Pram melangkah menuju ruangan paling tinggi di gedung itu. Wajahnya kelihatan cerah, sehingga aura ketampannya membuat pegawai merasa nyut-nyutan membayangkan yang ***-***. Walaupun usinya menjelang kepala empat, tak membuat pesonanya luntur, malah makin berlipat. Sehingga banyak perempuan yang masih berharap dan mencoba menarik perhatiannya.
Widya menatap Pram terpaku, pesona Pram terlalu kuat untuk ia lepaskan. Ia tak merasa bersalah atas apa yang telah diperbuatnya kemaren, karena ia benar-benar menginginkan kehangatan dari lelaki gagah itu, aroma maskulin Pram benar-benar memabukkan. Sayang tubuh Pram terlalu susah untuk ditaklukkan, Widya masih belum merasa kapok.
Roby menghadang langkah Widya yang hendak menerobos masuk, “Mulai hari ini, bu Widya cukup bertanggung jawab dengan saya. Urusan tuan Pram adalah tanggung jawab saya.” Roby segera meletakkan setumpuk berkas di atas meja Widya.
“Sialan.” Widya merutuk kesal. Ia mulai memilah dokumen yang harus dipisahkan dan mengecek jadwal Pram dan harus segera disampaikan pada Roby. Ia berpikir keras, bagaimana agar tambang emasnya tidak lepas. Berkali-kali ia memandang pintu ruangan dirut, tapi belum ada pergerakan sedikitpun. Widya benar-benar kesal.
Diusianya yang menginjak 30 tahun, Widya memang masih lajang. Ia berhubungan dengan Juanda semenjak mulai bekerja di perusahaan yang masih dipimpin almarhum papa Pram. Ia dan Juanda adalah teman sekampung. Tetapi semenjak pucuk pimpinan puncak beralih pada Pram, Widya tidak bisa menolak pesona Pram. Ia tidak memikirkan keluarga Pram, yang penting ambisinya tercapai, hingga hubungannya dengan Juanda masih kabur tanpa kepastian.
Melihat sikap Pram yang dingin membuat Widya penasaran. Selama satu bulan ia masih mempelajari karakter boss barunya. Selama itu pula ia tak pernah melihat istri bossnya datang. Dari sanalah ia mulai mencari celah untuk mendekati Pram.
Pakaian yang biasanya standar, mulai ia ganti dengan yang lebih press body serta rok di atas lutut, hingga saat duduk di hadapan Pram, paha mulusnya akan menggoda siapapun yang melihatnya. Tidak ada yang berani menegur, karena ia termasuk sekretaris yang berkualitas dan banyak membantu selama tuan Bagaskara Wijaya masih menjadi boss besar. Dengan berani Widya mulai mendekati Pram.
Saat membahas pekerjaan di sofa, tanpa malu-malu ia mulai membuka blazernya, hanya menyisakan blousenya yang berdada rendah, hingga menampakkan belahan dadanya yang menggoda. Ia duduk dengan posisi badan yang merapat pada Pram. Pram yang merasa jenuh dengan pekerjaan yang banyak merasa sekretarisnya bertingkah aneh, tapi ia masih tak peduli hingga pada malam itu Widya dengan sadar mengelus pahanya.
“Apa yang kau lakukan Widya…” suara Pram masih pelan.
Tatapan Widya yang lembut dan memuja membuat Pram terpaku. Lelaki mana yang tidak tergoda, melihat perempuan muda yang begitu cantik dan seksi. “Aku menyukai bapak…” Ia berbisik di telinga Pram sambil meniup-niupnya dengan lembut.
Darah Pram terasa mendidih. Ia berusaha menahannya, dan tetap menyibukkan memeriksa berkas-berkas yang ada, walaupun konsentrasinya sudah buyar tak menentu. Di luar dugaan Pram merasa sesuatu yang basah sudah menempel di bibirnya.
Melihat Pram yang pasif, Widya langsung mengalungkan tangannya pada leher Pram yang tegang atas serangan mendadaknya. Dengan lihai ia mulai menyapu bibir bossnya. Entah setan apa yang bercokol di kepala Widya, hingga tanpa malu ia melakukan itu. Seperti pepatah yang mengatakan, kucing mana yang menolak jika ada ikan asin di depan mata.
Semenjak malam itu, hubungan terlarang mereka dimulai. Dan Widya merasa beruntung, karena Pram tidak menolak setiap cumbuan yang ia berikan, walaupun pada kenyataannya yang Pram lakukan hanya sebatas peluk dan cium. Widya cukup puas dengan usahanya, ia yakin suatu saat Pram akan bertekuk lutut padanya dan mengizinkan ia menghangatkan ranjang bosnya itu.
Jika hasratnya datang dan tak bisa ia salurkan dengan Pram, maka ia akan menghubungi Juanda untuk memenuhi kebutuhannya, dan Juanda cukup bahagia walaupun ia menginginkan hubungan mereka ke arah yang lebih serius.
Pintu ruangan terbuka. Widya segera bangkit hendak memberikan senyum mautnya, sedikitpun Pram tidak memandang ke arahnya. Ia sibuk berbicara dengan Roby yang membawa beberapa berkas di tangannya. Perasaan Widya semakin dongkol atas sikap Pram.
Ponsel Widya berbunyi. Ia segera menyambut panggilan tersebut. Senyum sumringah terpancar di matanya. Juanda mengajaknya makan siang bersama di sebuah restoran yang berada di Kawasan mall mewah. Kemarahannya sirna. Rupanya Juanda ada kegiatan di Jakarta, sehingga ia menyempatkan dirinya mengunjungi kekasihnya.
Dengan perasaan bahagia Widya langsung menuju mobilnya yang terparkir di antara mobil para karyawan. Ia nggak peduli terlambat masuk, karena ia yakin Pram pasti akan lama bertemu dengan kliennya di luar.
Sesudah membahas pertemuan dengan kliennya yang berasal dari Jepang, Pram meminta Roby untuk segera memesan makanan bagi mereka. Sebelum pesanan datang ia berjalan menuju toilet pria. Langkahnya yang baru keluar dari pintu ruangan privat terhenti karena seseorang memanggilnya.
“Pramono Erlangga…” suara bariton itu menghentikan langkahnya.
“Prof. Darmawan…” Pram langsung mengulurkan tangannya menjabat tangan mantan dosennya. “Wah, kebetulan. Mari kita makan siang bersama”
Darmawan tertawa lebar, “Saya tidak datang sendiri, tapi kebetulan ada janji dengan nara sumber kegiatan kuliah umum kemaren.” ujarnya sambil menunjukkan jempolnya pada seorang perempuan yang sedang berjalan berdua temannya menghampiri mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
YuWie
berasa dimana2 ada istri ya bos pram
2024-11-06
0