Luna mengintip dari balik pintu. Dylan yang sedang memasang sepatu di teras rumah menoleh ke belakang. Ternyata dia menyadari keberadaan Luna.
“Ngapain lo di situ kayak tokek?”
Gadis ini menjauh dari pintu yang dia sandari. Mengerutkan bibir karena kesal dengan ejekkan Dylan. Namun, ia malah mendekati lelaki itu. Duduk di sebelahnya.
Dylan yang baru selesai memakai sepatu menoleh dan menatap gadis yang mengunakan kimono tidur itu. Rambut pun masih berantakan dengan wajah yang kucel.
“Sana mandi dulu.” Dylan menunjuk ke dahan pohon, “nggak malu sama burung? Burung saja sudah mencari makan. Lo masih saja ileran.”
Luna cepat mengusap wajah. Membersihkan kotoran di mata dan pinggir bibirnya.
“Iss, nggak ada tahu.” Luna memeluk kedua kaki, “gue mau tanya sesuatu.”
“Apa? cepat! Keburu siang nggak jadi gue olahraga.”
“Lo suka ya sama Alexa?”
Dylan berdiri, lalu merapikan kaus yang dia pakai. “Gosip sama lo saja belum kelar. Gosip dari mana lagi itu?”
“Gue lihat kalian ngobrol di dekat fakultas gue.”
Lelaki ini menoleh dan menunduk untuk menatap gadis yang duduk itu, “Gara-gara gue sama dia ngobrol lo langsung menyimpulkan kita jadian? Sama saja lo dengan anak-anak lain.”
Penuh semangat Luna berdiri. Ia terlihat sejajar dengan Dylan karena lelaki itu berdiri di anak tangga ketiga dari atas.
“Gue dukung kalian jadian.” Luna mengacungkan kedua ibu jari.
Dahi Dylan mengerut, “Gila lo!”
Setelah mengatai Luna, lelaki ini lekas berlari meninggalkan rumah untuk melanjutkan niatnya berolahraga.
“Semangat Dylan mendapatkan cinta!” Luna berteriak keras dengan senyum yang tidak putus.
Gadis ini kembali masuk sambil bergumam sangat pelan, “Gue harus bisa buat Dylan sama Alexa jadian. Biar Brian mau sama gue.”
•••
Bhiru dan Dylan tampak tambah dekat. Bisa dilihat sekarang mereka sedang asyik menatap layar televisi lebih tepatnya sedang memainkan playstation. Anak laki-laki yang sedang puber-pubernya ini memang lebih akur dengan Dylan daripada kakak kandungnya sendiri.
“Yeee, Bhiru menang.” Bhiru gembira atas keberasilannya memenangkan permainan dengan skor 7-5.
Dylan mengacak sekilas rambut anak itu, “Hebat. Mau main lagi nggak?”
Belum sempat Bhiru menjawab sudah didahului oleh Luna saja.
“Dylan!”
Hal hasil lelaki yang merasa dirinya terpanggil ini menoleh ke belakang.
“Ada apa?”
“Anterin gue ke mall yuk!”
“Nggak mau.” Dylan kembali melihat ke layar televisi.
Luna mengerutkan bibir, lalu melangkah mendekati kedua lelaki yang sedang duduk di bawah itu. Gadis ini duduk di atas sofa. Tangannya menarik-narik pelan kaus Dylan.
“Ayo, Dylan temani. Mumpung hari minggu. Lo nggak bosen di rumah saja?”
“Nggak.”
Kali ini Luna memajukan bibirnya. Kalau sudah kumat jutek dan bisunya Dylan, gadis ini suka kesal. Karena cowok itu pasti berbicara seperlunya saja.
“Jangan begitulah, gue mau cari bahan menggambar. Please, temani ya?”
Dylan menoleh, kemudian disambut oleh senyuman Luna. Namun, senyuman itu luntur saat Dylan hanya melepaskan baju dari tangan yang ditarik-tarik Luna.
“Kak Luna pergi sendiri saja atau minta antar Papa. Jangan ganggu kita lagi main,” ucap Bhiru yang menyelamatkan Dylan dari berisik rengekan gadis di hadapan mereka itu.
“Papa tidur. Ada Dylan ini, dia punya motor. Sayang kalau harus ngongkos.”
“Perhitungan banget persis mama,” gumam Bhiru dengan tidak jelas.
“Kamu bilang apa?”
“Bukan apa-apa.” Anak lelaki ini sibuk memainkan playstation-nya kembali.
