“Luna! Luna buka pintunya!” Dari luar Dylan menggedor-gedor pintu kamar berwarna pink itu dengan brutal.
Sedangkan sang empunya kamar mencoba membuka mata. Ia menguap lebar sebelum menjawab panggilan Dylan.
“Sabar! Gue baru bangun.”
Ketukan itu masih saja terdengar. Dylan tidak mengacuhkan ucapan gadis yang rambutnya acak-acakan ini.
“Luna!”
“Aduh...”
Luna merintih saat dahi terkena pukulan oleh tangan Dylan. Sakit sekali rasanya. Sepertinya, pemuda itu mengeluarkan tenaga dalam saat mengetuk.
“Berisik!”
Teguran dari Bhiru yang menyembulkan kepala di balik pintu membuat Dylan dan Luna menoleh pada anak itu.
“Dia nih yang berisik.” Luna menunjuk Dylan, “masih pagi sudah gedor-gedor kamar orang saja.”
“Kalau nggak ada masalah gue juga ogah datang ke kamar lo.”
Bhiru memutar bola mata, lalu kembali masuk ke kamar untuk melajutkan tidur. Padahal seharusnya dia bersiap-siap untuk ke sekolah.
“Ada masalah apa sih? Perasaan sejak bertemu lo dapat masalah terus gue.”
“Harusnya itu dialog gue. Nih lihat!” Dylan menunjukan ponsel miliknya, “foto kita jalan dan makan di mall sudah tersebar. Nanti apa lagi? Bakal ketahuan kita serumah?"
Kedua mata Luna membulat, bola mata seperti ingin melompat ke luar.
“Siapa yang foto sih? Iseng banget jadi orang,” gerutu gadis itu yang ikut kesal.
“Mana gue tahu. Kalau gue sudah tahu bakal gue hajar."
“Pasti gue akan jadi bulan-bulanan anak kampus lagi.” Luna mer*emas rambut, “kenapa sih sejak saat itu hidup gue penuh masalah.”
“Gue juga pasti sama. Sampai di kampus teman-teman sekelas akan bertanya.” Lelaki ini melirik gadis berpiama di depannya, “sial gue sejak kenal lo.”
Luna menurunkan kedua tangan dari atas kepala, “Jadi lo pikir gue pembawa sial?”
“Iya, sudah ada buktinya. Pembawa sial dan berisik lagi.”
“Iiih...” Luna menarik rambut Dylan hingga lelaki itu menjerit kesakitan, “rasakan pembalasan Luna.”
“Lepasin sakit!” Dylan berusaha melepas jambakan gadis itu, tetapi Luna malah menarik terus-menerus rambutnya.
“Ada apa ini kok ribut-ribut? Kedengaran tahu sampai ke bawah. Tadi suara apa yang keras itu?” Rania yang baru datang memberi banyak pertanyaan.
“Ini ulah dari Dylan, Tante. Ngetuk kamar Luna dengan bar-bar. Terus ngatain Luna pembawa sial lagi.”
Dylan masih saja memohon minta di lepaskan dan merintih kesakitan.
“Astaga Dylan. Ibu nggak pernah mengajarkan seperti itu.”
“Ibu nanti dulu nasihatnya. Tolongin aku. Sakit ini.”
Rania terkejut. Ibu satu anak itu memegang kedua tangan Luna yang menarik rambut anaknya.
“Luna lepas ya. Nggak baik seperti ini. Nanti Dylan biar Tante yang hukum.”
Luna terdiam saat mendengarkan Rania bicara padanya. Pembawaan yang lemah lembut berhasil meluluhkan hati Luna. Ia melepas genggaman di rambut Dylan.
“Untung rambut gue nggak copot.” Dylan mengelus kepala yang terasa cenat-cenut.
Luna meliriknya. Dylan lekas berlindung di belakang Rania.
“Lihat tuh, Bu. Dia yang bar-bar.”
Rania memutar tubuh menghadap belakang, “kamu juga nggak boleh berbicara seperti itu. Kasar kalau berucap pembawa sial pada orang lain. Mengerti?"
Pemuda ini menundukan pandangan, “Iya, maafkan aku, Bu.”
“Minta maaf sama Luna!”
Dylan mencoba menatap Luna, “Maaf, Lun."
“Nggak tulus tuh, Tante.”
Rania menatap Dylan sambil melotot. Dylan menunjukan ekspresi geram kepada Luna.
“Ayo, yang benar!”
“Maaf, Luna. Gue nggak akan bilang begitu lagi.”
“Oke,” jawab Luna dan terakhir dia menjulurkan lidah.
Kalau tidak ada ibunya itu Dylan ingin sekali menjepit leher gadis ini di lengan sampai meminta ampun untuk dilepaskan.
