Setelah menyelesaikan pekerjaanku di Kafe, aku berlari menyeberangi jalan raya yang sedang dilanda lampu merah. Sepatuku belum sempat kupakai sempurna dan rambutku yang sepinggang itu melambai-lambai di udara. Aku masih berlari, jarak dari gerbang menuju kelas cukup jauh, karena fakultas ekonomi berada di bagian belakang kampus dan punya parkiran sendiri.
Beberapa mahasiswa laki-laki bersiul-siul menggodaku, namun aku tidak sempat mengubris mereka. Prof Lina pasti sudah masuk ke kelas dan memulai pelajarannya. Aku berhenti berlari tepat di depan kelas, mengintip dari jendela kecil memastikan keadaan. Tak kudapati Prof Lina di sana, aku menghela nafas lega. Langsung kubuka pintu kelas dengan perasaan senang.
“Hai kawan, syukurlah aku tidak terlambat,” sapaku pada teman-teman yang sudah memenuhi ruangan. Mereka terdiam dan tidak membalas sapaanku.
“Queeennnnnnn....” Sebuah teriakan mengangetkanku. Aku berbalik dan mendapati Prof. Lina dibalik pintu.
“Prof, sedang apa di sana?” tanyaku dengan wajah polos tak berdosa.
“Keluar kamu, mahasiswa kurang ajar, berani-beraninya kamu mendorong saya,” tuduhnya padaku. Aku membatu, berusaha mencerna perkataan Prof. Lina barusan.
“Saya, saya tidak mendorong Prof, saya hanya masuk melalui pintu dan...” Aku tidak berani melanjutkan perkataanku, wajah Prof Lina sudah seperti kepiting rebus. Kulangkahkan kakiku pelan keluar dari ruangan. Lalu terdengar suara berdentum pintu yang ditutup dengan keras.
Selama perjalanan menyusuri koridor kampus, aku membayangkan apa yang baru saja kualami. Apa yang menyebabkan Prof. Lina sangat marah dan menuduhku mendorongnya?
Seingatku aku tidak melihat Prof Lina sejauh mata memandang di dalam kelas. Bagaimana bisa aku yang mendorongnya? Ahhh, aku menjambak rambutku sendiri dan menyadari bahwa aku belum mengikat rambutku.
Aku berjalan cepat menuju toilet wanita, berdiri di depan cermin selebar 3 meter itu dan mematut diriku di sana. Aku cantik, tapi tidak menarik. Sempat-sempatnya aku menilai penampilanku setelah diusir Prof. Lina dari kelas.
Kuikat tinggi-tinggi rambutku dengan gaya Pony Tail, aku menggunakan dua ikat rambut untuk menopang rambut panjang dan lebatku itu, kukeluarkan sisir dan menyisir rambutku. Mematut diriku kembali di cermin lalu tersenyum puas. Sepercaya diri itu diriku. Ga tahu malu memang!
Aku mencoba menghubungi Moly setelah mendapat posisi yang nyaman di bangku taman kampus. Memberitahunya agar datang kesini setelah jam Prof. Lina selesai. Benar saja, gadis itu langsung membalas pesanku cepat,
Ho-oh.
Hanya 4 huruf itu yang kubaca dari balasan pesannya. Aku menggeleng, sohibku yang satu itu memang pelit, pelit uang, pelit ilmu bahkan sekarang ia pelit huruf. Pandanganku memendar ke seluruh arah, mencari-cari tontonan menarik sambil menunggu Moly datang.
Lalu mata suciku itu tak sengaja menangkap sosok paling kukenal dari kejauhan, sosok itu berjalan beriringan dengan seorang gadis yang berpenampilan bak model dan saling bergandengan. Aku memicingkan mataku, memastikan penglihatanku tidak salah.
Tanganku mengepal kuat dan amarahku meluap, bagaimana bisa ia begitu tidak tahu malu menggandeng gadis lain seenak jidatnya sendiri di depanku. Kurasa juniornya minta dipotong.
Aku memencak beberapa kali, kedua makhluk gaib itu berjalan mendekatiku walau arah tujuannya berbeda, sepertinya mereka belum menyadari kehadiran kedua bola mataku yang mengikuti mereka sedari tadi.
Sudah cukup, aku juga sudah muak dengan lelaki sok kegantengan itu. Aku bangkit dari dudukku dan menghampiri keduanya, lelaki tak tahu malu itu nampak kaget dan segera melepaskan genggamannya pada gadis sok polos di sebelahnya.
“Hai!” sapaku dengan suara manis yang dibuat-buat.
“Queen, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sekarang kamu ada kelas?” tanya lelaki tak tahu malu itu, suaranya bergetar dan keringatnya mengalir deras.
“Siapa dia, Sayang?” tanya gadis mungil di sebelahnya. Aku memutar bola mataku malas, gadis itu kini menggelayut manja dan melirikku tajam.
