Dylan dengan cepat melangkah keluar kamar untuk mendekati kendro. Lelaki ini lekas merampas surat dari tangan sahabatnya itu.
“Gue pikir itu penting jadi gue ambil saja.”
“Pinter!” Dylan menepuk-nepuk bahu Kendro. Sedangkan yang tertepuk tersenyum bangga ke arah Javier.
Lelaki ini melepaskan amplop dari suratnya. Ia lekas membaca potongan surat yang tersisa.
Jakarta, 7 April 1993.
Dear Rania.
Sebelumnya, Maaf saya terpaksa mengirim surat dan tidak langsung berbicara saja denganmu.
Ketika itu saya bersama teman memilih untuk membeli makanan di kantin dekat fakultasmu. Tidak sengaja melihat kamu melintas di sana. Kamu terlalu cantik sampai mata saya tidak mau berkedip saat itu.
Dari dulu saya selalu membantah cinta pandangan pertama. Karena itu tidak mungkin ada. Namun, saat melihatmu saya baru sadar kalau saya sendiri terjebak cinta pada pandangan pertama.
Sejak hari itu saya selalu membeli makanan ke kantin dekat fakultasmu agar dapat selalu melihatmu. Tolong jangan tertawa setelah membaca pesan saya. Saya tahu, saya ini cupu. Tidak berani terus terang padamu. Bahkan sampai saat ini saya belum berani menegurmu langsung.
Dengan keberanian yang sudah berhasil saya kumpulkan saya membuat surat ini untuk mengajakmu bertemu....
“Ternyata bokap lo romantis juga,” ucap Javier setelah ikut membaca surat yang tidak lengkap itu.
“Sayang banget gue nggak bisa lihat nama pengirimnya. Gue penasaran nama ayah itu siapa.” Dylan kembali melipat surat dan menyimpan ke dalam ransel.
“Gue juga penasaran bagaimana kelanjutan cinta pandangan pertama itu,” celetuk Kendro mengusap-usap dagunya.
“Tanya aja sama nyokapnya Dylan,” jawab Javier pada Kendro.
Kendro mengerutkan bibir, “Dylan saja nggak pernah dijawab pertanyaannya apa lagi gue.”
Javier malah tertawa melihat cowok di depannya ini sewot.
“Sudah ayo pulang!” Dylan memeriksa jam yang ada di pergelangan tangan, “Sudah sore nih."
Dylan melangkah lebih dulu menuruni anak tangga. Kedua temannya mengekori di belakang.
•••
Sebuah angkutan kota yang ditumpangi Luna menepi padahal tidak ada yang berucap untuk turun.
“kok berhenti, Bang?” tanya Luna yang duduk di belakang sopir.
Sang sopir menoleh ke belakang, “Maaf ya, mbak, ibu-ibu dan semuanya. Angkot ini mogok saya harus benarkan dulu. Jadi, silakan turun dan cari angkot lain. Ini sedikit lama membenarkannya.”
Penumpang pun bersorak kecewa. Begitu juga Luna yang menggerutu, lalu turun dari dalam angutan.
Gadis yang menguncir rambutnya ini berjalan sedikit menjauhi angutan yang mogok. Ia menoleh ke arah kanan untuk menunggu angkot lain datang.
“Padahal rumah gue sudah nggak terlalu jauh. Malah pakai mogok angkotnya. Kalau jalan saja juga lumayan buat gempor kaki.” Luna menunjukkan mimik wajah sedih, “mana angkot nggak ada yang lewat lagi.”
Luna sudah senang saat angkutan umum ada yang melintas. Namun, penuh dengan orang-orang yang lebih dulu naik. Akhirnya, gadis itu tidak jadi naik.
Cuaca sore itu mendadak mendung. Luna takut kalau makin lama dan turun hujan dia bisa basah kuyup berdiri di trotoar terus.
Dylan sudah berpisah dengan kedua sahabatnya saat di lampu merah. Mereka memang berlawanan arah jalan pulang. Tidak sengaja lelaki ini melihat gadis yang sangat dia kenal. Dylan memelankan laju kendaraan roda dua itu, lalu menepi di depan Luna.
Luna sempat bingung saat itu. Namun, ketika Dylan membuka kaca helm gadis ini tersenyum. Seperti melihat malaikat penolong di saat cuaca mendung begini.
“Ngapain lo berdiri di sini cewek bucin? Mau saingan sama patung pancoran?”
Raut wajah Luna berubah. Lelaki ini mulai membuatnya kesal.
“Enak saja samain gue dengan patung. Gue lagi nunggu angkot karena angkot sebelumnya mogok.” Luna menunjuk angkutan kota yang berhenti tidak jauh darinya.
Dylan menoleh ke belakang, lalu mengangguk mengerti.
“Mau bareng gue saja? Gue juga mau pulang.” Tawar Dylan disertai senyum tipis.
“Nggak usah. Nanti yang ada lo ejek-ejek gue lagi.” Luna mengibaskan satu tangan berulang-ulang, “sana-sana pergi! Lo ngalangin angkot yang mau berhenti di depan gue tahu.”
“Ya sudah kalau nggak mau. Bye!”
Kemudian lelaki itu melajukan motornya lagi meninggalkan gadis ini sendirian.
Luna memajukan bibir, “Dasar cowok nggak peka. Bujuk kek sekali lagi. Gue mau pulang bareng, tapi bujuk dulu yang manis.”
Selagi mengerutu tiba-tiba air hujan menetes di kepala Luna. Ia mendongakkan kepala menatap langit.
“Hujan lagi.” Luna menutupi kepala dengan kedua tangan. Ia lekas mencari tempat berteduh.
Sedangkan di perjalanan Dylan juga merasakan tetesan hujan mengenai tangannya. Ia terpikir oleh Luna dan segera menepikan motor di pinggir jalan. Pemuda itu menoleh ke belakang. Masih gerimis. Tanpa berpikir lagi lelaki itu memutar arah laju motor kembali ke tempat bertemu Luna.
Ia melihat Luna sudah pindah tempat. Gadis itu berteduh di bawah pohon rindang. Dylan lekas mendekatinya.
“Ayo buruan naik!” Dylan mengulurkan satu helm.
“Nggak mau! Lo ngeselin,” teriak Luna agar suara tetap bisa terdengar laki-laki itu.
“Lo mau basah kuyup di sini?”
Seketika Luna mendongak memperhatikan hujan yang turun makin deras. Tanpa menjawab pertanyaan Dylan, dia menerima helm, lalu duduk di jok belakang.
Dylan tersenyum mendapati gadis itu menyerah dengan sikap gengsinya. Ia segera melajukan motor menuju rumah.
•••
Kedua orang ini berlari menaiki beberapa anak tangga sebelum membuka pintu rumah. Baju mereka sedikit basah.
Dylan menoleh ke belakang dan mendapati hujan turun lebat.
“Untung saja kita sudah sampai rumah. Kalau nggak gue ikutan basah gara-gara lo.”
“Kok gue?”
“Memang lo. Lo lama betul mau ikut gue pulang sama-sama. Padahal tinggal naik saja.”
Mereka mulai berdebat kembali sambil melangkah memasuki rumah.
“Gue juga nggak mau bareng lo. Lo ‘kan yang nawarin."
“Mana bisa gue ninggalin lo sendiri saat mau hujan. Tujuan kita juga sama. Apa lagi keluarga lo sudah baik sama gue dan ibu.”
Luna terdiam mendengar perkataan Dylan. Baru kali ini dia diperlakukan manis oleh seorang laki-laki selain Papanya.
“Lo kenapa? Kok diam?” Pemuda ini mengibaskan tangan di depan wajah Luna.
Gadis ini tersadar dari lamunannya. Ia cepat menggelengkan kepala.
“Gue mau ganti baju dulu. Baju gue sedikit basah.”
“Oke, memang harus diganti nanti masuk angin.”
Luna mengangguk canggung, lalu berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Baru saja Dylan ingin melangkahkan kaki untuk memijak tangga, dia secara tidak sengaja mendengar suara Rania sedang berbincang.
Dylan berjalan ke arah sumber suara. Lelaki itu berhenti melangkah dan mengintip dari balik pintu. Rania dan Sinta sedang ada di samping rumah. Kebetulan di situ ada taman kecil. Mereka berbincang sambil mengamati hujan yang turun membasahi rerumputan.
“lalu suamimu sekarang di mana?” tanya Sinta.
“Dia sudah nggak ada, Sin. Dia sudah meninggal.”
“Dylan tahu sosok ayahnya?”
Rania menggeleng, “Saya nggak pernah memberi tahunya. Dylan dari lahir sudah hidup tanpa ayah. Dia nggak perlu tahu ayahnya.”
Wanita yang pintar memasak ini tertegun. Ia nampak sedih mengingat sang suami.
“Kamu nggak boleh begitu. Walau suamimu itu sudah tiada. Bagaimanapun Dylan harus mengetahui wajah ayah kandungnya.”
“Ayah memang sudah meninggal?” gumam Dylan yang masih mengintip keadaan di sana, “tapi kenapa ibu selalu berusaha menutupi sosok ayah? Apa ayah ada salah sama ibu?”
“Assalammualaikum, Papa pulang!”
Dylan terkejut mendengar seruan dari arah depan. Ditambah dia kaget saat berpapasan dengan Sinta dan Rania yang mendadak masuk ke dalam.
“Dylan, kamus udah pulang?” Sinta yang bertanya seperti itu juga menoleh ke arah tangga, “Luna juga sudah ada di rumah?"
Lelaki ini menggaruk kepala yang tidak gatal, “Iya Tente aku sama Luna baru saja sampai rumah. Luna langsung ke kamar.”
“Terus kamu ngapain di sini?” tanya Rania.
“Anu, Bu. Itu tadi...” Dylan gelagapan menjawab pertanyaan ibunya sendiri, “aku mau menemui Ibu. Mau bilang aku sudah pulang.”
“Ugh, manisnya.” Sinta mencubit sebelah pipi Dylan dengan gemas. Sang empunya pipi hanya tersenyum sambil menahan risih.
“Lagi pada ngumpul nih? Sampai saya pulang nggak ada yang sambut.” Wardana ikut bergabung dalam percakapan ketiga orang itu.
“Oh iya, tadi saya sudah mau datangi Papa. Malah keasyikan ngobrol sama Dylan.” Sinta mengambil sebelah tangan sang suami, lalu mencium punggung tangan pria itu, “waalaikumsalam, Papa.”
“Begitu dong,” balas Wardana tersenyum senang.
Rania menyentuh baju Dylan yang sedikit basah, “Kamu terkena hujan?”
Dylan menoleh menatap Rania, “Sedikit, Bu.”
“Ya sudah, sana ganti bajumu dulu! Nanti sakit lagi.”
Anak lelaki ini mengangguk. Ia berpamitan dengan Sinta dan Wardana sebelum berlari menuju kamarnya.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments