Baru saja Dylan keluar dari kamar bersama Bhiru, dia sudah melihat penampakkan Luna. Dia sangat malas kalau pergi bersama gadis itu lagi. Sudah cerewet banyak maunya pula.
Bhiru berjalan lebih dulu begitu saja untuk turun ke lantai dasar. Ketika Dylan berinisiatif akan menyusul anak laki-laki itu perkataan Luna menghentikan langkahnya.
“Tunggu!” pemuda itu menoleh, “kita mampir ke fotokopi dulu ya sebelum ke kampus. Ada tugas yang harus gue jilid.”
“Kita nggak bereng lagi. Kapok gue pergi sama lo. Hampir saja teman gue tahu kalau kita boncengan.”
“Hah, serius lo?”
Dylan mengangguk, “Jadi lo berangkat sama Om Ardan saja.”
Seketika Luna tidak bersemangat, “Kalau sama bokap pasti nggak sampai ke dalam.”
“Mau bagaimana lagi. Dari pada ketahuan.” Dylan berjalan meninggalkan gadis ini.
Luna akhirnya mengikuti lelaki itu untuk turun menemui keluarganya di ruang makan.
Dahi Wardana berkerut saat melihat Luna sudah duduk tenang di dalam mobil.
“Kamu nggak bareng Dylan saja? Lagi pula kalian satu kampus. Agar Papa juga bisa lebih cepat sampai ke kantornya.”
“Dylan pelit, Pa. Masa dia nggak mau kasih Luna tumpangan,” adu Luna dengan suara dikeraskan.
Wardana menoleh ke arah Dylan yang duduk di motor. Kebetulan lelaki yang mendengar suara nyaring gadis itu juga menoleh.
Dylan jadi tidak enak saat Wardana menatapnya. Rania mendekati sang putra. Menepuk pelan bahu sampai anak laki-laki ini beralih menoleh padanya.
“Jangan pelit begitu. Kamu sama Luna satu kampus. Apa susahnya untuk memberi tumpangan.”
“Tapi, Bu...”
“Sudah jangan tapi-tapian! Ibu tidak enak sama Om Ardan.” Rania menyampaikan nasihat dengan suara dikecilkan.
Dylan menatap Luna yang menekuk wajah dan sudah duduk di dalam mobil.
“Luna ayo bareng gue!”
Panggilan pemuda itu membuat Luna menoleh. Dylan tersenyum padanya.
“Itu diajakin Dylan. Bareng dia saja sana! Biar Papa cuma antar Bhiru.” Wardana mengusap kepala sang putri yang masih ragu untuk pindah.
Bhiru yang duduk di jok depan lantas menoleh ke belakang, “Sudah sana pindah! Kalau antar Kakak, Papa jadi telat terus ke kantor.”
“Kamu usir Kakak?” tanya Luna yang nampak tidak terima.
“iya, habisnya selama ini Papa memang sering hampir terlambat gara-gara antar Kakak yang tujuannya nggak searah.”
Karena kesal dengan perkataan adiknya, Luna turun dari mobil dan pindah ke boncengan Dylan.
Wardana dan Bhiru saling melempar senyum, lalu bertos. Pria yang sudah terlihat tua karena rambut yang mulai beruban itu masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya.
“Pakai helm!” Dylan menolehkan tubuh ke belakang. Ia memasangkan helm ke kepala Luna, “gue nggak mau ketilang cuma gara-gara lo nggak pakai helm.”
Gadis itu bergeming, seluruh tubuh terasa kaku. Mata hanya fokus menatap wajah cowok di depannya ini. Perlakuan Dylan membuat gadis yang mudah baper itu meleleh.
“Sudah.” Dylan kembali menghadap depan.
“Hati-hati ya!” pesan Rania yang berdiri di belakang.
Luna dan Dylan sama-sama menoleh pada wanita itu. Mereka tersenyum. Ketika klakson ditekan oleh lelaki ini saat itu juga kendaraan roda dua itu melaju meninggalkan kediaman Wardana.
Rania melambaikan tangan pada kedua anak itu. Sedangkan Sinta sudah masuk dari tadi setelah mengantar anak bungsunya. Katanya, dia sakit perut.
•••
“Mau warna apa jilidnya?”
“Merah!” Dylan dan Luna serentak menjawab pertanyaan tukang fotokopi yang melayani mereka.
“Kok lo ikut-ikutan sih?” Luna menoleh menatap Dylan. Begitupun sebaliknya.
“Siapa yang ikut-ikut lo. Kelompok gue sudah memutuskan pilih warna merah dari kemarin. Lo kali ikut-ikut gue.”
“Enak aja, Dosen gue minta jilid warna merah. Ini bukan kemauan gue sendiri,” jawab Luna nyolot.
“Sudah-sudah, Mas, Mbak. Jilid warna merah milik saya masih banyak kok. Jangan berebut!” Tukang fotokopi itu mengambil semua makalah milik kedua orang ini, “saya kerjakan dulu.”
Dylan berdiri membelakangi Luna. Sedangkan gadis itu melipat kedua tangan di atas etalase sambil memperhatikan tukang fotokopi mengerjakan pesanannya. Ia terlihat masih kesal.
•••
Luna masuk ke dalam kelas dengan sedikit cemberut. Ia melihat ke arah Brian. Lelaki berbadan tegap, besar, dan tinggi itu sedang merapikan rambut di depan cermin kecil milik Dinda. Karena gadis bernama Dinda itu menghadap ke belakang menunggu Brian mengembalikan cerminnya.
“Kenapa lo lihatin gue?” tanya Brian yang akhirnya membuyarkan lamunan Luna.
“Nggak, siapa juga yang lihatin Brian?” Luna mencoba mengehela. Ia tidak mau terlihat masih cinta dengan lelaki itu.
“Tanpa lo kasih tahu gue juga tahu. Kalau lo masih suka sama gue.” Brian bersandar di kursi sambil menyisir jambul ke atas dengan jari-jari tangan, “wajarlah, orang ganteng memang susah untuk dilupakan.”
Luna bergidik, lalu berjalan menuju kursinya. Ia kesal mengapa isi hatinya mudah dibaca seorang Brian Gautama. Benar, dari seluruh cintanya dengan Brian. Baru 20% hilang itu pun saat tidak melihat lelaki itu. Kalau sudah bertemu lagi Luna kembali memiliki full cinta untuk Brian.
Gadis ini benci dangan perasaannya sendiri. Ia ingin seperti gadis lain yang bisa cepat move on. Padahal dia sudah disakiti masih saja bisa cinta.
“Lo lagi mikirin apa?” Elina yang baru datang duduk di sebelah Luna.
Luna menoleh ke sahabatnya itu, kemudian menunjuk Brian yang ada di depan dengan bibir dimajukan.
Elina menghela napas, “Sudah deh, Lun. Nggak usah mikirin cowok yang nggak pernah menghargai perasaan lo.”
“Selamat Pagi anak-anak.” Mendengar suara Dosen yang masuk ke dalam kelas Elina buru-buru membenarkan posisi duduk, “silakan kumpul tugas minggu lalu ke depan.”
“Lo sudah mengerjakan tugas itu ‘kan, Luna?”
Luna mengangguk, “sudah dari kemarin.”
“Gue kira karena galau nggak mengerjakan tugas juga.” Elina berdiri dan mengantarkan makalah ke depan meja Dosen.
Berbeda dengan Luna, gadis itu memastikan dulu tugas miliknya.
“Dylan?” Mata Luna membulat saat melihat dengan jelas nama siapa yang tercantum di sana, “waduh, tertukar sama cowok resek itu.”
“Kenapa belum di kumpul, Lun?” tanya Elina ketika dia kembali duduk.
Luna tidak menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil memanggil sang Dosen.
“Ada apa, Nak?”
“Saya boleh keluar sebentar?” Luna mengangkat makalah miliknya, “sepertinya makalah saya tertukar dengan pelanggan yang ada di fotokopi, Pak.”
“Oh, begitu. Silakan, jangan terlalu lama. Saya sudah ingin memulai pelajaran.”
Luna mengangguk, tanpa berpamitan pada Elina, gadis itu sudah berlari keluar dari kelas. Mahasiswi dan mahasiswa yang ada di kelas itu sempat memperhatikan gerak-gerik Luna.
Gadis yang menguncir rambutnya hari ini berlari keluar dari gedung fakultas. Ia baru sadar saat menatap jalanan.
“Jauh banget lagi,” keluh Luna sambil menatap makalah yang ada di tangan, “awas kau Dylan!”
Dengan terus berjalan dan sesekali berlari Luna menelepon lelaki pemilik makalah itu. Namun, sambungan telepon itu tidak pernah dijawab.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Rini Norin El Setyabudi
suka..bagus ceritanya
2020-08-15
0
BuNaCiDel
ramme...
seneng aku bacanya...
serasa kembali ke masa sekolah dulu
2020-07-04
0