, lalu membawakan mereka minuman serta makanan ringan. Sayup-sayup kudengar karyawan-karyawan berbisik saat melihat lelaki yang menyilangkan kakinya di sofa tepat di depanku, sedangkan aku masih menunduk takut karena lupa membawa Name Tag sialan itu.
“Queen, angkat kepalamu! Kamu harus lihat siapa yang datang ke sini.” Aira menyikut lenganku dan berbisik pelan.
Aku masih saja menolak, pikiranku berkecamuk membayangkan akan dicaci-maki Manajer dari Kantor Pusat itu. Bagaimana jika aku dikeluarkan dari sini? Apa yang akan aku katakan pada Om Gabriel? Ia pasti sangat kecewa dan menganggapku tidak menghargai dirinya. Rasanya lebih mudah saat dikeluarkan dari butik dulu, aku tak perlu merasa tak enak pada orang lain.
Aku mengikuti gerak dari Wanita berkacamata itu dengan pendengaranku, ia mengitari seluruh ruangan Salon hingga ke gudang penyimpanan, mengecek satu per-satu alat rias dan produk yang sudah tertata di meja. Langkahnya beralih pada karyawan-karyawan di Salon, ia memeriksa penampilan mereka bergantian dan mengeluarkan sumpah serapah pada karyawan yang penampilannya dianggap di bawah standar.
“Kamu, sepatumu tidak mengkilap, kamu bekerja di Salon, penampilan sangat penting, jika penampilanmu kacau begini, bagaimana konsumen percaya pada Salon kita? Apa kamu mau bertanggung jawab jika pendapatan Salon ini turun? Jika kamu tidak berniat bekerja, keluar saja sana! Masih banyak orang lain yang mau bekerja di sini!” cecarnya pada Kak Ridwan di ujung sana.
Bagaimana ini? Aku baru saja dipecat dari Butik, masa sekarang dipecat dari Salon juga? Padahal aku belum belajar banyak tentang merias dari Salon ini,
“Kamu, siapa namamu?” Wanita mungil itu sudah berdiri di hadapanku. Tubuhnya sangat mungil dengan tinggi yang kutaksir 155 cm, walau begitu wajahnya sangat cantik dan berkharisma.
“You Are Queen Bu,” jawabku.
“Lihat saya kalau saya lagi bicara!” tegurnya.
Aku mengangkat wajahku mengikuti perintahnya. Belum sempat memandangi wanita itu, pandanganku tertuju pada lelaki berjas di sofa yang sedang menatapku. Aku bertambah gugup sekarang, Om Gabriel duduk bersilang kaki di sana memandangiku dimarahi.
“Kamu anak baru di sini? Kamu tidak mengikuti rekrutmen? Bagaimana bisa kamu masuk ke sini tanpa rekrutmen?” Ia membolak-balik bundel data karyawan di tangannya.
“...”
“Kamu tuli?” bentaknya,
“Ah, Maaf Bu.” Aku bodoh sekali, sempat-sempatnya memandangi Om Gabriel.
“Hei, kamu benar-benar bodoh ternyata, panggil aku Nona Nancy, mana Name Tag-mu?” Wajahnya mulai memerah dan bibirnya bergetar. Ia mendongak karena selisih tinggi kami ditambah tinggi heels-ku yang membuatnya terlihat begitu mungil.
“Saya tidak sengaja menghilangkannya Nona Nancy.”
“Hal seperti itu saja kamu lupa? Apa isi otakmu, hah?”
“Maaf Nona Nancy, saya akan membuat yang baru.”
Ia mengabaikan kalimatku dan terfokus pada sepatuku. Apa yang ia lihat di sana? Bukankah sepatuku sudah mengkilap?
“Kamu ingin pamer pada semua orang di sini kalau tubuhmu tinggi? Siapa yang memintamu memakai heels setinggi itu?” cecarnya lagi.
Aku mengernyitkan dahi. Apa-apaan wanita ini? Bukankah ini ketentuan dari Salon? Aku hanya memakai heels dengan tumit 5 cm, padahal saat di butik sebelumnya tinggi heels-ku 10 cm dan ia memarahiku karena hal itu? Sumpah, ia membuatku kesal.
“Saya hanya mengikuti prosedur yang berlaku di Salon ini, Nona Nancy,” jawabku berani, aku tidak bersalah dan tidak sudi disalahkan.
“Ah, aku tahu, kamu ingin menggoda pria-pria kaya yang menggunakan jasa Salon ini? Pantas saja kamu berpenampilan seperti ini.” Ia tak mau berhenti.
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar, benarkah aku serendah itu? Aku hanya mengikuti prosedur yang berlaku dan dianggap sedang menggoda? Mataku kembali tertuju pada Om Gabriel, ia masih saja duduk tenang di singgasananya, tak berminat pada amukan dari bawahannya pada kekasihnya sendiri. Aku benci sekali!
.
.
.
.
.
To Be Continued,
Love Love,
Bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
winda hikari
lnjut lagii
2022-03-26
0
Dennyanto Suryadi Siregar
ya ga mungkinlah om gabriel membela didepan umum, nanti jd viral😅
2021-08-21
1
dhapz H
hanya lupa tak bawa name tag
2021-08-01
1