“Berapa usiamu, Nak?” sindirku pada gadis itu.
“19 tahun, Mba ini siapa sih?” Masih dengan sikap sok polosnya itu. Mau muntah rasanya.
“Kamu! Benar-benar kamu, Vino,” tunjukku pada wajahnya dengan suara yang kutekan. Aku sadar benar, kami mulai menjadi pusat perhatian. Tapi aku tidak ingin menjadi tersangka disini, kedua makhluk sok suci ini harus menjadi pelakunya.
“Queen, aku bisa jelaskan semuanya padamu, aku dan dia...” Kalimatnya tertahan, tangannya menggaruk kepalanya. Dari sikapnya aku paham, ia mencoba mencari alasan yang tepat menghadapi keadaan ini.
“Kamu sendiri yang bilang akan selalu bersamaku, kamu sendiri yang bilang akan selalu mencintaiku Vino, kamu sendiri yang bilang tidak akan mempermasalahkan perbedaan usia kita. Lalu apa ini, Vino? Kamu menggandeng wanita lain yang lebih muda dariku, kamu jahat Vino. Jahat sekali kamu, Vino,” teriakku, aku merengek dan menangis.
“Wah, jahat sekali ya gadis itu? Merebut pacar orang lain, padahal ia cantik loh,” bisik mahasiswa yang melihat pertengkaran kami.
“Yes, aku berhasil. Tahu rasa kalian berdua,” teriakku dalam hati.
“Hei, kalian berdua memang pantas bersama, pengkhianat dan penggoda memang harusnya bersama,” teriak salah seorang mahasiswa yang ikut menonton.
Gadis itu menutup wajahnya rapat-rapat, ia menarik-narik tangan Vino berusaha menjauh dari keramaian. Vino yang menyadari situasi itu, melepas tangan gadis cantiknya dan berlari lebih dulu, lelaki tak tahu malu itu pergi meninggalkan gadis kecilnya sendirian di sana. Gentleman sekali dia!
Setelah kepergian kedua makhluk itu, beberapa mahasiswi mendatangiku dan mengungkapkan rasa prihatinnya padaku, bahkan beberapa memberiku semangat dan mendoakanku agar aku bisa bertemu dengan lelaki yang lebih baik. Mendapat perlakuan tulus seperti itu, hatiku sedikit menyesal karena dengan sengaja menarik perhatian mereka agar ikut-ikutan menyalahkan Vino dan gadis kecilnya.
“Akhirnya jomblo lagi deh,” seruku. Walau wajah dan tubuhku cantik, tetap saja aku kesulitan mendapat pacar. Aku tidak punya uang, penampilanku pas-pasan dan bahkan aku tidak punya motor untuk berpergian.
“Jaman sekarang, cantik saja tidak cukup,” gumamku lagi sambil berlalu meninggalkan tempat kejadian perkara.
Aku menendang-nendang batu-batu kecil di jalanan kampus, ingatanku kembali ke masa 6 bulan lalu saat aku pertama kali menerima ajakan kencan dari Vino, juniorku dari jurusan Ilmu Ekonomi. Saat itu aku sedang sibuk-sibuknya dengan tugas akhirku, sedang Vino baru mendarat di semester keduanya, itu artinya usia kami terpaut 3 tahun jaraknya. Walau begitu, aku menerima permintaannya, kapan lagi aku bisa punya pacar? Hanya itu saja pertimbanganku saat itu.
“Hei, Queenn....” Aku menoleh mencari sumber suara. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilku dengan gaya sok imut itu. Kulihat Moly berlari kecil dari kejauhan.
“Kamu, mendorong Prof Lina, beliau terjatuh ke pelukan Marwan,” Moly tak sempat menarik nafas panjang dan langsung menerorku dengan kalimat tak masuk akal.
“Apa maksudmu?”
“Kamu mendorong pintu kelas, Prof Lina berdiri di sisi belakang pintu, ia sedang mengajari Marwan dan terjatuh ke pelukan Marwan. Kamu tahu bagaimana marahnya ia?” jelas Moly. Sekarang aku paham musibah apa yang baru saja terjadi.
“Lalu, aku harus bagaimana?” aku mulai risau, jika Prof Lina marah dan mengeluarkanku dari kelasnya, aku tidak akan lulus semester ini.
“Prof Lina memintamu menemuinya di ruangannya, sepertinya hukumanmu tak akan ringan kawan,” Moly menepuk pundakku menguatkan.
.
.
.
.
To Be Continued,
terima kasih sudah baca ya 🤗
sampai jumpa di bab selanjutnya,
love,
Bemine_97
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Happynes Sarumaha
Ocey
2021-12-19
0
YaNaa Putra Umagap
ngakak aku eh....🤣🤣🤣
2021-10-09
0
Muara
karakter queen n gaya bahasa jg pemikiran nya mirip bgt sm adik cwe gw....🤣😂🤣😂
2021-08-18
0