Luna menyembulkan kepalanya keluar rumah. Dari belakang dia memperhatikan Dylan yang sedang duduk di teras rumah sambil menggenggam segelas es jeruk.
“Lagi ngapain sih cowok itu?” gumam Luna mengintip apa yang Dylan lakukan.
Tiba-tiba Dylan menoleh ke belakang dan Luna bereaksi gelagapan. Ia ketahuan melihat ke arah cowok ini.
“Ngapain lo di situ?” tanya Dylan dengan santai.
Luna merapikan baju dan rambut dia selipkan ke belakang telinga.
“Suka-suka gue dong mau di mana aja. Ini juga rumah gue,” jawabnya yang terlihat songong.
Dylan mengangguk, “Iya juga sih.” Cowok itu kembali menghadap ke depan.
“Eh!” Luna berjalan mendekati Dylan dan duduk di kursi satunya, “bye the way, lo angkatan tahun berapa?”
Cowok dengan kulit putih dan hidung mancung seperti perosotan TK itu tidak langsung menjawab. Ia mendeguk es jeruknya terlebih dulu. Apa yang ia lakukan berhasil membuat Luna kesal.
“Jawab dong!”
Dylan menoleh, “Kepo amat lo jadi manusia.”
“Ih, ngeselin banget sih lo! Gue cuma mau tahu. Siapa tahu kita seangkatan,” balas Luna memberi alasan yang masuk akal.
“2018,” jawab Dylan begitu singkat.
“Seangkatan kita. Si Elin sudah ngira lo senior. Lo juga nggak bilang apa-apa.” Luna terlihat senang saat mengetahui mereka seumuran.
“Teman lo itu nggak kasih gue kesempatan ngomong. Dikira penjaga UKK lagi.”
Luna tertawa melihat Dylan yang mengerutu mengingat kejadian beberapa hari lalu.
Dylan memutar bola matanya, malas dengan reaksi Luna. Cowok itu mendongakkan kepala, menatap langit malam yang dipenuhi taburan bintang.
“Besok gue bilang deh ke Elin kalau lo bukan petugas UKK.” Luna masih saja tertawa.
“Mending lo urus aja tuh gosip yang lagi viral,” ujar Dylan tiba-tiba yang berhasil meghentikan tawa Luna.
“Ih, kok diingetin sih? Malas betul, ini semua gara-gara Brian yang sok cakep itu. Bukannya bersyukur ditembak cewek cantik. Malah ditolak.”
Dylan bersandar ke kursi dan sesekali mendenguk minuman di tangannya. Ia mendengarkan saja perkataan Luna.
“Itu tandanya Brian masih waras. Otaknya belum terkontaminasi. Makanya dia nolak lo.”
“Maksud lo apa?” Luna menendang kaki Dylan hingga cowok itu meringis kesakitan, “lo mau ngatain gue nggak waras?”
“Sakit!” Dylan mengelus kakinya, “bar-bar banget lo jadi cewek.”
“Gue emang bar-bar. Makanya jangan macem-macem sama gue!”
Dylan menegakkan tubuhnya, “Gue nggak mau ada yang tahu kalau kita tinggal serumah. Bisa-bisa hidup gue nggak tenang karena gosip nggak jelas.”
Padahal saat Dylan menginjakkan kaki di rumah keluarga Wardana hidupnya sudah masuk dalam ketidak tenangan.
“Gue juga nggak mau kali ada yang tahu kalau lo tinggal bareng gue. Bisa-bisa Brian ngira kita ada hubungan. Terus dia nggak mau sama gue.”
“Lo sehat?” tanya Dylan menaikan satu alisnya.
“Sehatlah. Ada yang salah?”
“Otak lo kayaknya perlu dibenah. Sudah ditolak dan dipermalukan tingkat nasional bahkan internasional masih aja mau jadi pacar cowok itu.”
Dylan menggelengkan kepalanya dan perlahan berlalu masuk ke dalam rumah.
Luna memasang wajah cemberut. Sebenarnya, dia sudah tidak sudi mendengar nama Brian. Namun, siapa lagi yang akan dia banggakan di depan Dylan. Sedangkan dia tidak punya gebetan lain.
•••
KRING... KRINGGG
Dylan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan saat tidurnya terusik dengan alarm yang berdering. Cowok itu membuka mata dan memperhatikan ruangan yang dia tempati.
Lelaki ini lekas duduk dan berdiri. Ia melangkahkan kaki ke dekat nakas, samping ranjang Bhiru. Dia mematikan alarm yang masih terus berdering itu.
“Dek, sudah jam enam. Ayo bangun!” Dylan menggerak-gerakan tubuh Bhiru perlahan.
