Beberapa minggu kemudian, semuanya terasa sempurna. Entah apa, Theo terasa lebih lembut dari sebelumnya. Bukan hanya itu, aku juga bisa keluar rumah meski tetap saja harus di temani Dergaz atau Theo sendiri.
Kadang aku merasa bingung. Hanya itu, kejadian itu. Andaikan saja waktu itu aku tidak menolong Theo, mungkin aku akan menjadi mahasiswi biasa sekarang. Sungguh, andaikan waktu bisa diulang aku ingin kembali dimana Theo babak belur tanpa aku tolong.
"Apa ada sesuatu, Emelin?" tanya Theo yang seketika menepuk pundakku.
Ya, aku kembali dari lamunanku. Aku sadar, sekarang tengah menikmati makan siang dengan Theo do halaman. Libur akhir tahun, dimana suhu mulai dingin di sini tapi salju belum terlihat sejak awal musim dingin.
"Emelin, apakah kamu sakit? Kamu terlihat diam beberapa hari ini, apakah ada sesuatu terjadi?" tanya Theo beruntun, sambil sesekali meletakkan tangannya di dahiku.
"Tak ada" jawabku singkat, dengan memakan beberapa cemilan pencuci mulut.
"Kamu tak suka makanan penutup nya?" tanya Theo kembali.
"Tidak, ini lezat" jawabku menatap Theo.
Tapi tak berselang lama, Theo justru malah menHan wajahku di sana. Terlihat Theo menatap wajahku dengan penuh sambil sesekali mengusap bibirku.
"Beberapa hari ini, tidak mungkin minggu? Kamu jarang bicarakan. Aku tanya kembali, apakah ada sesuatu terjadi?" tanya Theo sambil menahan wajahku agar menatapnya.
Jika boleh jujur, sebenarnya aku memang tengah memikirkan sesuatu. Hanya saja, aku terlalu takut untuk mengucapkannya. Baru beberapa minggu ini Theo tak memukul, ataupun menampar. Rasa ingin pergi semakin jauh, tapi aku tetap ingin pulang.
"Aku, takut untuk bilang" jawabku dengan penuh nada ragu.
"Kenapa? Kenapa takut?" tanya Theo sambil mengusap kepalaku.
"Katakanlah, aku tak akan memukulmu. Aku tau aku sering melakukan itu dulu, tapi sekarang tidak bukan? Cepat katakan" lanjut Theo dengan wajah seriusnya.
"Bolehkah? Tidak... Maksudnya aku ingin kembali Theo. Aku ingin pulang. Seperti mahasiswi biasa, aku pergi ke kampus, bertemu dengan yang lain, ataupun menemui keluargaku. Berapa lama aku di sini? Sungguh semakin lama semakin aku lupa dengan mereka, tapi saat ingat aku semakin merindukannya" jelas ku dengan nada perlahan.
Theo tak mengucapkan apapun, bahkan aku tak tau ekspresi apa yang dia keluarkan. Aku terus menundukan kepalaku, masih takut saat dia nanti menampar atau memukul wajahku.
Telapak tanganku mulai berkeringat dingin, dan tubuhku mulai gemetar. Berapa lama Theo diam, dan tak mengatakan apapun.
"Emeline... " panggil Theo.
Aku tersentak, langsung menutup mataku. Nafasku terasa sangat berat merasakan aura Theo yang berganti.
"Kamu harus menara orang yang sedang berbicara denganmu Emelin, biasakan itu" kata Theo dengan nada datar.
"Maafkan aku"
"Maaf? Untuk apa?"
"Ucapanku barusan" kataku masih tak tau alur pembicaraan ini.
"Ha... Bukankah aku bilang, kamu harus menatap orang yang kamu ajak bicara" ucap Theo tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya.
Beberapa saat kemudian, theo mulai memegangi wajahku kembali. Tepat dari belakang, Theo membuat wajahku menadah ke atas.
"Sepertinya kamu memang baik-baik saja ya, Emelin" ujar Theo sambil tersenyum padaku.
Saat itu juga, bibir Theo melayang ke bibirku. Lembut, dan halus juga hangat. Theo kini terbiasa dengan pagutan halusnya, tak seperti di awal yang selalu memaksa. Kini Theo terlihat lebih tenang, dan lembut saat melakukannya.
"Ha, seperti biasa. Ayo" kata Theo sambil menggandeng tanganku.
"He-! Kemana?!" tanyaku takut sambil beranjak dari kursi, dan mulai mengikuti langkah kaki. panjang dari Theo.
"Kamu ingin pulang bukan? Lama sekali kamu tak minta itu, kenapa sekarang tiba-tiba teringat tentang tempat tinggalmu?" tanya Theo, dengan sigap memeluk pinggaku.
"Tak ada, hanya terpikir saja. Theo? Kamu tak marah?"
"Marah? Tentu, aku marah saat kamu masih memikirkan tempat tinggal mu, di saat kamu sudah di rumah denganku" jelas Theo Sambil terkekeh pelan.
Aku justru heran. Theo saat marah memang mengerikan, tapi saat seperti ini justru tambah mengerikan. Karena aku tak tau apa yang di pikirkan Theo.
"Theo? Sungguh kamu membuatku takut" ucapku berusaha untuk melepaskan pelukannya.
"He? Takut kenapa? Ingin pulang bukan? Ayo puaskan aku dulu sayang... " kata Theo dengan kekehan yang masih dia lakukan, dan mulai mengecup tengkuk dan mulai leherku.
"Sial! Theo kita masih di luar!" teriakku mulai panik saat Theo melakukan aksinya.
"Luar rumah, lagipula ini rumahku tak ada yang menggangu kita" kata Theo dengan suara baddas yang di buat manja olehnya.
"Theo! Hen-"
"Emeline, ayo kita keluar" sela Theo di saat aku mulai marah.
Saat itu aku tak percaya dan langsung menatap Theo.
"Apa? Kamu bosan di sini bukan? Saat kita jalan-jalan, apakah kamu akan lupa tentang rumahmu itu?" kata Theo mengusap kepalaku.
"Saat kita selesai berpergian nanti, jangan minta pulang lagi. Dan saat kamu bosan, kita akan pergi ke luar kembali, janji?" lanjut Theo.
Aku menatap Theo dengan tatapan yang masih terkejut. Aku tak tau apa ya g terjadi, tapi Theo masih tak berkata setelah itu.
"Ha? Sungguh?" tanyaku masih tak percaya.
"Jika tak mau tak apa, ayo kembali ke rumah" kata Theo melepaskan pelukannya, dan mulai menggandeng tanganku untuk masuk.
"Sebentar Theo!" teriakku sambil menahan tanganku.
"Kapan... Kita akan pergi?" tanyaku kembali dengan palingan wajah malu.
Di sisi lain, Theo tersenyum padaku dan mulai mendekatkan wajahnya.
"Kamu ganti baju ya? Jangan pakai seperti ini, yang panjang aku tak mau badan kamu di lihat orang" kata Theo sambil mengecup dahiku.
Benar, serasa suami yang perhatian. Aku dengan Theo sudah berapa kali melakukan hubungan badan, tidur bersama, dan berciuman. Sayangnya, kami masih belum ada ikatan, apakah ini seperti kegiatan wanita malam?
Setelah beberapa saat aku pergi dengan Theo berdua. Jantungku serasa berdegup kencang dari sebelumnya. Aku melihat orang, melihat jalan, beberapa pemandangan hutan. Tak lupa, aku juga melihat orang berseragam polisi yang berlalu lalang.
'Bisakah aku pulang?' tanyaku batin saat melihat beberapa pos polisi.
"Jangan berpikir untuk pergi Emeline, apapun yang terjadi aku masih sama. Jika kamu berusaha pergi, aku akan mengurungmu lebih parah dari sebelumnya" ucap Theo yang membuatku sketika tersentak.
'Dia bisa telepati juga?' tanyaku dengan melihat wajah Theo yang fokus kedepan.
"Apa-apaan tatapan itu? Emelin aku tak perlu bisa membaca pikirkan untuk tau apa yang kamu inginkan, kamu ingin pergi bukan? Jangan melakukan hal seperti itu"
ucapan Theo kembali membawaku turun. Jika aku bisa keluar pasti Theo juga sudah memikirkan hal matang untuk menjagaku agar tak kabur. Naif sekali diriku, berpikir aku bisa pergi dari Theo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Vitry Aruviwiny
kasian emelin
2022-02-11
0