Housemate
Goretan pensil mengasir menciptakan bentuk wajah yang hampir sempurna. Tangan gemulai itu perlahan memperlihatkan wujud dari sosok yang selama ini dirahasiakan.
Senyum dari gadis rembulan ini memberi isyarat bahwa tidak lama lagi kebahagian akan tercipta dari sebuah lukisannya.
“Wah, sudah ada wajahnya!” ujar seseorang dari belakang yang terpukau dengan lukisan dari sebuah buku gambar.
Perempuan yang sedang serius pada kegiatannya itu menoleh ke belakang.
“Bagaimana, Lin? Bagus nggak?” tanya gadis itu dengan muka berseri-seri.
Teman yang dimintai pendapatnya ini menaikan kacamata bulat yang dia pakai ke posisinya semula, “Bagus, tapi kalau dilihat-lihat mirip seseorang. Hm, kok mirip Brian?”
Gadis itu tersenyum lebar, “Ini memang Brian.”
Ia mengangkat buku gambar itu tinggi-tinggi.
“Gue sudah putuskan kalau pangeran impian gue selama ini adalah Brian. Gue akan kasih gambar ini dan tembak Brian lagi.”
Gadis itu memandangi buku gambarnya tanpa senyum yang memudar.
“Lo sehat ‘kan, Lun?” Gadis yang rambutnya dikepang dua itu menyentuh dahi gadis yang dipanggilnya, Lun.
“Elina Safitri temanmu yang bernama Luna Almeyda ini sehat walafiat seratus persen nggak kurang nggak lebih.” Luna menyingkirkan tangan sahabatnya itu.
“Abis omongan lo kayak orang kesambet.” Elin menarik salah satu kursi yang ada di dekat Luna duduk dan ia ikut duduk di situ, “lo yakin mau nembak cowok itu lagi? Ini sudah yang kedua kalinya, Lun.”
Luna mengangguk dengan penuh semangat, “Yakin, memangnya ada yang salah?”
“Salah karena lo nembak duluan. Terus sudah ditolak masih aja ngotot.”
Elina memang terlihat seperti gadis cupu dengan kacamata bulat dan rambut kepang duanya. Namun, dengan Luna, dia suka bicara semaunya dan tegas. Karena teman satu-satunya yang ia punya di kampus ini cukup keras kepala.
Masih memandangi gambarnya Luna menjawab, “Ini sudah era emansipasi wanita kali, Lin. Lo hidup kayak di zaman Indonesia belum merdeka saja.”
“Tiap gue nasihatin pasti jawabnya udah emansipasi wanita, emansipasi wanita.” Elin menirukan cara bicara Luna. Sedangkan gadis yang dibicarakan itu hanya tertawa, “terus bagaimana sama ditolak? Lo nggak takut ditolak lagi?”
Luna menyimpan buku gambarnya di atas paha.
“Mungkin waktu itu gue kurang niat nembaknya maka dari itu ditolak sama Brian. Kali ini gue yakin nggak akan ditolak lagi.” Luna tersenyum menatap lukisan sang pangeran berwujud Brian.
Sebenernya Elina kurang yakin soal yang satu ini. Karena jabatan Brian sebagai playboy di kampus itu sudah terkenal. Cowok itu hanya sukanya memainkan wanita terus meninggalkan tanpa kepastian.
Namun, sangat disayangkan Luna masuk juga diperangkapnya. Mau melarang lagi itu pun percuma pada seseorang yang sedang kasmaran. Luna pasti tidak mendengarkan. Yang bisa Elina lakukan sekarang berdoa agar penolakan Brian tidak membuat Luna sakit hati.
“Ya sudah, ayo kita pindah kelas!" Elin berdiri lebih dulu, “ini kelas mau dipakai kelas lain.”
Luna memperhatikan sekelilingnya yang sudah sepi.
“Sampai nggak sadar udah ganti kelas.” Luna berdiri dan menyimpan buku gambar serta alat tulis ke dalam tas.
Setelah itu Luna merangkul Elin berjalan keluar dari kelas sambil berbincang.
“Sekarang jamnya bapak yang kepalanya botak di bagian depan itu doang ‘kan?” tanya Luna.
“Namanya Bapak Samsul.”
“Oh iya lupa.”
“Sudah dua tahun kuliah masih belum hafal saja sama dosen sendiri.”
Luna menanggapi hanya dengan cengengesan.
•••
Parkiran fakultas psikologi ramai sekali padahal baru pukul tujuh pagi. Dylan yang menghentikan motor maticnya tidak jauh dari sana jadi penasaran.
“Ada apa sih itu?” tanya cowok yang sedang melepas helm, lalu meletakkan di spion motor.
Teman yang memarkirkan motor di sampingnya ikut menoleh dan melihat ke arah keramaian.
“Nggak tahu juga.” Kendro mengedikkan kedua bahunya, “ada yang sakit kali atau ulang tahun?”
Dylan masih melihat ke arah keramaian sambil mencopot kunci motor dari motornya.
“Ulang tahun masa dikerjain pagi-pagi?” tanya Dylan lagi berdiri di samping motor.
“Berarti sakit. Udah, ayo kita foto copy dulu materi ini. Jangan ngurusin orang!” Kendro mengibaskan tangannya.
Dylan menggelengkan kepala dan memutuskan untuk menyusul Kendro yang sudah ada di depan.
Sedangkan di tempat keramaian Luna menunjukan lukisan yang kemarin ia buat. Ia tersenyum lebar menatap Brian yang ada di depannya. Cowok di hadapan Luna itu terlihat santai dan menikmati apa yang Luna sampaikan.
“Brian, tahu nggak kenapa Luna gambar ini?” tanya Luna.
Cowok itu menggeleng, “Nggak, memang kenapa, Lun?”
“Luna gambar pangeran berwajah Brian karena Brian pangeran yang Luna dambakan selama ini. Luna suka Brian. Brian mau jadi pacar Luna?”
Selesai Luna bertanya itu. Mahasiswa dan mahasiswi yang berkumpul bersorak. Elina meremas tote bag-nya dengan raut wajah cemas.
Cowok tinggi, berpenampilan cool, dan rambut cepak itu mengangkat tangannya tinggi. Apa yang dia lakukan berhasil membuat diam teman-temannya itu.
“Gede juga ya nyali lo nembak gue lagi. Bukannya sudah pernah gue tolak?”
“Ditolak sekali saja nggak bikin Luna mundur. Luna sudah satu semester ini suka sama Brian. Mau ‘kan jadi pacar Luna?”
“Nggak!”
“Kenapa? Padahal Luna sudah bikin gambar ini buat Brian.” Luna mengulurkan tangannya bermaksud memberikan buku gambar itu pada cowok di depannya ini.
“Gue nggak butuh ini.” Brian mengambil buku itu, lalu melemparnya ke bawah.
Luna tersentak, “Kok dibuang?”
Elina menggigit bibir bawahnya. Ia memperhatikan orang sekeliling yang memvideokan kejadian itu.
“Masih mending gue buang nggak gue injek-injek kayak gini.” Brian menginjak-injak gambar itu hingga gambar hancur dan buku gambar robek.
Bahu Luna bergetar, matanya terasa panas, wajahnya berubah murung. Brian yang melakukan itu malah tersenyum dan tertawa pelan menatap Luna.
“Brian kenapa jahat sama Luna? Padahal biasanya perhatian.”
“Perasaan lo aja kali. Inget ya jangan pernah nyatain perasaan lo lagi di depan gue. Gue itu nggak suka sama lo. Kecuali lo Alexandra anak hukum yang cantik itu.”
Air bening menetes di salah satu mata Luna. Perlakuan Brian kelewatan. Harusnya tidak perlu sampai menghancurkan pemberian gadis itu.
“Jadi selama ini perhatian Brian itu palsu?”
“Eh, culun. Gue sama semua cewek memang baik kali. Lo saja bodoh. Gitu doang baper.” Brian melipat kedua tangannya di dada.
Pipi Luna sudah basah kuyup. Orang-orang menyorakinya.
“Muka nggak seberapa berani-beraninya nembak Brian. Nggak tahu malu lo!” teriak salah satu mahasiswi yang ada di kerumunan itu.
Elina sudah tidak tega melihat sahabatnya ini dipermalukan. Ia lekas mengambil buku gambar yang sudah rusak dan menarik lengan Luna untuk meninggalkan tempat itu.
•••
.
Gimana-gimana sama cerita baru ini? semoga suka ya. JANGAN LUPA TERUS DI SUPPORT! LIKE, KOMEN DAN VOTE ^^
Fovoritkan jangan lupa biar selalu ada notip dan nggak ketinggalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Kusii Yaati
aq mampir Thor...sebenarnya aq kurang suka sama cewek yg nembak duluan, kayak gmn gitu !!!😁
2023-06-07
1
Endang Winarsih
mampir thooor
2023-02-06
0
Violla
Salam kenal dari mantan tercinta
mampir juga yuk😁
2020-08-05
0