“Sana kalian pada mandi! Mau ke kampus ‘kan?”
“Dylan masuk siang, Bu.”
“Iya, Tante. Luna mandi dulu.” Gadis itu segera menutup pintu kamar kembali.
“Kalau begitu cuci muka dan gosok gigi. Turun ke bawah untuk sarapan dulu!” suruh Rania pada anak laki-lakinya.
Dylan mengangguk, “Iya, Bu. Ibu duluan saja.”
•••
Pagi ini Luna diantar sang ayah. Karena Dylan tidak ada jam kuliah pagi. Namun, menurut Luna itu bagus. Jadi, gosip yang tersebar bisa dipertekan sedikit ketidakasliannya.
Sedang enak-enak berjalan meliwati koridor tiba-tiba saja Elina datang dan menarik lengan Luna.
“Ayo ikut gue!”
“Mau ke mana? Kelas kita ‘kan ada di sana hari ini.” Luna menujuk lurus ke depan. Pasalnya, Elina menarik ke arah berlawanan.
“Lo harus lihat mading!”
Perkataan gadis berkepang dua itu membuat pikiran Luna menjadi tidak enak. Akhirnya, ia pasrah untuk di tarik ke depan mading.
Sampai di depan papan besar yang tertempel di dinding ini, orang-orang yang sedang memperhatikan pengumuman yang terpajang di sana seketika menoleh ke Luna. Mereka bergeser memberi Luna sela untuk lewat.
“Tuh, dari tadi foto ini sudah ada di mading,” jelas Elina menunjuk foto-foto Luna dan Dylan saat sedang jalan berdua di hari minggu kemarin.
Mata gadis ini melebar dan mulut terbuka sedikit. Ia heran bisa saja orang-orang mendapatkan fotonya dan Dylan. Pakai di tempel ke mading lagi. Apa tidak puas membuat kehebohan di sosmed.
“Lo sama cowok itu pacaran, Lun?” Luna menoleh pada seorang mahasiswi yang bertanya.
Gadis ini menggeleng, “Gue sama dia itu nggak pacaran.”
“Alah, Lun. Kalau nggak pacaran kenapa sering kelihatan berduaan?” sahut mahasiswi satunya lagi.
“Jadi, ceritanya sudah move on dari Brian. Padahal katanya cinta Brian banget.” Seorang cowok ikut berkomentar.
“Hebat juga bisa dapat anak kedokteran. Rahasianya apa, Lun? Hahaha,” tambah seorang gadis, lalu di iringi tawa.
Orang-orang diantara Luna dan Elina itu juga ikut tertawa. Luna pusing mendegarkan perkataan orang lain. Ia berlari dari kerumunan mahasiswa di depan mading. Elina lekas menyusulnya.
“Ihhh!” Luna mer*emas tali ransel, “Kenapa sih orang-orang suka banget ngurusin hidup orang lain.”
Elina mengelus-elus pundak sahabatnya, “Sabar, Lun. Yang penting tuduhan mereka itu nggak benar.”
Luna menoleh pada gadis berkacamata ini. Ia berpikir apabila Elina tahu kalau dirinya dan Dylan serumah. Apa akan sama reaksinya dengan orang-orang itu?
Sebuah tepuk membuyarkan lamunan Luna yang dari tadi fokus menatap Elina.
Ternyata itu Brian. Cowok dengan tampilan selalu nyentrik ini tersenyum menghampiri kedua gadis yang sedang berdiri di koridor.
“Selamat Luna.” Dahi Luna berkerut saat Brian mengulurkan tangan. Namun, karena tidak disambut Brian menarik tangan kembali, “begitu dong move on dari gue. Sekarang kalau begini gue bisa bebas dekati Alexandra.
Karena Dylan tidak akan menghalangi kedekatan gue dan Alexandra,” sambung Brian di dalam hati.
“Brian kok ngomongnya begitu. Luna padahal sayang banget sama Brian.” Gadis itu menunjukkan ekpresi kecewa.
“Lo nggak boleh bilang sayang ke cowok lain. Nanti kalau cowok lo dengar bahaya.”
“DYLAN ITU BUKAN COWOK LUNA!” karena kesal terus dituduh Luna berteriak di depan Brian, lalu pergi begitu saja.
Elina menatap Brian sedikit takut. Kemudian dia berlari mengejar Luna.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
seizy Kurniawan
semangat kak MY ENEMY IS MY LOVE mampir
2020-07-15
0
Nenden Nuranisa
i loveeeee this novel
suka sukaaaaaa
nih aku kasih vote untuk author tersayang , semangat up laginya yahh ditunggu loh 😍😁😁
2020-07-14
0
Akira Kian
next...semangat thor
2020-07-14
0