“Aaaaaaa! Kesal-kesal!”
Luna mencabik-cabik buku gambar miliknya yang memang sudah rusak. Sedangkan Elina hanya memperhatikan sambil sesekali bergidik.
“Gue benci sama Brian!” ujarnya membuang begitu saja buku gambar.
“Eh, jangan buang sembarangan nanti dimarahin OB!” Elina turun dari tribun tempatnya duduk dan memungut buku gambar milik Luna.
Luna meletakkan tasnya, lalu turun dari tribun yang dia duduki. Elina yang kembali duduk menautkan alis saat melihat Luna yang malah pergi.
“Lo mau ke mana?”
“Lari! Gue kesal banget.”
“Terus nggak masuk kelas?”
Luna yang sedang berancang-ancang akan mengerakkan kedua kakinya ini menoleh pada sahabatnya yang ada di atas tribun.
“Nggak deh, gue nggak akan konsentrasi kalau dipaksain belajar. Kalau lo tetap mau masuk. Masuk saja, sekalian izinin gue.”
“Kalau gitu gue temenin lo aja deh. Sekali-kali bolos.”
Luna menggelengkan kepalanya pelan dan melihat ke depan. Ia mulai berlari mengitari lapangan basket yang saat itu sepi. Karena sebagian mahasiswa sibuk di kelasnya masing-masing.
Selain menggambar kelebihan Luna yang kedua adalah berlari. Walau kakinya tidak panjang Luna larinya cukup cepat.
Sudah setengah jam Elina duduk menunggu Luna yang masih memutari lapangan. Gadis itu tidak ada capeknya padahal keringat sudah bercucuran. Kekesalannya pada Brian membuat dia enggan menyudahi larinya. Rasa marah, kesal, dan emosi masih meletup-letup. Ia tidak ingin berhenti sampai itu hilang.
Elina berdiri di atas tribun dan berteriak, “Luna sudah cukup, hentikan! Lo sudah lari dari tadi. Jangan dipaksain!”
Luna berhenti dan memegang kedua lututnya. Ia mencoba mengatur napas. Dia mengelap peluh yang ada di pelipis, lalu berdiri tegak lagi.
“Gue masih kuat. Lo jangan khawatir!” balas Luna berteriak.
Elina menghela napas. Luna begitu susah untuk dinasihati.
Gadis dengan rambut panjang sebahu itu kembali berlari. Kedua kaki itu melangkah tidak secepat tadi. Mungkin ini efek dari tenaga yang berkurang. Wajah Luna juga mulai terlihat memucat.
Luna tiba-tiba jatuh tersungkur. Ia meringis. Elina terkejut melihat itu. Namun, saat Elina ingin turun dari tribun dan akan menghampiri Sahabatnya, gadis itu sedang mencoba berdiri lagi. Elina mengurungkan niatnya. Ia memperhatikan saja dari jauh.
“Lun, lo nggak apa-apa?” teriak Elina dan menaikan kacamatanya yang turun.
Luna mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Ia memberi isyarat tanpa menoleh pada Elina. Gadis itu kembali berlari. Namun, baru beberapa langkah dia jatuh lagi.
“Luna!” pekik Elina yang kini berlari menghampiri.
Luna mengubah posisinya menjadi duduk di pinggir lapangan. Ia memeriksa sikunya. Ada darah dan goresan di situ. Dia meniup-niupnya dan meringis kesakitan.
“Lun, lo baik-baik aja ‘kan?” tanya Elina yang nampak khawatir.
Luna merengek dan mendongak, “berdarah.” Ia menunjukkan luka di sikunya.
“Lo juga sih ah!” dengan kesal Elina duduk di depan Luna. Gadis itu memeriksa tangan sahabatnya, “cuma lecet sedikit. Kita ke UKK saja minta obatin.”
Gadis yang memakai setelan kaus lengan pendek dan celana panjang itu menggelengkan kepala, “Nggak mau nanti perih.”
“Lo mau ini infeksi terus tambah parah? Nanti tangan lo bisa diamputasi.” Elina sedikit melebai-lebaikan ceritanya.
“Hah, memang bisa begitu?”
Elina mengangguk, “Kata abang gue begitu. Masa lo nggak percaya sama abang gue yang dokter?”
Luna nggak pernah merasa ragu sama pendapat kakak dari sahabatnya. Secara kakak Elina itu Dokter. Yang pasti akurat. Namun, ucapan Elina yang telah membohonginya.
“Ya sudah ayo kita ke UKK! Lo harus temenin gue!”
Elina menautkan jari telunjuk dan ibu jari hingga menjadi bentuk oke.
“Siap bosku!” Elina segera bangkit dan menarik kedua tangan Luna yang terulur, membantu gadis itu untuk berdiri.
“Gue ambil tas kita dulu.” Elina cepat-cepat berlari kembali ke tribun.
Setelah mengambil tas gadis itu mendatangi Luna kembali. Ia memapah sahabatnya itu menuju UKK yang ada di dekat fakultas kedokteran.
•••
Kelas cukup berisik karena dosen yang mengajar di jam itu belum kelihatan batang hidungnya. Dua mahasiswa masuk dengan membawa foto copy materi yang disuruh dosennya kemarin.
“Ini pada ambil sendiri ya!” suruh Dylan saat meletakkan tumpukan kertas ke meja pengajar.
Teman-temannya segera berdiri dan berjalan ke depan. Ia mengambil dua materi, lalu melangkah mendekati kursinya.
“Ini punya lo.” Ia memberikan satu kertas materi pada mahasiswa yang sibuk dengan ponsel ini.
“Ini Pak Junet ke mana?” tanya Kendro yang duduk di kursi depan. Namun, menghadap ke belakang menatap temannya.
Cowok yang sedari tadi memainkan handphone itu menjawab, “katanya nggak masuk. Kucingnya melahirkan.”
Kendro tertawa, “Serius lo, vier?”
“Dosen ajaib.” Dylan ikut tertawa pelan.
Javier mengalihkan perhatiannya dari ponsel, “Seriuslah, ndro. Kata Fatur, kucingnya Pak Junet harus disesar karena bayinya sungsang.”
Kendro tertawa terbahak-bahak mendengar cerita sahabatnya itu. Sedangkan Dylan yang ikut tertawa jadi bergidik ngeri melihat temannya ini seperti kesurupan.
“Eh-eh liat ini dah lo pada!” Javier mengulurkan tangan. Menunjukan sesuatu yang ada di ponselnya.
Dylan yang duduk berseberangan dengan Javier itu menarik kursinya mendekat.
“Ada apa?” tanyanya yang penasaran.
Kendro berhenti tertawa dan memanjangkan lehernya ke depan agar dapat melihat yang ingin Javier tunjukkan.
“Ini mahasiswi psikologi. Katanya, dia nembak cowok yang sama dua kali, tapi tetap di tolak,” jelas cowok yang rambutnya kepirang-pirangan itu.
“Oh ini yang tadi pagi di parkiran itu.” Dylan teringat kerumunan yang sempat dia saksikan.
“Lo liat kejadiannya, Dy?” tanya Javier dengan membenarkan letak tangannya yang terus digeser Kendro.
“Liat dari jauh doang. Lagi pula nggak kelihatan siapa yang nembak dan ditembak.”
“Ini mah si Brian.” Tunjuk Kendro pada video rekaman yang berlangsung, “nggak habis pikir dari balita sampai nenek-nenek pasti naksir dia.”
“Lo kenal?” tanya Dylan yang diangguki Javier.
“Dia ini teman satu SMA gue dulu. Masa kalian nggak tahu sih kalau dia dijuluki playboy kampus di universitas kita ini?”
“Gue nggak ngurusin itu.” Javier menarik benda pipih yang ia pegang mendekat.
“Dia ya gitu suka mainin perasaan cewek. Nggak ada satu pun cewek yang deket sama dia dijadiin pacar betulan. Sok cakep banget emang.” Kendro merapikan rambutnya, “cakepan juga gue.”
“Najis!” umpat Dylan ketika mengeser kursinya kembali.
Kendro memajukan bibirnya. Merajuk pada Dylan.
“Aduh!"
Ringisan dari Javier membuat Dylan dan Kendro menoleh bersamaan. Cowok itu memegang perutnya.
“Kenapa lo?” tanya Kendro.
“Kayaknya maag gue kambuh.” Javier masih menahan rasa sakit di perutnya.
“Gue beliin obat maag dulu.” Dylan berdiri.
“Nggak usah beli ambil di UKK saja sana!” usul Kendro, “lumayan hemat uang jajan.”
“Di kantin aja sekalian cari makan dan minum untuk Vier.”
“Gue saja yang nyari itu. Lo ke UKK saja. Lagian nggak jauh gini,” ucap Kendro yang ikut berdiri.
“Pinter banget lo. Yang enak lo pilih. Awas lo makan dulu di kantin! Itu usus dua belas jari lo, gue jadiin sembilan,” ancam Dylan yang perlahan keluar dari kelas.
“Serem banget si Dylan kalau sewot begitu.” Kendro bergidik, lalu pergi meninggalkan Javier yang masih merintih.
•••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Gustein Arifin👑
baca lagi dong
2023-03-16
0
Tika
baca lagi
2020-08-05
0
Inces
Ouww nda sabar nunggu part selanjutnya
2020-03-10
2