Bhiru hanya merengek dan merubah posisi tidurnya membelakangi Dylan. Cowok itu menghela napas. Seumur hidup baru ini dia berasa mempunyai adik.
“Ya sudah, kakak mandi duluan. Habis itu kamu yang mandi ya!” ujar Dylan melangkah mengambil handuk yang terjemur.
Dylan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi dengan tangan memegang handuk dan pakaian ganti.
Dengan santai Dylan memutar gagang pintu dan mendorong pintunya ke dalam. Dalam waktu besamaan terdengar jeritan seorang gadis.
“Aaaaa!”
Dylan membesarkan matanya saat melihat tubuh Luna hanya terlilit handuk. Cepat-cepat Luna menutup pintunya kembali.
Cowok dengan wajah yang masih kucel itu berbalik badan membelakangi pintu. Ternyata teriakan Luna membuat Sinta dan Rania mendengarnya. Dua ibu itu lari ke lantai dua.
“Makanya pintu itu dikunci!” teriak Dylan.
“Salah lo juga kenapa nggak ngetuk dulu,” balas Luna yang tidak terima.
“Lo kira mau bertamu pakai diketuk dulu.”
“Ada apa sih?” tanya Sinta yang baru datang.
“Kamu apain Luna, Dy? Rania pun ikut bertanya.
Dylan menggeleng, “Dylan nggak apa-apain, Bu.”
Selesai memakai bajunya Luna keluar dari kamar mandi dan ikut bergabung dalam percakapan itu.
“Cowok mesum ini mau ngintip Luna, Ma.” Adu Luna pada Sinta. Namun, Sinta tidak langsung mempercayainya.
“Bohong, Tante. Sumpah, saya nggak ada niat ngintip, Tante. Salah Lunanya pintu nggak dikunci saya pikir tadi nggak ada orang.”
“Iya, iya Tante percaya sama kamu, Dy. Luna ini memang suka lupa mengunci pintu. Sama Bhiru juga kadang teriak-teriakan kayak gini.”
Luna membuka mulutnya lebar. Ia tidak percaya mamanya malah membela orang lain.
“Ih, Mama. Kok Mama percaya sama dia sih.” Tunjuk Luna pada Dylan.
“Itu ‘kan memang salah kamu. Kenapa nggak dikunci pintunya?”
Pertanyaan Sinta membuat Luna menggaruk kepala yang tidak gatal.
Gadis ini cengengesan sebelum menjawab, “Luna lupa. Biasanya nggak apa-apa kalau nggak dikunci.”
“Tuh, Kan. Pikunan sih,” ujar Dylan yang masih kesal karena dituduh mesum.
“Sudah jangan bertengkar lagi.” Rania mengusap punggung anaknya, “sekarang kamu mandi sana, Lan! Takut telat ke kampusnya.”
Dylan mengangguk. Saat ingin berbalik badan ia menatap Luna sinis, kemudian melangkah masuk ke kamar mandi.
“Luna mau siap-siap dulu!” Sinta mengangguk dan setelah itu gadis yang melilitkan handuk di lehernya itu lekas pergi dari sana.
“Kamu ke bawah duluan saja, Ya. Saya mau bangunin Bhiru dulu,” ucap Sinta pada Rania yang masih berdiri di tempatnya.
“Iya, Mbak. Saya permisi.” Mendapatkan anggukan dan senyum dari Sinta barulah Rania berjalan pergi. Kembali turun ke lantai dasar.
•••
“Wah, sarapannya enak-enak nih.” Dylan datang dengan penampilan yang sudah rapi, “berasa punya dua ibu.”
Dylan tertawa setelah melontarkan candaan pada dua wanita yang sedang sibuk menata meja makan ini.
“Bisa kok Lan kamu punya dua ibu,” ujar Sinta.
Cowok yang sudah duduk di kursinya dan akan meminum susu itu mendongak, “Bagaimana Tante?”
“Kamu nikah saja sama Luna.” Seketika Dylan memuncratkan susu yang ada di dalam mulut, “otomatis Tante jadi mamamu juga.”
Dylan meletakkan gelasnya kembali ke meja.
“Hati-hati dong, Nak!” Rania memberikan tisu pada putranya.
“Maaf, Tante bikin kamu kaget ya?” tanya Sinta yang merasa tidak enak.
Cowok ini menggeleng, “Nggak apa-apa Tante.” Ia membersihkan bibirnya dengan tisu.
“Pagi!” sapa Bhiru membuat suasana itu berubah saat dia ikut bergabung.
“Pagi anak Mama. Bhiru mau makan apa?” Sinta mulai melayani anaknya.
Satu-persatu keluarga itu datang dan mereka sarapan bersama.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments