Tubuhku mulai gemetaran, meremang saat saat hanya untuk bernafas sebentar. Dengan badan yang sudah telanjang, di atas ranjang yang selalu bersih saat aku terbangun. Nafas memburu terus aku lakukan, terengah-engah dan juga mata yang lebam karena tangisan. Aku melihat tanganku, dimana terlihat lebam biru di pergelangan tangannya. Sakit.... Bahkan aku tak bisa mengucapkan apa-apa.
Ini terjadi sekitar satu minggu yang lalu. Saat aku mulai bertemu dengannya. Theo Walcott, aku kira dia hanyalah psychopath biasa, tapi... Bukan hanya hyper ****, tapi dia juga memiliki penyimpanan ****. Sial, andaikan saja ada kesempatan keluar, bahkan aku tak bisa berjalan.
Melihat wajahnya tanpa salah yang sedang membalut luka yang ada di tanganku. Risih, jujur aku sangat risih melihatnya seperti itu. Lalu bagaimana kini, aku bahkan tak bisa keluar dari sini.
"Emelin, apa yang kamu pikirkan?" tanya Theo dengan wajah polosnya, menatapku datar sambil sesekali menciumi balutan perban yang ada di tanganku.
Jijik, aku menatapnya datar tanpa menjawab apapun. Sungguh ini bahkan di luar dugaan ku. Berbeda saat sekarang, dia sangat perhatian dengan ucapannya yang manis. Tapi saat berhubungan dia seperti hewan, bahkan hampir semua tubuhku sudah lebam-lebam.
"Hem? Kenapa kenapa hanya diam, liat... Ah-! Tandanya sudah hilang, aku akan memberikannya kembali" ujar Theo sambil mengusap rambutku pelan, dan menyilangkan nya ke belakang.
Terlihat dia sedikit terkejut, saat tanda yang dia buat di leherku sudah hilang. Bukan tanda kissmark biasa, tapi itu adalah gigitan dalam dimana bahkan darah bisa keluar dari sana.
"Theo... He-hentikanlah... Kamu menyakitiku!" ucapku dengan nada lemah, sambil berusaha menahan wajah Theo yang akan menggigitku.
"Eh-? Kenapa? Aku suka saat melihat tandanya di sana. Ini adalah tempat yang bisa di lihat dari mana saja, saat aku berhubungan baik dari depan maupun belakang...." kata Theo santai sambil memajukan wajahnya, dan tersenyum smrik ke arahku.
Awalnya aku akan memerah saat dia memperlakukan ku seperti ini, tapi tidak untuk sekarang. Aku menatap Theo datar, sambil sedikit menghela nafas pelan. Lagi-lagi air mataku tak bisa aku tahan, tanpa bersuara apapun aku hanya diam melihat dia memperlakukanku semaunya.
"Hanya berhubungan? Sungguh kamu tak perlu aku, banyak penghibur lainya yang bisa kamu sewa untuk kepuasan mu. Menculik seseorang, lalu membawanya pulang. Digunakan hanya untuk kepuasan atas penyimpanan **** mu, bukankah kamu terlalu kaya untuk hal seperti itu?" tanyaku dengan menatap Theo.
Aku menatap matanya penuh, melihat dengan tulus. Tak ada perasaan takut ataupun sedih, meski air mata mengalir deras dimana tandanya aku tersakiti di sini. Thoe menatap ku datar, tak ada jawaban ataupun senyuman. Hanya wajah datarnya, menandakan dia tidak suka.
"Ada apa? Apakah sang Theo Walcott tidak terlalu kaya untuk bahkan membeli seorang wanita, bahkan harus men-"
Apa ini? ucapan ku terhenti saat tiba-tiba Theo menampar wajahku. Semuanya terhenti, telingaku berdengung menandakan tamparan yang kuat. Perih, sakit... Semuanya mencampur menjadi satu. Saat ini aku bigung apa yang telah aku lakukan, ini adalah ucapan kemarahan yang aku ucapkan.
"Tch-! Jika tak tau apapun lebih baik diamlah, peliharaan tak pantas untuk mengucapkan kata-kata" kata Theo tak suka.
Aku terdiam kembali, merasakan perih yang masih aku alami. Entah apa ini, aku bahkan tak tau. Hanya senyum miris yang aku lakukan. Entahlah, aku bahkan tak bisa mengartikannya.
"Ya... Peliharaan... Yang di kurung, di gunakan, dan akan dibuang juga saat bosan. Mungkin aku harus lebih bersabar, karena hanya dua pilihan meninggal atau di buang...." ucapku dengan senyuman tulus yang aku lakukan.
Terlihat wajah terkejut dari Theo, bahkan dia tak mengucapkan apapun. Seketika tangan Theo mulai mengulur, aku kira dia akan memukul ku lagi. Tapi sepertinya tidak, saat mengusap kepalaku pelan lalu mulai mencium dahi ku lembut.
"Hm... Sepertinya kamu sudah belajar, tapi sayangnya aku tak akan membuang sesuatu yang pernah aku ambil. Jadi, mungkin kamu hanya mempunyai satu pilihan" ucap Theo sambil memeluk kepalaku, dan sesekali mengecup keningku.
Sial, dia tak pernah menganggapku manusia. Inilah yang selalu dia pikirkan, aku bukan seseorang tapi hewan ataupun benda.
"Bersiaplah, kita akan pergi keluar. Suasananya cerah, sepertinya tepat jika kita mengadakan minun teh bersama..." ucap Theo turun, dan beranjak pergi dari ranjang.
Aku tau maksudnya, bukan pergi keluar hanya ke balkon saja. Aku menatap keluar jendela, melihat balkon luas di sana. Aku mulai beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi. Menyalakan shower pelan, lalu mulai membahasi dengan tubuhku.
Rasanya perih juga sakit, saat luka yang ada di badanku terbilas oleh air. Lagi-lagi aku meneteskan air mataku di sini. Aku mulai meluruhkan badanku turun, terduduk sambil terus merasakan perih di badanku. Aku pernah mencoba, untuk keluar dari sini. Membayangkannya saja aku tak sanggup.
...FLASHBACK...
Saat itu, aku hanya sedang bosan di dalam kamar. Melihat pohon-pohon yang mulai berguguran daunnya.
Aku bahkan hanya membuka pintu balkonnya, seketika aku melihat Theo masuk dengan wajah marahnya. Itu sungguh membuatku terkejut, apalagi saat dia tiba-tiba menarik badanku tanpa alasan, dan mulai melemparkan ku ke ranjang.
"Apa! Aku tak-"
"Diam! Aku tak menyuruhmu berbicara!!" ujar Theo marah dengan nada tingginya.
"Apa? Sungguh aku tak melakukan apapun..." kataku panik sambil sedikit memberontak.
Sial, dia bahkan tak bergeming dari posisinya. Dia terus saja merangkak, menindihi tubuhku dan mulai menjilati telingaku.
"Sungguh... Aku tak melakukan apapun, Theo... Maafkan aku" kataku mulai menangis saat Theo mulai menggigit leher dan telingaku.
Lagi-lagi ada darah yang keluar dari sana, menambah bekas luka dan lebam tentunya. Theo sangat menikmatinya, bahkan menjilat dan menghisap setiap darah yang keluar dari sana.
"Aku bilang jangan kemana-mana, jadi... inilah hukumannya..." kata Theo sambil memulai aksinya.
...FLASHBACK OFF...
"SIAL!" teriakku sambil menghantamkan tanganku ke dinding kamar mandi.
Sesekali aku menjedotkan kepalaku ke tembok kamar mandi juga. Frustasi dengan keadaan. Siapa dia, apakah aku pernah mengenalnya sebelumnya, apakah aku pernah membuat salah, ataukan dendam apa dia denganku. Semuanya masih dalam pikiranku, saat aku kembali mengingat awal kami bertemu.
Hanya ketidak sengajaan, aku tak ingat apapun yang berhubungan dengan Theo. Dia bilang apakah kamu mengingatku, bahkan aku tak tau siapa dia. Kenapa bisa ada banyak penjagaan di sini? Kenapa aku bisa kenal dengan orang seperti dia. Banyak hal yang muncul dalam pikiranku, membuatku sedikit frustasi dengan keadaan yang ada.
Selesai mandi aku mulai memakai baju santai, melihat ke balkon dengan meja dan kursi khas untuk pesta teh. Aku di sana melihat Theo yang sudah berdiri sambil menata biskuitnya.
"Emelin, kemarilah... Kenapa kamu sangat lama?" tanya Theo tanpa perasaan bersalahnya.
"Aku mandi dahulu..." jawabku dengan nada pelan.
"Em... Tak usah mandi juga tak apa, aku menyukai aromanya..." kata Theo sambil mengambil beberapa helai rambutku, lalu mencium aromanya.
"Ah-! Gula, bagaimana bisa aku melupakannya... Tunggulah sebentar, aku akan kembali cepat" ujar Theo sambil buru-buru keluar dari kamar.
Beberapa orang yang melihat meja ini pastinya akan menganggap Theo itu romantis, mereka berharap ada di posisiku. Tanpa tau, apa yang aku alami di sini.
"Hanya ada satu pilihan...." ujarku pelan sambil berjalan ke arah pembatas balkon.
Disana aku mulai menutup mata, merasakan hilir angin yang menerpa. Lalu aku mulai diam, merasa diinginkannya angin musim gugur yang menyeruak panjang.
"Hanya ada satu pilihan"
⠀ ⠀⠀⠀⠀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments