Aku masih duduk di depan cermin, dimana bibi Teresia masih menyisir rambutku. Ah, dia adalah wanita kemarin. Ibu sambung dari Theo. Dia mengucapkan apapun yang Theo lakukan kepadaku dia tak suka akan hal itu, jadi saat aku masih di sini aku tak perlu khawatir Theo melakukan kekerasan lagi.
"Dari dulu bibi mau punya anak perempuan, tapi tak bisa karena harus di pekerjakan dengan keluarga Kavaleri. Tak apa, mereka adalah keluarga yang baik. Dan Theo, dia juga anak yang baik jadi jangan khawatir jika dia memukuli atau berbuat kasar lagi" ujar bibi Teresia sambil mengikat rambutku.
"Bibi... Jika seperti itu kenapa tidak keluar saja? Pekerjaan ini sepertinya mengekang" jawabku enteng saat bibi Teresia bercerita.
Dia hanya tersenyum simpul, sambil menyelesaikan bagian akhir untuk mengikat rambutku. Sejujurnya aku sangatlah senang, bibi Teresia sangat ahli dalam mengikat rambut.
"Ada beberapa hal yang tidak semudah di bicarakan sayang, setidaknya bibi mendapatkan anak yang sukses seperti Theo itu tak masalah" ujarnya dengan senyuman sambil memeluk leherku.
Di pikir lagi mungkin memang bibi Teresia sangat ingin Mempunyai anak perempuan. Di lihat lagi dengan kemampuannya, serta perilakunya yang seperti lebih memanjakan anak perempuan. Tak mungkin untuk melakukan hal yang sama ke Theo.
Aku masih tak bisa memaafkannya, mungkin dia memang yang membawaku ke sini. Tak datang selama beberapa hari, tapi tetap saja aku masih tak bisa melupakan apa yang dia lakukan terhadapku. Bekas luka mungkin sudah sedikit memudar, tapi ingatan ini masih jelas.
"Emelin, apa yang kamu pikirkan?" tanya bibi Teresia saat sadar akan lamunan ku.
"Tak masalah... Hanya saja aku sedang memikirkan sesuatu. Bukan hal yang penting, jadi tak apa" ujarku dengan senyuman tulus.
"Baiklah... " ujar bibi Teresa sambil menggandeng tangan ku.
Awalnya mungkin aku kira kita akan sarapan seperti biasa. Tapi saat melewati meja makan, jujur aku sedikit penasaran. Apalagi saat kamu keluar dari rumah, dan menunggu beberapa saat di luar.
"Bibi? Kenapa kita ke berdiri di sini?" tanya ku setalah beberapa saat berdiri di sini.
"Bibi sedang menunggu anak bibi... Katanya dia akan mampir ke rumah untuk sarapan" ujarnya sambil mengusap tangan ku yang masih dia gandeng.
Aku sedikit menaikkan salah satu alis, tanda aku kebingungan. Tapi di sini lain juga aku menduga, apakah Theo yang bibi Teresa maksud.
"Maaf bibi anak yang mana, apakah yang bibi maksud itu The-"
"Aku pulang, maaf menunggu lama" terdengar suara bass yang masuk ke dalam telingaku.
Spontan aku langsung mengarah ke sumber suara, dimana benar disana ada Theo yang tengah merapikan pakaian nya. Belum lagi di sampingnya, juga ada seorang laki-laki yang terus tersenyum ke arahku.
Badanku langsung mengigil seketika, dimana aku berusaha untuk lari dari sini. Tapi hasilnya sia-sia saat bini Teresa menggandeng tanganku, dan mencegah ku untuk pergi.
"Bibi! Maksudnya bibi... Bibi Teresa! Ja-jangan bilang jika bibi menghianati kepercayaan ku juga" ujar ku dengan air mata yang mulai keluar.
"Nak... Tenang saja, percaya dengan bibi" ujar bibi Teresa sambil menambah genggaman tangannya.
Aku menatap bibi Teresa tak percaya. Sambil melihat ke arah di mana Theo sudah berada di depan ku.
"Maaf kami sedikit terlambat, i-" ujar Theo terhenti saat bibi Teresa menampar nya.
Bukan hanya Theo, tapi aku juga terkejut di sini. Bibi Teresa tak menggunakan tangannya sendiri, melainkan melayangkan tangan ku untuk menampar Theo.
'Orang ini ingin membuatku dalam masalah' ujar ku membatin sambil menatap kuat ke arah bibi Teresa.
Tamparan yang kuat, bahkan tangan ku terasa perih. Apa yang terjadi di sini, masih belum ada kejelasan.
"Apakah sakit sayang?" tanya bibi Teresa sambil mengusap tangan ku yang sedikit memerah.
"Eh-?!" kata spontan karena terkejut.
Entah apa yang di pikirkan oleh bibi Teresa, saat dia melakukan hal seperti ini.
"Dan untuk kamu Theo, siapa yang mengajari mu untuk bertindak semena-mena seperti ini. Kamu tau kamu yang menitipkan dia ke sini, dengan bekas luka yang hampir ada seluruh tubuhnya. Saat itu aku diam karena aku tak bisa berkata-kata, tapi saat ini aku bisa bilang hal yang kamu lakukan tidaklah benar" kata bibi Teresa dengan nada yang sedikit meninggi.
Apakah ini marah? Apakah bibi Teresa jika marah akan seperti ini? Pertanyaan itu muncul saat melihat wajah bibi Teresa. Aku belum pernah melihat sisi yang seperti ini, yang selalu aku lihat hanya senyuman tulus seorang ibu.
"Untuk hidup di dunia yang seperti ini, bukankah saya selalu membuat kesalahan. Ini juga hal yang wajar, tak masalah juga jika aku membunuhnya seperti yang lainya" ujar Theo tiba-tiba saat membuka suara.
Ini keadaan yang lebih menekan dari biasanya. Bahkan aku tak berpikir untuk masuk ke dalam situasi ini. Sama-sama aura yang menekan dan juga kuat, kenapa bibi Teresa bisa sekuat ini untuk menjegal ku sekarang.
"Baiklah, jika begitu bunuh dia sekarang!" kata bibi Teresa dengan nada yang lebih meninggi.
Tak lama kemudian, bibi Teresa langsung membawa ku tepat di depan Theo. Dengan wajah yang kini tepat ada di depan ku, antara takut dan rasa cemas bercampur menjaga satu.
"Bunuh dia Theo" ujar bibi Teresa kembali sambil membawakan pistol, dan memberikannya pada Theo.
"BIBI! AKU KIRA KA-"
"Diamlah!" Teriaknya sambil menempatkan tangan Theo yang di berikan pistol tepat di depan kepala ku.
Aku menatap bibi Teresa dan Theo bergantian. Ini dunia yang kejam, bibi Teresa bahkan bisa mendapatkan kepercayaan seseorang dengan berperilaku seperti ibu. Dimana tak bisa di pungkiri, dia hidup di dunia yang sana dengan Theo.
Aku mataku mengalir deras, tanpa adanya ucapan yang keluar lagi. Kepercayaan ku terhadapnya seorang ibu, lama-lama menghilang. Dan sekarang tak ada yang bisa aku lakukan lagi, hanya senyuman yang aku tampilkan.
Bibi Teresa pernah bilang, jika dia meninggal ingin mengucapkan selamat tinggal dengan senyuman. Agar wajah yang teringat hanyalah senyum kebahagiaan, rasa terimakasih, dan kepercayaan. Dan sekarang aku melakukannya.
"Terimakasih" ujar ku sambil tersenyum dan menatap bibi Teresa.
Meskipun air mata tak bisa aku tahan, setidaknya senyuman masih bisa aku lakukan.
Apa lagi sekarang, menatap Theo dengan tatapan sendu. Saat dingin pistol tepat berada di dahiku. Jujur ini dingin, dengan hal yang sama terakhir kali aku tersenyum menatap kematian ku sendiri.
Mama pernah berkata, kematian bisa mengintai semua orang. Kematian memang menyakitkan, tapi jangan takut akan kematian. Karena kamu bahkan tak tau kapan kematian itu datang. Bisa jadi besok, lusa, ataupun masa sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Zella Aska
next
2022-05-12
1
Mamyne
doooor
2022-03-03
0
zero seven
semangat dalam berkaryanya ka. menanti kelanjutannya nih😢😢😢
2021-11-22
0