“Tante Rania! Dylan nggak—“
Teriakan Luna terhenti saat Dylan membekap mulutnya. Pandangan kedua orang itu juga bertemu. Keduanya saling tatap. Luna merasakan sengatan kecil di jantung hingga dada berasa berdebar lebih cepat.
Hidung mancung, pipi mulus, dan tatapan dari mata Dylan yang tajam berhasil menghipnotis Luna.
“Kalian ngapain?”
Pertanyaan Bhiru membuat Dylan melepaskan bekapan dan menjauh dari Luna.
“Tangan lo bau!” pekik gadis itu. Sebenarnya Luna berbohong, dia hanya mencoba menghilangkan kecanggungan.
Dylan mengusap tepak tangan ke celana, “Tangan gue ini yang kotor gara-gara iler lo.”
“Suruh siapa bekap-bekap gue?” gadis itu menjulurkan lidah, “ayo temani atau gue bilangin ke Tante. Mau?”
Lelaki ini berdiri, “Ngancem saja bisanya. Tunggu di sini! Gue ganti baju dulu.”
Dylan melangkah meninggalkan ruang tengah. Luna senang karena caranya berhasil. Menggunakan Rania untuk memaksa Dylan memang menjadi senjata ampuh bagi Luna, sejak dia mulai akrab dengan cowok itu.
Pemuda itu sangat malas kalau sudah melibatkan Rania. Ibunya itu pasti akan menyuruhnya mengabulkan permintaan Luna. Walau Dylan menolak keras. Itu sama saja dengan Dylan tidak punya pilihan.
Sedangkan Bhiru menjadi marah dengan kakaknya. Karena telah mengusik dia bermain. Sekarang dia tidak punya teman.
•••
Dylan mendengarkan musik dari earphone yang terpasang di sebelah telinga. Ia sesekali memperhatikan Luna yang sedang memilih peralatan menggambarnya.
“Lo bisa menggambar sejak kapan?”
Mendengar pertanyaan terlontar dari mulut lelaki itu. Luna menjawabnya sinis, “kepo!”
Lelaki itu mendengus. Memang seharusnya dia tidak bertanya.
Luna tertawa memperhatikan Dylan, “Jangan BT gitu kali mukanya. Gue bisa menggambar dari umur 5 tahun. Terus sama Mama diikutin les menggambar, tapi saat masuk SMP. Gue nggak menekuni les lagi. Sekarang menggambar jadi hobi saja.”
Dylan mengangguk mengerti, “Kenapa nggak lo jadiin bisnis juga?”
“Bisnis apa?”
“Seperti menggambar wajah atau kirim ke pameran lukisan.”
“Nggak deh, nggak PD gue.” Luna memegang barang-barang yang dia ambil dari rak dengan susah payah. Sedangkan Dylan hanya menyimpan kedua tangan di dalam saku celana, “bantuin dong!”
“Malas.” Cowok itu berjalan pergi.
Sesudah membayar dan mendapatkan semua barang yang dibutuhkan Luna celingak-celinguk mencari Dylan di outlet alat tulis itu. Ia tersenyum saat mendapati Dylan berdiri di luar outlet. Gadis ini cepat berlari menghampiri pemuda yang sedang memainkan ponsel itu.
“Kita makan dulu ya?”
Dylan menoleh, mematikan ponsel, mencopot earphone dan menyimpan semua ke dalam saku.
“Lo ngomong apa tadi?”
Luna menghela napas, “Kita makan dulu. Gue lapar.”
“Makan di rumah saja. Gue mau pulang.”
Luna memeluk lengan Dylan, “Makan dulu! Ayo, Dylan...”
Gadis itu mengayunkan lengan lelaki ini sambil merengek manja. Cowok itu malas sekali kalau Luna sudah begitu. Apa lagi di tempat umum seperti ini. Dylan menatap gadis yang sedang membujuknya itu. Kemudian dia mengangguk.
“Asyik!” Luna menarik lengan pemuda itu untuk mengikutinya, “sini! Gue tahu tepat makan yang enak.”
“Makan saja habis itu pulang.”
“Iya-iya.”
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
☆𝕭υѕαи࿐ཽ༵
wahc seru thorr ceritanya,lama" dylan and luna mulai tumbuh perasaan suka nihc 😁
jia ypu thorr buat up selanjutnya
lope..lope dehc
2020-07-12
1
Raisya Bwt Bunda
dylan, dylanjutkan ceritanya thorr
2020-07-12
0